Kamu pasti sudah pernah dengar tentang geisha, kan? Bukan geisha yang grup band itu, tapi geisha yang ada di Jepang. Kulit putih, dan bibir merah mereka sangat menawan. Tenang, pasif dan malu-malu, tapi juga sensual dan menggoda. Siapa sebenarnya para Geisha ini?
Geisha telah menjadi salah satu tradisi Jepang selama bertahun-tahun dan menyimpan rahasia tentang mereka dari dunia luar. Namun, perlahan berbagai macam sejarah, tradisi dan fakta seputar Geisha mulai banyak dibicarakan di luar negara Jepang, bahkan dituliskan dalam sebuah novel atau film seperti Memoirs of a Geisha. Namun meskipun mendapatkan banyak penghargaan, film ini diklaim tidak menggambarkan Geisha dengan tepat.
Geisha adalah seorang seniman yang sangat terlatih di bidang seni musik, seni tari, dan menghibur tamu. Tidak mudah menjadi seorang geisha karena dibutuhkan latihan selama bertahun-tahun untuk memainkan berbagai macam alat musik, menyanyi, menari, serta menjamu tamu.
Singkatnya, saat seorang geisha sedang bekerja, mereka adalah ilusi kesempurnaan seorang wanita yang banyak dibayangkan oleh pria. Mereka menghibur dan menemani tamu dengan keahlian mereka di bidang seni, serta komunikasi.
Beberapa orang salah mengartikan geisha sebagai orang yang melakukan aktivitas prostitusi, padahal hal ini sama sekali tidak benar. Saat seorang pria menyewa jasa seorang geisha untuk menghibur acara pesta, maka sex tidak ada hubungannya dalam hal ini. Ada masa ketika para istri di Jepang tidak diikutkan dalam kehidupan publik atau sosial pada umumnya, nah para geisha inilah yang kemudian berperan sebagai wanita yang memberikan perhatian saat acara pertemuan bisnis.
Geisha sendiri sebenarnya memiliki status yang cukup terhormat. Namun saat Perang Dunia ke-2, terjadi kemerosotan karena kebanyakan wanita harus bekerja di pabrik atau tempat lain untuk membantu negara dalam peperangan. Selain itu, wanita yang bekerja di bidang prostitusi mulai menyebut diri mereka sendiri sebagai seorang geisha pada tentara Amerika. Hal inilah yang membuat kesalahpahaman ini menyebar.
Pada awalnya, para pria lah yang bekerja sebagai seorang geisha karena wanita tidak boleh menghadiri pesta. Para geisha laki-laki ini juga menghibur dengan keahlian seni mereka. Pada tahun 1700an, barulah muncul para wanita yang menyebut dirinya sebagai geisha, wanita penghibur yang tidak menjual seks dan hanya menghibur dengan cara menyanyi atau menari di pesta.
Pemerintah kemudian memunculkan peraturan ketat tentang jam berapa saja geisha wanita boleh bekerja dan pakaian seperti apa yang boleh dikenakan. Peraturan ini dibuat untuk melindungi bisnis para oiran dan rumah pelacuran karena kemunculan para geisha menjadi ancaman bagi bisnis mereka. Para geisha juga tidak boleh disewa secara tunggal, tapi harus beberapa orang geisha sekaligus. Namun peraturan ini bukannya menurunkan kesuksesan geisha, tapi malah menaikkan pamor mereka.
Untuk menjadi seorang geisha, seorang wanita muda harus melamar ke seebuah okiya, sebuah rumah geisha yang dipimpin oleh seorang wanita yang disebut okami atau okasan yang akan membiayai pelatihannya. Biasanya, seorang wanita akan menghabiskan waktu hingga enam tahun mempelajari seni musik, tari, upacara minum teh, tata bahasa, dan seni menjamu tamu. Para wanita yang belajar menjadi seorang geisha disebut sebagai maiko.
Tidak hanya mempelajari seni, tapi juga belajar membawa diri dengan anggun. Ia harus belajar aksen atau cara bicara di distrik tempat ia bekerja, belajar berjalan menggunakan kimono yang sangat panjang tanpa tersandung kain kimononya, serta menuangkan sake dengan cara yang anggun agar lengan kimononya tidak masuk ke cangkir.
Selain itu, para geisha juga harus belajar bagaimana memberi hormat pada masing-masing orang, belajar bagaimana menyenangkan pria pemalu, pria arogan, atau pria yang seksis. Semua ini harus dipelajari sebelum seseorang bisa benar-benar menjadi seorang geisha.
Persiapan seorang geisha bisa membutuhkan waktu berjam-jam karena penampilan mereka juga menjadi bagian dari daya tariknya. Tapi tidak hanya itu saja, segala persiapan mulai dari make up, tata rambut hingga kimono yang mereka pakai akan membedakan seorang geisha dan yang masih maiko, serta dari geisha yang masih muda dan yang sudah dewasa atau berpengalaman. Hanya dengan melihat penampilan mereka, kamu sudah bisa membedakannya.
