Bagi penyuka sejarah Indonesia, Lukman Njoto pasti merupakan nama yang akrab di telinga. Keterlibatannya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) seakan jadi roller coaster di kehidupannya. Tak hanya itu, Njoto juga merupakan tokoh di balik berdirinya Lekra.
Dari orang yang mencintai seni, menjadi menjadi menteri, hingga dianggap berbahaya sebagai pentolan PKI. Garis hidup menuntunnya sebagai orang paling berbahaya dan dicari di Indonesia. Terlepas dari statusnya sebagai penggerak partai terlarang, Njoto adalah pribadi yang menarik untuk dipelajari.
Meski disibukkan dengan kegiatan politik, Njoto tak pernah lupa menjadi bapak dan lentera bagi keluarga. Svetlana Dayani, putri sulung Njoto, mengingatnya sebagai ayah yang istimewa. Jarang marah dan senang mendampingi anak-anaknya belajar. Njoto juga dikenal sebagai jenius yang sederhana. Ketika diangkat sebagai Menteri Negara RI, dirinya lebih suka naik becak ketimbang mobil dinasnya.
Kecintaan terhadap literasi Njoto sudah tertanam sejak kecil. Sang ayah, Raden Sosro Hartono, membiasakan anak-anaknya untuk gemar membaca buku. Adik kandung Njoto, Sri Windarti, mengatakan bahwa Njoto muda suka membaca buku-buku berat berbahasa asing. Tak heran bila di usia belia, Njoto sudah mengenal tulisan-tulisan karya Marx, Lenin, dan Stalin.
Jiwa politik Njoto bergejolak sejak ia masih remaja. Di usia 16 tahun, dirinya sudah didapuk sebagai Wakil PKI Banyuwangi. Satu langkah yang membuatnya dekat dengan pentolan partai, D.N. Aidit dan Lukman. Selain itu, Njoto juga dipercaya sebagai Wakil Sekjen II, sekaligus orang yang menjaga relasi dengan badan-badan perwakilan.
Bersama Partai Komunis Indonesia, Njoto menjaring popularitas. Ketenarannya meningkat pesat, seiring kedekatannya dengan Aidit dan Lukman. Lebih dari itu, Njoto dipercaya untuk memelihara relasi dengan badan-badan perwakilan.
Njoto, bersama dua rekannya, dianggap sebagai tokoh penting bagi PKI. Usai peristiwa Madiun 1948, ketika kadernya banyak yang tewas, Tiga Serangkai jatuh bangun menyelamatkan reputasi partai komunis ini. Salah satunya adalah dengan menerbitkan Bintang Merah. Sebuah “media” yang digunakan untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya.
Lepas peristiwa 1965, Njoto tak pernah terlihat lagi oleh keluarganya. Beberapa pihak meyakini, pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur ini ditangkap dan dieksekusi mati. Namun hingga saat ini, keluarga tak pernah melihat tempat dirinya dimakamkan. Namun Svetlana yakin ayahnya tidak tertangkap karena kabarnya berada di Medan, Sumatera Utara, saat peristiwa G 30S/PKI terjadi.
Bagi keluarganya, noda sebagai anggota PKI seperti warisan turun-temurun. Svetlana menyaksikan ibunya dipenjara, diintimidasi saat diskusi, tidak mendapatkan pendidikan yang layak, hingga berpindah-pindah tempat demi merasa aman.
BACA JUGA: Mengulik Kisah Hidup D.N. Aidit, Pria Agamis yang Jadi Petinggi PKI
Njoto tak pernah lagi ditemukan. Kenangannya hanya hidup kembali lewat buku dan ungkapan saksi mata. Sebuah harga yang sangat mahal untuk ditukar dengan ideologi yang justru menyeretnya pada jurang kehancuran.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…