“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Penggalan lagu Koes Plus ini sama sekali tidak dusta melihat kenyataan yang ada. Coba saja lemparkan sebuah kayu di halaman muka rumah, tak lama ia akan menjadi tunas-tunas yang akan terus bertumbuh. Begitu magis Indonesia memang, membuat siapa pun iri karena tidak dilahirkan di tanah seindah dan semakmur ini.
Namun, ketika lagu tersebut dinyanyikan di saat-saat seperti ini, entah kenapa rasanya jadi hambar dan tanpa rasa. Alih-alih haru dan membenarkan liriknya, kita mungkin akan berkata “Surga apanya???” Hal ini tentu sangat beralasan terutama ketika melihat berbagai kebobrokan yang terjadi di tengah-tengah kita. Geram dan sesal dengan apa yang kita alami sekarang, sampai-sampai muncul anggapan bahwa Indonesia sudah tidak layak lagi ditinggali. Pergi dari sini adalah satu-satunya cara terhindar dari semua kesusahan dan ketidakmampuan kita menoleransi semua ketidakbenaran yang terjadi.
Kita tidak minta untuk dilahirkan di Indonesia, namun pergi dari sini adalah pilihan yang bisa kita lakukan. Dan hal-hal seperti di bawah ini yang kadang jadi alasan kenapa kita mending pergi saja dari negeri ini.
Kita mungkin nggerundel ketika berada di belakang pemotor dua tak yang asapnya tak karuan itu. Padahal tak terbayangkan bagaimana sesaknya nafas orang-orang Riau dan daerah lainnya yang tiap harinya dikepung asap. Tak seukuran asap knalpot, mungkin seratus kali lipatnya. Begitu parah, sampai-sampai kita tidak tahu apa-apa beberapa meter di depan. Sayangnya, pemerintah justru lamban dalam menyelesaikan permasalahan ini. Empat bulan waktu yang lebih dari cukup untuk mengatasi masalah, bukan? Kenyataannya selama itu pula warga di daerah asap batuk-batuk ketika menghirup nafas dalam-dalam.
Belum benar-benar menyelesaikan asap, belakangan Malaysia dan Singapura juga protes lantaran asap kiriman Indonesia mengganggu aktivitas mayoritas penduduknya. Tak cuma protes, mereka mengecam bahkan menganggap Indonesia masa bodoh dengan masalah ini. Bahkan tak cukup dengan itu, mereka membuat tagar di media sosial yang tujuannya menyindir Indonesia dengan ungkapan #TerimakasihIndonesia. Kita jarang sekali melakukan impor, namun sekali-kalinya ingin melakukannya justru asap yang kita berikan.
Kasus nenek Aminah yang dituduh mencuri kakao tentu masih membekas di pikiran kita. Tidak lupa pula seisi ruang sidang kala itu menitihkan air mata begitu hakim memukul palunya dan memutuskan hukuman kepada wanita renta itu. Entah apa yang dipikirkan si penggugat ketika melihat kejadian miris ini. Namun kenyataannya mereka tak peduli karena hukum harus ditegakkan di mana pun juga.
Lalu apa kabar para terpidana kasus korupsi kita? Sampai kapan mereka berhenti diistimewakan dan dielu-elukan? Kita tidak menyangkal jika para koruptor ini masih jumawa dengan harta yang mereka punya. Bahkan hukum pun bisa dibanderol dengan harga. Sehingga seperti yang sangat jelas di mata kita, para koruptor tak pernah mendapatkan hukuman yang berat. Setahun, dua tahun, sudah jadi sangksi yang pas menurut hakim.
Alangkah naif dan butanya mata ketika hukum yang sepicik ini masih membuat kita legowo dan menerimanya baik-baik. Lalu memang ini kah hukum di negeri kita? Tumpul ke atas tapi menghujam tajam ke bawah.
Kami pernah mengulas sebuah artikel di mana ini jadi bukti kuat jika birokrasi di negeri kita memang tak pernah mudah. Di artikel tersebut nampak seorang pegawai pemerintah menarik biaya tak tertulis ketika seseorang mengurus sebuah surat. Dalihnya, “biasanya kami begitu pak, kalau ketemu pak camat harus setor dulu.” Yakin sekali hal-hal seperti ini juga terjadi di hampir semua strata pemerintahan.
Tak perlu sampai tingkat pemerintahan tinggi, kita mungkin sering dimangsa oleh pengurus kelurahan sendiri. Bilangnya tanpa biaya tapi menghimbau untuk memberikan uang seikhlasnya. Kita pun tak tahu ke mana larinya uang-uang tersebut. Singkirkan sejenak soal sogokan alias biaya tak tertulis ini, dari sisi kepraktisan kita juga sering direpotkan.
Mau urus apa-apa susah, harus ke sini ke situ, lalu biasanya yang ditemui tidak ada, cuti dan sebagainya. Mengurus KTP bisa hampir 4 bulan, padahal kita hanya tinggal isi biodata dan foto saja. Begitu ruwet birokrasi di negara kita membuat banyak orang bertanya, “bukankah para PNS ini adalah orang-orang pilihan? Masa bikin sistem yang lebih mudah saja tidak bisa.”
