“Tik-tok tik-tok” suara ini adalah yang ditunggu-tunggu ketika sore atau malam hari apalagi pas perut tengah melilit berat dan sedang tidak ada makanan di rumah. Yup, ini adalah bebunyian yang digunakan untuk menunjukkan ada abang bakso atau pangsit di sana. Terlihat sepele sih, tapi sadar atau tidak hal ini cuma ada di Indonesia. Di Inggris mana ada yang begini.
Uniknya lagi, kadang bebunyian yang berbeda juga menunjukkan kalau makanan yang dijual juga tak sama. Ya, tanpa perlu si penjual meneriakkan apa yang dijualnya, kita sudah tahu apa yang mereka bawa. Biar makin menambah khasanah pengetahuan tentang hal-hal unik yang Indonesia banget, ini nih deretan pedagang yang menggunakan bunyi-bunyian ketika menjajakan dagangannya.
Seperti yang dijelaskan dalam ulasan pembuka, bunyi khusus yang dimiliki para penjual bakso adalah “Tik-tok tik-tok”. Bebunyian ini biasanya dihasilkan dari sebuah ruas bambu yang tengahnya dilubangi. Sehingga ketika dipukul suaranya akan beresonansi dan kencang. Biasanya alat bebunyiannya dibuat dari bambu yang tak terlalu besar.
Hampir di seluruh daerah Indonesia, para tukang bakso pasti punya alat ini. Terkecuali untuk warung yang semi permanen dan tidak membawa gerobak atau dipikul. Kadang meskipun menggunakan alat bunyi-bunyian yang sama, mereka juga punya ciri khas. Biasanya dari ritme dan ketukan alat pemukul ke bambunya. Uniknya, kita selalu tahu ritme ketukan penjual bakso favorit.
Pangsit mie juga menggunakan bambu sebagai alat untuk memanggil para pembeli. Namun biasanya bentuknya lebih besar. Umumnya ruas bambu yang berukuran 30 sentimeter lebih. Alhasil, bunyinya pun agak lebih berat. Kalau bakso “Tik-tok tik-tok” maka pangsit biasanya berbunyi “Thuk-thuk”.
Tidak seperti tukang bakso yang memanggil dengan ritme ketukan cepat, abang pangsit biasanya cukup sekali lalu jeda kemudian dipukul lagi, begitu seterusnya. Sangat jarang mereka melontarkan kata pangsit mie. Namun dari ritme dan berat suaranya kita sudah paham jika yang lewat adalah tukang pangsit.
Nah, tukang campur beda lagi caranya memanggil para pelanggan. Kalau dilihat dari karakteristik alat bebunyiannya sih sama seperti tukang pangsit. Bambu besar yang suaranya ‘ngebas’ serta ritme pukulan yang jarang. Namun kalau sama begini, maka tukang campur akan menyalahi kode etik, akhirnya mereka juga menambahkan ciri khasnya sendiri.
Yup, biasanya selain memukul alat bebunyiannya, tukang tahu campur akan berteriak. Uniknya, mereka tidak pernah menyebut lengkap “tahu campur”, tapi cuku dengan “pur” saja. Entah apa maksudnya, namun ini sama sekali tak berhubungan dengan hal-hal klenik atau mengandung makna filosofis kok. Benar sekali, ini hanya semata-mata agar efektif dan efisien saja. Buktinya, meskipun hanya berteriak “pur” kita tahu kalau yang akan lewat adalah tukang tahu campur.
Angsle ronde adalah makanan khas di beberapa daerah di Jawa, namun kini sudah mulai go nasional. Bentuknya sendiri adalah kombinasi antara roti tawar, jeli, mutiara, dan kacang hijau yang kemudian disiram dengan kuah dari santan. Rasanya manis dan sangat nyaman untuk dinikmati malam hari karena disajikan dalam keadaan hangat.
Nah, yang paling dari makanan ini selain rasanya adalah si pedagangnya sendiri terutama cara mereka memanggil para customer. Berbeda dengan semua yang ada di daftar ini, umumnya mereka menggunakan bebunyian yang terdengar ‘cempring’. Tidak ada instrumen yang lebih pas untuk menghasilkan bebunyian ini selain menggunakan mangkok yang dipukul. Teknik ini dipakai oleh penjual angsle ronde mana pun. Uniknya, meskipun setiap hari dipukul dengan ketukan cepat, hampir tidak ada kasus penjual angsle yang mangkoknya pecah.
