Indonesia adalah salah satu negara yang masih menganut atau menerapkan metode hukuman mati. Hukuman mati di Indonesia memang punya sejarah yang sangat panjang. Sejak dari zaman kerajaan hukuman mati sudah diberlakukan. Kemudian hukuman mati diberlakukan pula di zaman penjajahan Belanda dan pendidikan Jepang.
Bahkan, sampai Indonesia merdeka hingga sekarang, metode hukuman mati sama sekali tak dihapus. Di zaman Orde Lama, saat Soekarno masih jadi Presiden, hukuman mati diberlakukan kepada mereka yang dianggap membangkang kepada pemerintah yang sah atau dalam kata lain memberontak. Di zaman Soeharto berkuasa pun demikian.
Sekarang di era Jokowi, hukuman mati tetap diberlakukan. Tapi, hukuman mati bukan lagi khusus diberikan kepada mereka yang dianggap subversif. Namun kebanyakan hukuman mati diperuntukkan bagi para bandar narkoba dan narapidana pembunuhan berencana serta pelaku terorisme.
Namun seperti apakah hukuman mati dilaksanakan? Ya, selama ini hanya kabar burung yang beredar, bahwa hukuman mati dilakukan oleh satu regu eksekutor dari kepolisian. Tapi seberapa mencekamkah suasana menjelang detik-detik hukuman mati dilakukan? Jarang ada saksi mata yang menceritakan itu.
Nah, Boombastis.com mau sedikit berbagi cerita tentang kisah seorang mantan jaksa yang pernah menyaksikan langsung detik-detik dilaksanakannya hukuman mati. Seperti apa kisahnya?
Adalah Tumpak Hatorangan Panggabean, mantan jaksa itu. Tentu kita tak asing lagi dengan nama yang satu ini. Apalagi bagi yang bergelut dengan dunia anti korupsi. Ya, ia selain pernah jadi jaksa, juga pernah jadi salah satu pimpinan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satu lembaga superbodi yang ditakuti para koruptor.
Ternyata Tumpak pernah punya pengalaman yang menurutnya mencekam, ketika dia jadi saksi langsung bagaimana prosesi hukuman mati dilakukan. Kesaksian itu, sempat Tumpak ceritakan ketika dia diwawancarai oleh sebuah majalah politik terkemuka di negeri ini, Majalah Tempo.
Tumpak berkisah, saat itu ia masih jadi jaksa aktif. Ia ketika itu sedang menjabat sebagai Kepala Seksi Intel Kejaksaan Meter Jakarta Utara. Saat menjabat kepala seksi intel itulah, Tumpak masih ingat, ia jadi saksi yang menyaksikan langsung bagaimana seorang narapidana mati dieksekusi oleh regu tembak.
Ketika itu, Tumpak ditugaskan institusinya untuk mengawal prosesi eksekusi seorang narapidana yang telah di vonis terlibat dalam kasus G30S/PKI. Tempat eksekusi pun sudah ditentukan, akan dilakukan di sebuah lapangan terpencil di sebuah pulau yang juga tak kalah terpencil. Pulau itu ada di gugusan kepulauan Seribu, tak jauh dari daratan Jakarta.
Tengah malam, semua yang ikut terlibat dalam proses eksekusi itu berangkat ke pulau yang akan jadi tempat eksekusi. Termasuk juga narapidana yang akan dieksekusi. Mereka yang berangkat adalah tim dari kejaksaan, puluhan tentara dan personil polisi, dan juga tim medis yang terdiri dari dokter dan perawat. Ikut juga tokoh agama.
Menggunakan kapal, saat senyap malam, mereka berangkat mengarungi lautan dari Tanjung Priok menuju pulau yang akan jadi tempat eksekusi. Selama perjalanan tak ada yang banyak bicara. Menjelang subuh, baru kapal merapat ke pulau. Semuanya turun dan langsung bergegas menuju lapangan yang akan jadi tempat eksekusi. Satu regu tembak yang terdiri beberapa personil kepolisian bersenjata lengkap disiapkan. Mereka yang akan jadi tim eksekusi.
Tumpak masih ingat, napi yang akan dieksekusi berpakaian hitam dan putih. Mereka pun lalu dibawa ke sebuah tiang yang telah disiapkan di lapangan. Napi yang akan dieksekusi pun kemudian diikat di tiang tersebut. Tangannya ditelikung kebelakang lalu diikat di tiang kayu. Situasi saat itu sungguh tegang. Tak ada yang bicara keras-keras. Kalau pun ada yang bicara, hanya bisik-bisik saja.
Selanjutnya regu tembak bersiap setelah napi diikat di tiang kayu. Mereka berbaris dan bersiap mengokang senjata. Moncong senjata semuanya diarahkan ke si napi yang sudah pasrah di ikat di tiang kayu. Aba-aba pun diberikan. Lalu satu rentetan senjata terdengar memecah subuh. Dalam remang subuh, setelah rentetan senjata tak terdengar, napi yang diikat di tiang terlihat terkulai. Kepalanya lunglai.
Kemudian tim media yang mendekat. Dokter yang ikut lalu memeriksa keadaan si napi, untuk memastikan, apakah yang dieksekusi benar-benar telah meninggal atau tidak. Setelah dipastikan meninggal, napi yang telah mati pun disalatkan. Dikafani. Kemudian di kubur di pulau itu juga. Pertanyaannya, apakah semua senjata yang dipakai regu tembak berisi peluru tajam semua? Atau hanya satu yang berisi peluru?
Tentang ini, saat masih jadi Kapolri, Jenderal Sutarman pernah mengatakan, bahwa satu regu eksekutor biasanya terdiri dari 13 orang personil. Mereka dipimpin oleh seorang perwira. Masih kata Sutarman, di antara personil yang masuk regu tembak, tidak ada satu yang tahu, senjata mana yang mereka pegang yang berisi peluru tajam. Mengenai jarak antara regu eksekutor dengan yang dieksekutor, menurut Sutarman antara 5-10 meter. Pokoknya kata Sutarman, tak boleh lebih dari itu.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…