Kimono yang dipakai oleh para geisha berbeda dengan kimono biasa. Kimono untuk para geisha menunjukkan garis leher mereka karena bagi budaya Jepang, bagian tubuh ini adalah yang paling sensual dari seorang wanita. Para geisha dan maiko mengenakan makeup berwarna putih kemudian mewarnai bibir mereka dengan warna merah. Maiko hanya mewarnai bibir bawah mereka untuk menunjukkan bahwa mereka masih seorang maiko.
Seorang maiko memakai kimono dengan lengan ekstra panjang hingga ke tanah dengan kerah berwarna merah dan obi yang panjang dan lebar. Ia juga mengenakan sandal kayu tinggi agar kimononya tidak sampai ke tanah. Seorang maiko bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam di penata rambut untuk menjaga tatanan rambutnya. Mereka juga harus tidur di bantal khusus dengan lubang di bagian tengah agar tatanan rambut mereka tidak rusak saat tidur.
Ketika seorang maiko sudah menjadi geisha, ia akan ganti memakai kimono khusus geisha dengan kerah berwarna putih. Kimono mereka lebih sederhana dan lebih mudah dipakai. Lengan kimono lebih pendek dan tidak butuh sandal tinggi untuk menjaga agar kimono tidak terseret di tanah. Selain itu, obi yang mereka kenakan juga lebih sederhana.
Maiko yang mencapai usia untuk menjadi seorang geisha akan menjalani upacara yang disebut sebagai mizuage. Transisi ini biasanya dilaksanakan saat seorang maiko mencapai usia sekitar 20an. Dalam upacara ini, seorang pria membayar untuk bisa berhubungan seks dengan maiko. Hal ini jugalah yang menjadi perdebatan apakah kegiatan ini juga termasuk sebagai prostitusi atau tidak.
Di jaman Edo, mizuage disponsori oleh seorang patron atau penyokong maiko tersebut dan dia lah yang punya hak mengambil keperawanan seorang maiko. Ketika seorang patron sudah tidak berhubungan dengan seorang maiko, mara patron tersebut sudah tidak punya hubungan lagi dengan maiko tersebut. Praktik ini kemudian menjadi ilegal sejak tahun 1959.
Daya tarik seorang geisha kelas atas adalah hubungannya dengan tamu pria yang sejak jaman dulu sangat berbeda dengan peran seorang istri. Idealnya, seorang geisha menunjukkan skill atau kemampuan mereka, sedangkan seorang istri ideal harus sederhana. Seorang geisha terkesan bebas, sedangkan istri harus kalem dan bertanggung jawab.
Geisha bisa sesekali menggoda dengan anggun tamu mereka, tapi geisha tetap akan bisa mengontrol kerendahan hati mereka agar tidak terlibat hubungan dengan para tamu. Latihan bertahun-tahun membuat mereka memahami bagaimana menghadapi situasi dan kepribadian tamu yang berbeda-beda. Selama menjadi seorang geisha, ia tidak boleh menjalin hubungan dengan siapapun. Jika mereka wanita tersebut ingin menikah, maka ia harus berhenti menjadi seorang geisha.
Meskipun tampaknya pekerjaan mereka hanya fokus pada pria, tapi mereka tinggal di lingkuangan matriarki atau yang didominasi oleh para wanita. Seorang wanita menjalankan okiya, wanita mengajari para gadis pengetahuan dan skill untuk menjadi seorang geisha, dan wanita juga yang memperkenalkan geisha baru.
Pemimpin sebuah okiya disebut okasan atau “ibu”, mentor geisha disebut sebagai onesan atau kakak perempuan. Wanita yang menjalankan rumah jamuan bisa menaikkan pamor seorang geisha dan bahkan menghancurkan karirnya.
Di era modern, geisha masih tinggal di okiya terutama saat masih berlatih menjadi seorang geisha. Mereka yang sudah berpengalaman biasanya cukup sukses dan mampu tinggal atau hidup secara mandiri. Sebelum abad ke-10, pelatihan geisha dimulai saat seorang gadis masih berusia 4 tahun, namun sekarang para gadis akan sekolah dulu sampai usia remaja sebelum mereka secara pribadi memutuskan ingin berlatih menjadi seorang geisha. Jadi, para wanita biasanya akan menyelesaikan pendidikan mereka dulu baik setelah setingkat SMP, SMA, atau bahkan setelah lulus kuliah.
Di era modern Jepang, geisha dan maiko adalah pemandangan yang langka di luar area hanamachi, atau tempat mereka bekerja dan tinggal. Pada tahun 1920an, ada lebih dari 80 ribu geisha di Jepang, namun sekarang ini jauh lebih sedikit wanita yang memilih menjadi seorang geisha. Hal ini tidak lain karena kondisi ekonomi yang merosot, berkurangnya ketertarikan dalam seni tradisional, eksklusifnya dunia geisha, dan biaya menyewa geisha yang cukup mahal.
Nah, itulah tadi beberapa fakta seputar seorang geisha. Sebuah tradisi yang meliputi keanggunan, sensualitas, sekaligus misteri.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…