Dari semua penjual yang suka mengeluarkan bebunyian, pedagang arbanat adalah yang paling berjiwa seni. Hal tersebut ditunjukkan ketika mereka menjajakan dagangannya. Tak seperti penjual bakso atau tahu campur yang hampir tak ada nada dari bebunyiannya, penjual arbanat justru bisa memainkan sebuah lagu. Berbekal alat musik yang cara kerjanya seperti biola yang diletakkan dekat kotak arbanat miliknya.
Namun uniknya, mulai dari zaman dulu sampai sekarang, para penjual ini menggunakan lagu yang sama. Ada alasan untuk itu pastinya. Pertama ini adalah semacam ciri khas sehingga bisa membuat para pembeli menyadari kehadiran para penjual ini. Alasan lain tentu saja biar tidak dikira pengamen. Walaupun untuk seorang pengamen instrumen yang dipakainya sangat tidak umum dan unik.
Bagi kamu yang belum tahu arbanat, ini adalah makanan ringan yang terbuat dari gula dan kemudian dibentuk seperti rambut serta diberi pewarna merah. Istilah lain untuk makanan ini adalah rambut nenek.
Masih ada satu lagi pedagang makanan yang menjajakan dagangannya dengan membunyikan sesuatu. Yup, mereka adalah penjual roti dan kue-kue tradisional yang membawa gerobak. Bunyinya sendiri pasti hampir sama di setiap tempat. Mereka akan menggunakan instrumen berbentuk terompet yang cara membunyikannya cukup dengan meremas bola karet yang ada di ujung terompet tersebut. Bunyinya sangat nyaring dan terdengar hingga radius yang jauh.
Tak hanya membunyikan terompet mininya, kadang para pedagang kue ini juga meneriakkan jenis dagangannya. Alhasil, pembeli pun pasti akan mendengarnya. Sayangnya, eksistensi mereka mulai melemah gara-gara anak-anak dan masyarakat pada umumnya lebih condong ke makanan yang lebih modern. Meskipun begitu, di beberapa daerah masih ditemui yang seperti ini.
Tidak lengkap rasanya membahas pedagang yang suka membunyikan bebunyian tanpa menyebutkan tukang sate. Berbeda dengan deretan pedagang di daftar ini, hanya tukang sate yang tidak punya instrumen bunyi-bunyian. Yup, mereka cukup berteriak sekencang-kencangnya dan semua orang pun akan tahu.
Ya, seperti yang sudah sering kamu dengar, para tukang sate tidak asal teriak saja. Tapi, juga dengan logat Madura yang kental, “Te… Sateee…”. Selalu seperti ini meskipun penjual sate sendiri tak selalu dari pulau garam. Uniknya lagi, di antara semua pedagang sate, umumnya hanya penjual sate madura yang seperti ini. Mungkin sudah jadi trademark ya.
Nah, pedagang terakhir yang juga identik dengan bunyi-bunyian adalah tukang es. Sebenarnya para pedagang es ini masih bisa dipecahkan lagi klasifikasinya dari jenis bebunyian yang dimiliki. Mengingat masing-masing pedagang es kadang memakai bebunyian yang tak sama.
Ada yang menggunakan mangkok sehingga berbunyi ‘nyempring’, ada pula yang menggunakan semacam gong kecil yang berbunyi ‘dung-dung’, serta ada juga menggunakan terompet kecil seperti milik tukang roti. Meskipun jenisnya sangat beragam, lagi-lagi kita dengan mudahnya bisa membedakan. Ya, tentu saja karena mungkin kita sudah mendengarkan suara-suara ini sejak kecil dulu.
Harus diakui jika pedagang Indonesia itu orangnya kreatif. Tanpa suara-suara, mana bisa dagangan laku. Berawal dari kreativitas tersebut, hal ini pun akhirnya jadi ciri khas yang cuma ada di negara ini. Sebenarnya masih banyak penjual lain yang mengeluarkan bunyi-bunyian ketika berjualan. Namun deretan pedagang di atas sepertinya sudah cukup mewakili.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…