Di dunia ini tidak ada yang tahu umur manusia. Kita bisa mati setiap saat tanpa kita ketahui kapan waktunya tiba. Entah kita siap atau tidak, ketika Tuhan sudah memanggil kita, maka kita pergi meninggalkan semua yang ada di dunia. Sama seperti kisah Pierre Tendean, tidak akan ada yang menyangka bahwa dirinya akan begitu cepat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa di usia yang masih terbilang cukup muda, yaitu 26 tahun.
Pierre Tendean, dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Kapten Satu Pierre Tendean meninggal setelah tentara PKI mengira ia adalah Jenderal A.H. Nasution. Kepada para prajurit PKI, dirinya mengaku sebagai sang Jenderal sehingga ia kemudian ditangkap dan dibunuh di Lubang Buaya. Tapi, seperti apakah sebenarnya seorang Kapten yang sebenarnya salah tangkap ini?
Pierre Andries Tendean terlahir sebagai anak keturunan Minahasa – Perancis – Belanda. Pierre diambil dari nama kakeknya dari pihak ibu, Pierre Albert. Sedangkan Andries diambil dari nama kakeknya yang berasal dari pihak ayah. Masa kecil hingga remajanya dihabiskan di Magelang dan Semarang. Ia mengenyam pendidikan sekolah dasar di Magelang sebelum kemudian melanjutkan SMP dan SMA di semarang, tempat sang ayah bekerja. Hal inilah yang membuatnya begitu fasih berbicara dalam bahasa Jawa.
Pierre berasal dari keluarga yang berada pada masa itu. Ayahnya adalah seorang dokter yang bertugas di beberapa rumah sakit. Meskipun berasal dari keluarga yang mampu, ia adalah sosok yang rendah hati, sederhana dan ramah. Saat kecil ia tidak pernah mau mengenakan sepatu saat pergi sekolah. Hal ini dilakukannya semata-mata karena ini merasa senasib dengan teman-teman sekolahnya yang berasal dari keluarga tidak mampu dan harus bersekolah tanpa mengenakan sepatu.
Selain dikenal sebagai sosok yang rendah hati, ia juga merupakan pribadi yang berani bertanggung jawab. Ketika SMA misalnya, ia pernah tanpa sengaja terlibat perkelahian antar pemain klub voli yang ia ikuti. Akibatnya, Pierre dan beberapa temannya ditangkap dan di bawa ke kantor polisi. Pierre memang sengaja tidak lari ketika polisi berdatangan, pasalnya ia merasa bertanggung jawab atas perkelahian yang terjadi.
Tidak berhenti sampai di situ saja, ketika sang ayah, dr. Tendean datang ke kantor polisi untuk menjemputnya, Pierre malah menolak. Ia bersikeras tidak mau ayahnya yang orang terpandang itu terlibat, dan tidak mau polisi mengetahui bahwa ia adalah anak dr. Tendean. Pasalnya jika polisi sampai tahu ia adalah anak orang terpandang, ia pasti akan langsung dilepaskan, tidak demikian halnya dengan temannya. Akhirnya sang ayah pulang atas permintaannya, dan Pierre bersama teman-temannya menerima pendisiplinan dari kepolisian sebelum diperbolehkan pulang.
Tidak banyak orang yang mau bertanggung jawab seperti sosok Pierre ini. Coba saja bandingkan dengan orang-orang zaman sekarang yang suka sekali mengagungkan pangkat mereka atau kerabat mereka demi lolos dari tanggung jawab atau hukuman.
Tahun 1963, Pierre mengikuti pendidikan intelijen karena dirinya akan dikirim untuk melakukan penyusupan ke daerah konflik. Ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, ia bertugas di garis depan sebagai agen intelijen. Ketika bertugas sebagai agen intelijen inilah ia mengalami beberapa kejadian yang menegangkan.
Selama dua tahun, Pierre ditugaskan di garis depan. Dalam masa tugasnya tersebut ia menyusup hingga 3 kali ke daerah Malaysia dengan menyamar sebagai seorang wisatawan. Dalam penyusupan ketiga, ia hampir saja tertangkap oleh pasukan Inggris. Saat itu dengan menaiki speedboat-nya, ia dikejar-kejar oleh kapal destroyer Inggris. Dengan cepat ia membelokkan speedboat dan diam-diam menyelam ke dalam laut.
Agar tidak ketahuan, ia berenang ke sebuah perahu nelayan dan bergantung di bagian belakang perahu sementara seluruh bagian tubuhnya tetap dibenamkan di dalam air. Ia melakukan ini agar si pengemudi perahu tidak tahu bahwa Pierre menyelinap di bagian belakang perahunya. Speedboat Pierre Tendean diperiksa, namun pasukan patroli Inggris tidak menemukan apa-apa selain seorang pengemudi perahu. Akhirnya speedboat tersebut dibiarkan berlayar kembali dan Pierre berhasil terhindar dari penangkapan.
Ketika mundur dari tugasnya sebagai intelijen, ia direkomendasikan untuk menjadi staf TNI-AD. Tiga orang perwira tinggi TNI pun berminat untuk menjadikan Pierre sebagai ajudan mereka. Ketika orang tersebut adalah Jenderal Abdul Harris Nasution, Jenderal Hartawan dan Jenderal Dandi Kardasan. Namun sejak 15 April 1956 ia menjadi ajudan dari Jenderal A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/ Kepala Stff ABRI.
Sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution, Pierre kerap mendampingi sang Jenderal ke berbagai kegiatan, termasuk memberikan ceramah umum kepada mahasiswa di kampus-kampus. Nah, karena penampilan Pierre yang menarik inilah ia menjadi begitu populer di kalangan wanita. Para mahasiswa yang mengikuti kuliah akbar Pak Nasution juga lebih memperhatikan si ajudan daripada Jenderal yang sedang memberi ceramah. Sampai-sampai saat itu keluar pernyataan dari para mahasiswi, “Telinga kami untuk Pak Nas, tapi mata kami untuk ajudannya”.
Ya, setampan dan semenarik itulah Kapten Pierre Tendean.
Banyak wanita terpesona olehnya, tapi hanya satu wanita yang berhasil menawan hati Pierre. Seorang gadis cantik bernama Rukmini Chaimin telah membuatnya jatuh cinta. Pierre menjalin hubungan dengan gadis ini untuk beberapa lama dan saling berkirim surat. Besarnya cinta Pierre dan keseriusannya terhadap Rukmini dapat terlihat kata-kata lugasnya yang ia kirim lewat surat kepada sang kakak, Mitz Farre. Dalam surat itu ia berkata, “Mitz, aku wis ketemu jodoku. Wis yo Mitz, dongakake wae mugo-mugo kelakon” (Mitz, aku sudah bertemu jodohku. Sudah ya, doakan saja semoga tercapai).
Dua sejoli ini serius menjalani hubungan mereka dan merencanakan untuk menikah pada November 1965. Tapi takdir berkata lain, Pierre justru meninggal pada 1 Oktober 1965, sebulan sebelum acara pernikahannya. Kabar kematian kekasihnya membuat Rukmini benar-benar terpukul. Butuh waktu lima tahun baginya untuk bisa melupakan sang pujaan hati dan menikah dengan pria lain.
Dialah Kapten Pierre Tendean, pemuda yang bersahaja, ramah, dan sedang jatuh cinta. Cita-citanya membina keluarga bersama sang kekasih harus kandas karena ia akhirnya terbunuh dalam tugasnya sebagai seorang ajudan, meninggalkan orang-orang yang mencintainya. Semoga kita bisa terus mengenang jasanya dan meniru kebaikan serta keberaniannya.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…