Masih ingat kah kasus Angeline yang pernah bikin masyarakat Indonesia geram itu? Lalu masih belum lupakah kasus Neng bocah 9 tahun yang ditemukan mati dalam kardus itu? Ya, mereka adalah sedikit dari banyak kasus pedofilia yang terjadi di Indonesia. Fenomena ini tentu sangat miris. Selain karena Indonesia adalah negeri ketimuran yang memegang adat luhur, kasus seperti ini juga jadi potret masyarakat kita sekarang. Bengis, amoral dan tidak pandang bulu dalam melakukan kejahatan.
Beberapa kasus pedofilia terungkap dan jadi pintu gerbang untuk kasus-kasus serupa yang tidak terangkat media. Kesal, marah, dan emosi luar biasa dengan para pelaku yang bisa-bisanya melakukan hal keji itu. Bahkan seperti Angeline dan Neng, kedua bocah ini dibunuh setelah sebelumnya diperlakukan tidak senonoh.
Kabar baiknya, pemerintah tengah menggodok wacana untuk memberikan hukuman tambahan kepada para pelaku pedofilia ini. Hal ini patut kita dukung agar tidak pernah ada lagi yang melakukan hal keji itu. Hukuman yang diajukan sementara hanya kebiri, namun mungkin beberapa alternatif berikut bisa juga dipertimbangkan oleh pemerintah.
Presiden Jokowi kabarnya menyetujui hukuman yang satu ini. Namun dengan mempertimbangkan ‘kemanusiaan’ hukuman kebiri dilakukan bukan dengan cara tradisional. Dulu orang-orang yang melakukan tindakan amoral seperti ini dihukum dengan dikebiri lewat pemotongan testis. Tujuannya agar hormon testoteronnya bisa hilang sehingga hasratnya pun lenyap. Di era kekinian, cara yang direkomendasikan menurut para pakar adalah dengan menyuntikkan semacam cairan bernama Antiandrogen.
Efek samping dari cairan ini sama yakni menekan hormon testoteron si pelaku sehingga hasratnya makin menipis atau hilang sama sekali. Namun cara ini kurang efektif dikarenakan ketika suntikannya tidak terus dilakukan, maka hormon kejantanannya bakal bertumbuh lagi. Di sisi lain hal ini menambah pekerjaan pemerintah. Bukan hanya tentang pengawasan dan kontrol saja, tapi juga biaya yang harus dikeluarkan. Antiandrogen bukan cairan infus yang harganya murah. Sehingga harus ada budget untuk itu.
Jika demikian mungkin amputasi testis tak masalah untuk dilakukan. Toh, ketika pelaku melakukan kejahatan pedofilianya ia juga sama sekali tak ingat apa pun tentang arti kemanusiaan.
Alternatif hukuman berikutnya mungkin terdengar sangat sadis, namun ini bakal bisa bikin jera untuk selamanya. Caranya sendiri mungkin ya konvensional alias diamputasi begitu saja. Hukuman seperti ini pernah dilakukan oleh warga Brasil atas kasus pemerkosaan pria terhadap bayi berumur 3 tahun.
Hampir tak ada satu pun negara yang memberlakukan hukuman ini, meskipun dilihat dari azas keadilan amputasi alat kelamin adalah hal yang wajar. Jika hukuman ini diberikan, si pelaku tak mungkin bisa melakukan kejahatan serupa di masa depan. Hal ini juga bisa bikin orang-orang yang berniat jahat mengurungkan niatnya. Poin plusnya lagi, ini tidak akan membebani pemerintah seperti ketika diberikan suntikan antiadrogen berulang-ulang.
Dilihat dari HAM mungkin hukuman seperti ini tidak sepadan. Namun jika kita menengoknya dari sudut pandang korban, maka hal tersebut adalah hukuman yang seadil-adilnya. Aksi pedofilia berdampak sangat buruk bagi korban. Depresi, anti percaya diri, hingga krisis identitas bakal dialami korban. Belum lagi korban yang masih kecil mungkin akan rusak mentalnya lantaran sudah diperlakukan seperti ini.
Belum lagi aib yang bakal ditanggung keluarga korban yang mungkin akan terbawa sampai si korban dewasa. Secara psikologis ini akan mematikan si korban. Jadi, sepertinya tidak ada hukuman yang lebih pantas dari perlakuan kejahatan amoral terhadap anak selain hukuman mati. Sayangnya, rencana ini sudah pasti ditentang habis-habisan oleh penggagas HAM. Bandar narkoba yang notabene membunuh banyak orang saja juga tak henti-hentinya diselamatkan dari hukuman mati gara-gara HAM tadi.
Ada yang beranggapan jika hukuman fisik seperti penggunaan cairan pelemah syahwat tadi adalah hal yang tidak berperikemanusiaan. Pada dasarnya pedofilia adalah kelainan jiwa, maka ya hukum saja secara sosial. Salah satunya adalah dengan mengucilkannya dalam pergaulan untuk selamanya.
Hal ini mungkin bisa jadi cara yang efektif. Tidak bersosialisasi dengan manusia sama artinya dengan tidak ada pengakuan soal eksistensi. Dalam hal ini bisa dibilang seperti mati. Secara teori mungkin mudah, namun implementasinya nanti yang perlu didalami. Apakah dengan memasung si pelaku? Ataukah dengan membuangnya ke sebuah daerah sepi pemukiman? Jika aplikasinya demikian, maka apa bedanya dengan hukuman mati? Tentu beda, perbedaannya adalah hukuman yang ini lebih menyiksa.
Dalam setahun belakangan ada sekitar 50an kasus pedofilia yang dilaporkan. Padahal mungkin yang terjadi bisa lebih banyak lagi. Mirisnya lagi yang benar-benar terekspos media hanya beberapa gelintir saja. Nah, dengan kasus pedofilia yang sebanyak ini dalam setahun saja, apakah kita bisa tenang? Tak takutkah kejadian ini menimpa anak atau saudara sendiri? Makanya pelaku pedofil yang sudah terbukti harus dihukum lebih berat termasuk dengan tambahan hukumannya sekaligus. Biar jera dan para orangtua bisa dengan tenang mendampingi tumbuh kembang anak-anaknya. Ketika kita menganggap enteng kasus-kasus seperti ini, sama saja seperti membiarkan hal-hal buruk terjadi.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…