Sepak bola sepertinya saat ini bukan hanya olahraga yang merebutkan kemenangan atau gelar juara saja. Di dalamnya kini tumbuh berbagai macam aspek yang kerap memberikan dampak baik atau buruk. Berkat hal itulah kini muncul sebuah perdagangan manusia yang berkedok lewat sepak bola. Arus globalisasi dan edukasi yang tidak merata membuat banyak sekali anak-anak muda yang ingin menjadi pemain bola malah terjebak lubang hitam ini. Pada umumnya mereka diangkut dari daerah asal, namun ditinggalkan saat sesampainya tempat tujuan.
Bermodalkan janji-janji manis para oknum agen liar yang sangat terampil dalam mengelabui menjadikan banyak jadi korban. Jumlah uang yang besar agaknya menjadi candu untuk mereka terduga melakukan tindakan keji ini. Berkatnya, sepak bola juga menjadi momok menakutkan yang kerap berubah seperti martil penghancur mimpi pesepakbola muda. Pada umumnya perdagangan ini banyak dijumpai di daerah Afrika. Berkedok seorang agen penyalur pesepak bola, mereka akan mendatangi orang tua sang pemain belia itu untuk menawarkan jasanya.
Keinginan tinggi dan tuntutan merubah nasib lewat olahraga ini, seperti menjadi pelicin untuk para oknum agen tersebut melakukan sebuah tipu daya. Mereka yang berhasil dikelabui akan dibawa ke daerah-daerah di Benua Biru. Lewat sebuah paspor palsu terbang lah mereka ke daratan yang diimpikan bisa jadi batu loncatan untuk berkarier di olahraga ini. Namun dibalik hal ini para orang tua pemain harus membayar uang dengan jumlah uang tidak sedikit. Mengutip laman PanditFotball, tahun 2008 uang sekitar 1500 euro atau 1850 USD menjadi mahar yang harus dibayarkan apabila mereka ingin berangkat.
Besarnya uang tersebut juga membuat banyak keluarga merelakan banyak hal. Mulai harta benda harus di jual sampai hutang kesana-kemari. Meski berat, namun impian dan tujuan mulia selalu mampu menghapuskannya. Kisah Michael Diagana agaknya sedikit menjadi bukti apabila hal ini merupakan sebuah kenyataan pedih yang benar adanya. Singkat cerita, pemain asal Afrika ini dibawa ke Eropa oleh agen gelap. Sesampainya di Benua Biru ia ditinggalkan setelah sebelumnya ditempatkan pada rumah yang tak berpenghuni dan nol fasilitas.
Berangkat tanpa banyak persiapan dan tak berbekal banyak uang membuat kondisinya yang miris tanpa nahas. Dilansir dari majalah FourFourTwo edisi November 2011, dengan usianya masih 15 tahun dirinya dipaksa menjual suvenir-suvenir di bawah Menara Eiffel sambil berusaha menghindari polisi. Kehidupannya yang tidak enak ini, diperparah dengan orangtuanya yang tidak bisa memulangkannya lantaran hidup pada garis kemiskinan. Sebuah hal menyedihkan di balik banyaknya pemain Benua Afrika yang kini bersinar di kompetisi-kompetisi sepak bola Eropa.
Apa yang terjadi dalam kasus ini adalah gambaran bagaimana sepak bola juga memiliki sisi gelap. Dan meski saat ini era globalisasi, namun masih banyak mereka kurang teredukasi akan hal ini. Rupanya tidak hanya Indonesia yang tidak merata pembangunannya. Beberapa daerah di dunia juga alami nasib yang sama.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…