Kisah Bang Ali dan Pak Harto yang Tak Banyak Diketahui Publik
Setelah Ali Sadikin atau biasa disapa Bang Ali tak lagi jadi Gubernur DKI Jakarta, hubungannya makin merenggang dengan Soeharto (Pak Harto) yang kala itu sudah jadi Presiden menggantikan Soekarno. Saat Bang Ali pensiun, Pak Harto bisa dikatakan baru mentas di puncak kekuasaan.
Bang Ali sendiri diangkat jadi Gubernur Jakarta oleh Soekarno atau Bung Karno pada tahun 1966. Kemudian Bung Karno lengser pasca peristiwa G30S/PKI. Pak Harto yang menggantikannya, setelah sebelumnya sempat jadi pejabat presiden. Oleh Pak Harto, masa bakti Bang Ali jadi Gubernur Ibukota diperpanjang. Sampai kemudian Bang Ali pensiun dari jabatannya sebagai gubernur.
Setelah tak jadi penguasa ibukota, Bang Ali jadi salah satu tokoh yang berani mengkritik kepemimpinan Pak Harto. Bersama tokoh nasional lainnya, seperti Bung Hatta, Jenderal AH Nasution, M Natsir Jenderal Hoegeng Imam Santoso dan tokoh lainnya, Bang Ali mencetuskan Petisi 50. Petisi 50 ini bisa dikatakan sebagai sebuah gerakan oposisi pertama di era Soeharto.
Tapi karena meneken dan aktif di Petisi 50 itu, Bang Ali kemudian dipersulit oleh Pak Harto. Geraknya dibatasi. Bang Ali tak bisa meminjam uang di bank, terutama bank pemerintah. Tidak hanya itu, semua tokoh-tokoh yang aktif di Petisi 50, dikucilkan, bahkan dicekal. Termasuk Bang Ali.
Bang Ali, tak bisa pergi ke luar negeri. Bahkan sekedar untuk pergi ibadah haji ke Mekkah. Tidak hanya itu, untuk menghadiri acara semacam seminar atau undangan pernikahan, Bang Ali juga dipersulit. Jika sebuah acara nikahan itu juga mengundang Pak Harto, hampir dipastikan Bang Ali kesulitan untuk datang. Padahal dia juga diundang yang punya hajatan.
Dalam sebuah program acara Melawan Lupa, efisode Jejak Langkah Bang Ali yang tayang di Metro TV, AM Fatwa salah satu anggota Petisi 50 yang juga pernah jadi staf khususnya Bang Ali saat jadi gubernur banyak punya cerita menarik tentang jenderal marinir tersebut. AM Fatwa sendiri mengaku jadi staf khusus Bang Ali, 10 tahun lamanya.
Menurut AM Fatwa, Bang Ali itu adalah tipikal orang yang tak suka pembantunya yang penakut. Bang Ali juga tak juga para bawahannya itu orang-orang yang hanya bisa yes man, yes man. Kata Fatwa, Bang Ali justru suka orang yang kritis.
“Dia tak suka apa-apa yang dia kemukakan serba iya-iya saja. Diminta kita berikan pandangan kritis,” kata Fatwa.
Di tayangan Melawan Lupa itu pula ditampilkan testimoni Mia Puspawati. Mia sendiri adalah sekretaris pribadi Bang Ali saat jadi gubernur. Jadi ia tahu keseharian serta tingkah laku jenderal marinir yang keras sikap tersebut. Kata Mia, Bang Ali memang sangat keras. Bahkan tidak segan nabok orang kalau memang orang tersebut keterlaluan kesalahannya. Tapi, bukan berarti Bang Ali arogan.
Menurut Mia, Bang Ali memang cepat marah. Suka teriak-teriak kala kesal. Namun setelah itu cepat lumer. Bahkan Bang Ali tak segan-segan meminta maaf atas sikap serta ucapannya.
“Dia itu di belakang baik, walau suka nabok orang. Kalau salah teriak. Kalau kita tak salah, dia tak sungkan minta maaf,” ujarnya.
Sementara itu, Boy Sadikin, putra kandung Bang Ali, merasakan betul kehidupan yang serba sulit ketika sang ayah dikucilkan oleh penguasa Orde Baru. Sebagai anaknya, ia tentu kena imbasnya. Itu pula kata Boy yang membuat Bang Ali sedih, sebab keluarganya ikut dibawa-bawa. AM Fatwa juga merasakan betapa kerasnya Pak Harto mengucilkan para peneken Petisi 50. Semua yang meneken petisi itu dipersulit. Bisa dikatakan kata Fatwa, Pak Harto sangat membenci Petisi 50.
Fatwa masih ingat, ketika istri Bang Ali hendak mau berobat ke Belanda. Oleh penguasa dipersulit. Dihalang-halangi. Mia, sebagai orang yang pernah dekat dengan Bang Ali juga merasakan hal yang sama. Kata Mia, saat Boy Sadikin hendak memulai bisnis, berkali-kali pinjaman modalnya ke bank ditolak. Sampai-sampai kemudian Bang Ali menelpon langsung direktur banknya. Dan, dari direktur bank itu pula diakui jika ada perintah dari penguasa untuk mempersulit akses Bang Ali dan keluarganya ke dunia perbankan.
Namun menurut Mia, Bang Ali bukanlah orang pendendam. Ia tak pernah membenci Soeharto secara personal. Yang dikritik adalah kebijakannya. Karena itu, ketika Pak Harto tak lagi berkuasa, Bang Ali tak sungkan datang ke kediaman Pak Harto di Cendana. Bang Ali menurut Mia datang ke rumah Pak Harto diam-diam saja. Tidak banyak pers yang tahu.
Bahkan menurut Mia lagi, setelah Bu Tien meninggal, Bang Ali tiap tahun berkunjung ke Cendana. Dan, ketika Bang Ali sakit, Pak Harto yang balik mengunjungi kediaman Bang Ali. Mia jadi saksi ketika Pak Harto datang bertamu. Kedua jenderal yang pernah berseteru itu ngobrol dengan akrab. Bahkan saling pegang tangan.