Era penjajahan terhadap bangsa ini sudah berakhir sejak 70 tahun lalu. Lebih tepatnya ketika Belanda sudah mengakui kedaulatan kita pada tahun 1945 lalu. Tapi, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Nyatanya belum. Ada banyak hal yang belum tercapai sesuai dengan wacana yang dicanangkan para pendahulu kita. Mulai dari kemakmuran sosial hingga perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Tidak usah bicara muluk-muluk deh, bahkan kita belum benar-benar merdeka dengan apa yang ditonton tiap harinya di televisi. Percaya atau tidak sebenarnya kita sedang dijajah oleh tontonan yang ada di televisi. Hampir tidak ada satu pun kecuali TVRI yang masih memegang teguh kaidah broadcasting yang berkaitan dengan nasionalisme dan budaya. Bahkan kita malah dijajah oleh tayangan-tayangan luar negeri yang sukses menimbulkan antusiasme besar.
Apa sih yang tengah terjadi, dan bagaimana agar televisi kita bisa kembali jadi media untuk menumbuhkan nasionalisme? Berikut ulasannya.
Serial drama India dan Turki belakangan sangat booming dan digemari. Bisa dipastikan di waktu prime time setiap rumah akan menonton tayangan tersebut. Percaya kah kamu kalau hal ini berakibat tergesernya rasa cinta terhadap budaya sendiri? Anak-anak kecil sekarang jauh lebih ngeh cerita Arjuna dkk atau sejarah India lewat Jodha Akbar daripada kisah perjuangan para pahlawan sendiri yang aslinya tidak kalah heroik dan mengundang decak kagum.
Memang ini adalah hal yang miris meskipun si stasiun televisi penyiarnya tidak bisa disalahkan begitu saja. Mereka hanya tahu harus menyiarkan apa yang menguntungkan dan juga mendapatkan rating tinggi. Sedangkan untuk urusan konten sendiri tentu lah jadi kewajiban semua orang, apalagi sineas dalam negeri yang bekerja di industri hiburan. Pada kenyataannya, mereka justru menciptakan sinetron abal-abal yang malah memberikan dampak yang tak kalah buruknya.
Boleh kita menyiarkan acara film atau serial luar negeri tapi persempit porsinya. Muat lebih banyak konten budaya dan nasionalisme agar kita tidak menjadi bangsa yang lupa. Dulu sempat ada sebuah tayangan 60 menit yang berjudul Sang Proklamator. Namun hanya beberapa episode tayangan tersebut hilang bak ditelan Bumi. Mungkin kalah rating, tidak mendapatkan banyak iklan serta deretan hal-hal berbau ekonomis lainnya.
Entah seperti apa tayangan di masa depan nantinya. Apakah anak-anak kita akan jadi pribadi yang buta sejarah dan tidak punya rasa nasionalisme? Tergantung, apakah mau melakukan perubahan atau tidak.
Entertainment juga masuk ranah industri, artinya segala sesuatu yang dilakukan murni seperti bisnis. Apa pun yang dilakukan orientasinya adalah uang. Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa sih para pebisnis di industri ini tidak bikin acara yang berbau nasionalisme dan kebudayaan? Jawabannya tentu saja karena acara-acara seperti ini akan gagal sukses dan mudah ditinggalkan pemirsa. Alhasil nantinya tidak ada keuntungan besar yang dihasilkan malah justru merugi gara-gara modal yang dikeluarkan besar.
Selain motif ekonomi alasan lain kenapa jarang sekali kita lihat tontonan berbau Indonesia adalah para sineas kita tidak terlalu jago. Buktinya, kamu pasti setuju jika set, cerita, alur, cast deretan sinetron negeri ini tidak jauh lebih keren dari pada serial India atau Turki yang sangat mewah tersebut. Entah karena faktor uang dan sistemnya kejar tayang, sehingga mereka tidak mampu membuat tayangan yang berkualitas seperti India atau pun Turki (memang harus diakui).
Sebenarnya para sineas kita sangat mampu membuat kisah perjuangan Pangeran Diponegoro menjadi cerita yang sangat epic tak kalah dibandingkan Mahabarata dan lainnya. Buktinya, The Raid, serta beberapa film lain sukses menembus pasar internasional yang membawa para aktornya saat ini diminati oleh industri film luar negeri.
Kesampingkan dulu si Kim Jong Un dan sederet peraturan nyelenehnya itu. Ada satu hal yang bisa kita tiru dari negeri tetangga Korea Selatan ini dalam hal tayangan televisi. Jika kamu belum tahu, hanya sedikit sekali siaran televisi yang ada di sana. Bahkan yang sifatnya hiburan bisa dihitung dengan jari.
Kebanyakan acara televisi di Korut menampilkan hal-hal yang berbau negeri mereka sendiri. Misalnya sesi untuk puja-puji negeri sendiri, aktivitas para petinggi yang bisa disaksikan langsung, dan satu hal lagi yang mungkin sebaiknya dipertimbangkan untuk ditiru adalah siaran doktrin kepada penduduk Korut tentang keburukan negeri-negeri musuh mereka.
Hasil dari acara televisi semacam ini, para penduduk Korea Utara jadi sangat nasionalis, mereka susah terpengaruh budaya luar dan rasa cinta kepada pemimpin yang tinggi. Hal ini bisa kita tiru meskipun tidak untuk sistem pemerintahannya yang totaliter. Hal ini jadi bukti kuat kalau hanya lewat tayangan televisi saja kita bisa menciptakan generasi yang cinta terhadap bangsa sendiri.
Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah melalui Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, mengatakan bakal segera memasang televisi berukuran besar di desa-desa tertinggal. Tujuannya sangat bagus, pemerintah ingin agar program serta kebijakannya juga bisa diikuti oleh penduduk desa tertinggal ini. Yang lebih spesial lagi, lewat wacana ini pemerintah juga akan kembali mengangkat kearifan lokal setempat agar bisa dinikmati banyak orang di seluruh Indonesia.
Teknisnya akan dilakukan dengan cara memasang layar besar berukuran 3×4 meter, lalu disediakan pula parabola, decoder da juga perlengkapan audio. Rencananya, Marwan akan membuat paket seperti ini sebanyak 74 ribu buah dan kemudian disebarkan ke desa-desa.
Aksi ini harus mendapatkan apresiasi penuh. Tidak hanya concern tentang nasionalisme warga perkotaan saja, tapi penduduk desa terpencil juga harus diperhatikan pula. Faktanya, mereka mengaku merasa ditinggalkan oleh pemerintah gara-gara tidak bisa mendapatkan informasi yang sama seperti masyarakat kota. Penduduk desa tertinggal ini juga mulai terkikis rasa nasionalismenya gara-gara mereka kadang lebih banyak mendapatkan hiburan dan berita yang datangnya dari stasiun televisi negeri tetangga.
Kapan ya acara televisi kita benar-benar mengangkat nasionalisme dan kebudayaan untuk ditampilkan di jam-jam prime time? Miris sekali melihat kenyataan kalau kita malah mencintai negara lain dari pada Indonesia. Mungkin saja cita-cita mulia ini bisa tercapai jika masing-masing orang punya rasa cinta kebangsaan dan para sineasnya mampu mengemas acara bermuatan lokal jadi sangat menarik. Hmm, mungkinkah ini akan sangat lama terjadi?
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…