Beragam tragedi kecelakaan transportasi publik yang ada di Indonesia, selalu menyisakan sepenggal kisah heroik di dalamnya. Publik negeri pernah dikejutkan dengan perstiwa tenggelamnya KM Tampomas II di Selat Masalembo. Kapten Abdul Rivai yang bertindak sebagai Nahkoda, berusaha mempertahankan posisi kapal agar tidak tenggelam dengan cepat.
Ia sebenarnya tahu bahwa nyawa Tampomas II telah mendekati ajal. Namun dirinya tetap berusaha tenang dan sebisa mungkin tak menunjukan sikap panik berlebihan. Tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin, membuat dirinya mengabaikan keselamatan pribadi dan memilih nyawa penumpang agar tetap selamat dari persitiwa nahas itu. Kisah heroiknya pada kejadian nahas tersebut, sangat menggugah hati untuk diceritakan kembali.
Kaptain Abdul Rivai merupakan alumnus Akademi Ilmu Pelayaran (AIP). Di mana ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan berhak atas ijazah Mulaim Pelayaran Besar III pada 1959. Disusul kemudian Mualim Pelayaran Besar II pada 1966 dan Mualim Pelayaran Besar I tahun 1971.
Memulai karir di Pelni sejak 23 September 1959, Kapten Abdul Rivai berpengalaman menahkodai kapal-kapal besar di sepanjang hidupnya. Seperti KM Towuti, KM Bangawan, KM Tolandu, KM Imarito dan KM Iweri, KM Selayar dan KM Batanghari.
Sebelum menjadi pelaut kapal komersial, Kapten Abdul Rivai merupakan anggota militer yang ikut berjuang pada operasi Trikora. Saat itu, ia berpangkat sebagai Letnan yang bertugas di atas geladak KM Sangihe.
Atas sumbangsihnya terhadap kemerdekaan, Abdul Rivai dianugerahi penghargaan Satya lencana pada 1963 oleh pemerintah Indonesia. Sungguh, sosok kelahiran Tanjung Karang, Lampung, 25 Agustus 1936 silam itu merupakan pelaut yang handal sekaligus berpengalaman.
Sebagai seorang perwira laut, tugas Kapten Abdul Rivai sangatlah berat. Ia harus memastikan keselamatan diri penumpang sekaligus anak buahnya. Hal ini tergambar jelas di saat-saat terakhir hidupnya. Tampomas II yang ia awaki, mendadak terbakar yang mengakibatkan ledakan hebat. Air laut pun mulai merembet masuk ke ruang mesin (kamar propeler dan ruang generator ). Kejadian itu membuat kapal oleng dan miring pada 45°. Perlahan, badan Tampomas II mulai tenggelam. 30 jam sejak percikan api pertama menjalar.
Dengan tenang, Kapten Abdul Rivai tampak membagi-bagikan pelampung bagi penumpang yang takut terjun ke laut. “Sebaiknya kita turun saja, Kep,” kata Karel Simanjuntak, seorang awak kapal yang berada di dekat Kapten Rivai. “Buat apa kita turun kalau belum semua penumpang selamat?” sahutnya, seperti yang termaktub dalam buku Neraka di Laut Jawa: Tampomas II karya Bondan Winarno. Hingga detik-detik akhir menjelang tenggelam, Kapten Abdul Rivai masih terlihat menolong beberapa wanita. Ia melambaikan tangannya dan masuk kembali ke dalam kapal. Pada Senin, 26 Januari 1981, Tampomas II yang terbakar hebat, akhirnya tenggelam di dasar lautan bersama sang Nahkoda, Kapten Abdul Rivai.
Karena tak lagi dikenali, jasad Kapten Abdul Rivai sempat dikuburkan secara massal. Bersamaan dengan korban Tampomas II yang lain di Sulawesi. Beruntung, secercah informasi yang diberikan oleh Nahkoda MV Sonne yang berbendera Jerman Barat mengungkap keberadaannya. Kapal tersebut merupakan salah satu yang menjadi penyelamat penumpang Tampomas II saat tenggelam.
Identitas Kapten Abdul Rivai terkuak berkat tanda cincin bertuliskan “Hasanah” yang merupakan nama isterinya. Selain itu, ciri-ciri fisik berupa jari telunjuk tangan kanan memiliki kelainan, bentuk badan dan rambut dicukur pendek, juga menguatkan fakta tersebut. Jenazahnya pun langsung diterbangkan ke Jakarta, Minggu, 1 Februari 1981 dengan pesawat F-27 milik AURI. Senin siang tepat pukul 13.30, mendiang Abdul Rivai dikebumikan di TMP Kalibata. Diiringi tembakan salvo oleh 20 prajurit TNI AL.
Tenggelamnya KM Tampomas II dengan ratusan korban jiwa melayang, sangat menampar muka pemerintah Indonesia. Begitu peliknya kasus tersebut, hingga tak ada satupun pejabat yang berani mengakui keterlibatannya. Padahal, Kejaksaan Agung telah menugaskan Bob Rusli Efendi Nasution sebagai Kepala Tim Perkara untuk mencari mereka yang terkait. Namun sayang, ia tidak melakukan tuntutan apapun kepada pejabat berwenang pada saat itu.
Alhasil, skandal yang bergulir bak bola panas itu kemudian berusaha ditutup-tutupi oleh rezim Presiden Soeharto. Mirisnya lagi, Menteri Perhubungan pun memilih bungkam saat diminta menunjukkan laporan Bank Dunia yang merinci pembelian Tampomas II seharga US$8.5juta. Sejatinya, kapal tersebut merupakan barang bekas pakai buatan tahun 1956 dan dimodifikasi ulang pada 1971. Sebelum dilabeli sebagai Tampomas II, kapal buatan Jepang itu bernama MV. Great Emerald.
Meski telah berlalu, kisah heroik Kapten Abdul Rivai masih tersimpan dengan baik. Terutama bagi mereka yang menekuni dunia kemaritiman. Sosoknya yang tabah dan setia hingga akhir, menjadi sebuah cerminan utuh. Tentang bagaimana bersikap layaknya ksatria dan rela berkorban bagi orang lain.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…