3. Masa Gelap Try Sutrisno
Selepas menjadi ajudan presiden, nama Try Sutrisno makin diperhitungkan di kemiliteran. Hingga pada tahun 1982 ia diangkat menjadi Panglima KODAM V/Jaya. Namun di posisi seperti inilah Try Sutrisno merasakan salah satu masa paling gelap di karirnya. Ya, ketika itu ia harus menghadapi pergolakan berdarah di Tanjung Priok pada tahun 1984.
Perseteruan ini adalah tentang kesalahpahaman ideologi serta indikasi pemerintah yang lebih memihak kepada kaum Tionghoa. Masyarakat Priok pun tak terima dan protes sambil melakukan huru hara, termasuk merusak banyak toko-toko orang China. Try Sutrisno pun akhirnya memutuskan langkah yang berisiko. Bersama Panglima ABRI, Benny Moerdani, sang Pangdam pun bernisiatif meredam warga.
Aksi damai ternyata tak bisa dilakukan dan warga makin beringas dalam melakukan aksinya. Akhirnya setelah tembakan peringatan tak dihiraukan, pasukan pun menghujamkan peluru ke arah kerumunan. Jatuh korban pun tak bisa dihindarkan. Kala itu sekitar 28 orang tewas. Peristiwa ini jadi histori kelabu bagi Try Sutrisno.
Selepas peristiwa berdarah ini, Try Sutrisno pun naik lagi menjadi seorang Panglima ABRI. Di masa seperti ini pun ia merasakan lagi pil pahit. Ketika itu konflik di Dili, Timor Timur, yang diawali oleh protes mahasiswa yang menginginkan provinsi ini lepas dari Indonesia sambil membawa poster Xanana Gusmao. Try Sutrisno pun memerintahkan pasukan untuk menembak hingga akhirnya sekitar 271 orang tewas ketika itu. Peristiwa ini mendapat kecaman dunia, namun Try Sutrisno berdalih jika ini demi keutuhan bangsa.