Beberapa kali kita mendengar berita tentang seorang wanita berjilbab yang diperlakukan tidak adil di beberapa daerah di Eropa. Diskriminasi ini muncul karena pandangan buruk sebagian orang tentang seorang muslim.
Sebaliknya, di Indonesia wanita berjilbab adalah hal yang lumrah sehingga tidak banyak memunculkan isu negatif. Tapi mungkin muslimah zaman sekarang tidak tahu bahwa dulu tahun 1970an hingga 1980an, pemakaian jilbab oleh para wanita justru dilarang.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, hubungan antara pemerintah dan umat Islam memang mengalami pasang surut. Ketika hubungan ini lantas semakin memburuk, banyak pejabat Orde Baru akhirnya lebih melihat umat Islam sebagai ancaman kestabilan politik dan pembangunan. Ketegangan terjadi karena pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang merugikan umat Islam.
Pada masa itu, pemerintah cenderung menekan Islam politis dan ini termasuk pelarangan penggunaan jilbab. Pemerintah Orde Baru mempunyai kecurigaan terhadap umat Islam sehingga dilakukan penekanan. Sementara itu, tahun 80-an adalah masa ketika terjadinya revolusi Iran dan perempuan muda sering digambarkan di media tengah berjuang lengkap dengan pakaian berjilbab. Hal inilah yang ternyata menginspirasi para wanita muslim Indonesia untuk mengenakan jilbab.
Pada tahun 1979, terjadi ketegangan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Ketegangan ini terjadi karena pihak sekolah bermaksud untuk memisahkan beberapa siswi yang berjilbab dalam satu kelas tersendiri. Namun para siswi ini menolak dipisahkan dengan teman-temannya yang tidak berjilbab.
Sejak saat itu, kasus pelarangan jilbab di lingkungan sekolah semakin mencuat. Siswi yang mengenakan jilbab dianggap melanggar peraturan dan disuruh pulang. Pelarangan mengenakan jilbab kemudian semakin banyak terjadi setelah dibuatnya SK 052 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tanggal 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) mengeluarkan SK yang mengatur tentang seragam di sekolah negeri. Sebelumnya, peraturan tentang seragam memang diatur oleh masing-masing sekolah, namun sejak adanya SK akhirnya seragam sekolah menjadi bersifat nasional. Kebijakan ini langsung menimbulkan reaksi karena tidak mengakomodir keinginan siswi muslim untuk menutup aurat.
Sejak keluarnya SK tersebut, semakin banyak siswi berjilbab yang mendapat teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang tetap memilih berjilbab akhirnya malah dikeluarkan dari sekolah dan pindah ke sekolah swasta. Meskipun SK tersebut hanya merupakan pedoman dan tidak memuat sanksi atau bersifat memaksa, nyatanya banyak tekanan dari pihak sekolah kepada siswi-siswinya yang berjilbab, dan bahkan guru yang membiarkan siswi berjilbab belajar di kelasnya.
Beberapa kasus memang berhasil diselesaikan berkat campur Majelis Ulama sehingga siswi akhirnya diijinkan memakai jilbab. Namun ada juga yang sampai akhirnya harus menempuh jalur hukum karena perlakuan ini. Meskipun dilarang, ternyata jumlah siswi yang mengenakan jilbab justru semakin bertambah.
Perlakukan tidak adil ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah, tapi juga merembet ke tempat lainnya. Di Tegal, seorang gadis berjilbab sempat ditelanjangi oleh petugas keamanan sebuah toserba gara-gara dicurigai mencuri permen. Isu tidak mengenakkan juga sempat santer terdengar yaitu tentang seorang wanita berjilbab yang menebarkan racun di pasar. Gara-gara isu ini, seorang ibu berjilbab dihakimi masa karena diteriaki sebagai penebar racun.
Semua peristiwa ini akhirnya menimbulkan reaksi dan kemarahan umat Islam. Para pemuda dan mahasiswa yang mewakili 60 lembaga Islam se-Bandung melakukan unjuk rasa di Universitas Padjajaran yang mengecam adanya isu tersebut dan menuntut kebebasan memakai jilbab. Kemudian pada 16 Februari 1991, ditandatanganilah SK seragam sekolah baru yaitu SK 100 yang mengijinkan para siswi muslim untuk kembali mengenakan jilbab mereka di sekolah.
Beberapa waktu tahun lalu, para wanita muslimah berjilbab ternyata harus berhadapan dengan diskriminasi, larangan dan teror. Namun sejak diterimanya jilbab di ruang publik, penggunaan pakaian muslim ini semakin populer di kalangan masyarakat luas hingga saat ini.
Sejatinya, wajar jika setiap orang ingin melakukan perintah agama. Jika seseorang ingin menjalankan tuntunan agamanya, dalam hal ini memakai jilbab, maka orang lain tidak memiliki hak untuk melarangnya. Tidak hanya itu saja, toh memakai jilbab sebenarnya tidak akan merugikan orang lain. Namun karena ketakutan atas stereotipe atau beberapa hal tertentu, atribut yang menunjukkan identitas seseorang akhirnya malah menimbulkan diskriminasi.
Yang perlu kita ingat adalah apa yang dipakai seseorang tidak bisa menjadi tolak ukur tentang sikap, perilaku, ideologi, atau latar belakang seseorang. Maka dari itu, kita tidak boleh dengan mudahnya menghakimi seseorang hanya berdasarkan apa yang mereka kenakan.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…