Kecuali kita ada di posisi bos, manajer atau top level manajemen lainnya, maka bisa dibilang sangat hebat kalau gajian bulanan bisa sisa banyak sekali. Namun kenyataannya justru sebaliknya, bukan? Harga-harga makin tinggi, gaji tak kunjung naik. Sedangkan kebutuhan tak bisa ditunda.
Memang pemerintah yang menentukan kebijakan, namun eksekutornya adalah perusahaan. Tergantung jika si perusahaan begitu baik, mereka akan melihat kenaikan harga-harga sebagai alarm untuk menaikkan gaji karyawannya. Sayangnya, banyak perusahaan di negeri ini seperti kemaruk. Hanya ketika diancam mogok kerja dan sebagainya, mereka akan mempertimbangkan kenaikan gaji.
Jujur saja apakah semua perusahaan di Indonesia benar-benar mengayomi dan memikirkan pekerja? Sayangnya tidak.
Macet sudah jadi makanan sehari-hari. Dulu hanya di kota-kota besar, tapi kini dampak tersebut mulai dirasakan orang-orang daerah pinggiran. Ya, kini macet mulai meng-Indonesia dan membuat semua orang emosi di pagi hari.
Salah satu alasan kenapa kita selalu dihadapkan dengan kemacetan adalah jumlah kendaraan yang sudah tidak seimbang dengan jalannya. Tiap tahunnya para perusahaan otomotif untung besar lantaran menjual banyak sekali unit kendaraan. Dan diprediksi jika hal ini terus terjadi, 50 tahun lagi kemacetan akan terasa bahkan di depan rumah kita.
Pemerintah bukannya tidak tahu dengan masalah membludaknya kendaraan ini. Sayangnya, mereka terkesan membiarkannya entah apa alasannya. Mungkin karena tiap hari pemerintah bisa mengantongi miliaran uang dari pajak-pajak kendaraan bermotor. Wacana untuk memaksimalkan angkutan umum juga masih jadi omong kosong saja. Padahal inilah solusi terbaik untuk masalah kemacetan tersebut.
Pekerjaan yang berisiko kematian sebenarnya bukan tentara saja, namun justru KPK. Ya, bersedia menjadi anggota organisasi ini sudah harus punya asuransi lantaran risiko kematiannya besar sekali. Antasari Azhar, Abraham Samad, lalu Bambang Widjojanto, orang-orang ini sudah puluhan kali menerima ancaman pembunuhan. Hal ini menunjukkan jika korupsi di negara kita memang sudah memperihatinkan. Bahkan bisa dibilang gila lantaran sampai harus membunuh orang-orang penting seperti mereka.
Korupsi di negara ini ibarat virus yang menyerang tiap sel-sel di dalam tubuh. Artinya, hampir di setiap strata pasti ada. Sudah berapa kali KPK mengusut kasus-kasus korupsi di sektor menengah ke bawah? Mungkin yang diulas di media hanya beberapa gelintir saja, tapi tengok dokumen mereka. Sudah berapa lemari berkas-berkas penyidikan korupsi?
Makanya tak heran jika negara kita dijuluki salah satu negara paling korup di dunia. Sama sekali tidak membanggakan tentu saja. Bahkan kita dibikin makin geram ketika vonis para terdakwa korupsi ini rendah sekali.
Kursi jabatan di pemerintah sepertinya hanya jadi mainan orang-orang besar saja. Tidak benar-benar terlihat kesan mereka memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sehingga pantaslah jika rakyat sudah tidak menaruh harapan apa pun kepada mereka. Bukti paling nyata adalah jumlah golput alias yang tidak memilih dalam pemilu tahun lalu. Percaya tidak percaya, sebanyak 56,7 juta suara masih mulus alias tidak diapa-apakan. Ini artinya rakyat sudah muak dan tidak percaya lagi terhadap pemerintah. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan total suara yang digunakan. Ironis? Tentu saja.
Lalu soal begal beberapa waktu lalu, ada sebuah kejadian di mana masyarakat melakukan aksi main hakim sendiri dengan membakar si pelaku. Tentu saja ini salah, namun di sisi lain juga sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada aparat. Lamban dalam memberikan perlindungan membuat masyarakat lebih memilih aksinya sendiri. Soal kepolisian ada pula yang mengatakan jika kita harus memberikan sejumlah uang agar kasus ditangani. Jika tidak, maka bersiap-siaplah menemui kehampaan. Bahkan jika aparatnya sudah tidak peduli terhadap rakyatnya seperti itu, maka mau lapor kepada siapa lagi?
Indonesia adalah negaranya orang-orang cerdas. Sudah berapa kali adik-adik kita menang kompetisi sains dunia? Sangat sering. Bahkan banyak ilmuwan yang mendunia juga dari Indonesia. Mereka saat ini mendedikasikan hidupnya di sana. Lalu pertanyaan pun muncul, kenapa para ilmuwan justru loyal di luar negeri padahal Indonesia sendiri membutuhkan mereka? Jawabannya begitu mudah, negeri ini tidak tahu cara mengapresiasi dan menghargai mereka.
Bukannya tidak nasionalis, namun pemerintah sendiri terlihat ogah untuk mengayomi para orang cerdas ini. Negara mungkin akan mempertimbangkan ribuan kali untuk memberikan dana bagi riset-riset mereka. Padahal ujung-ujungnya ya buat negara. Hal ini pernah menimpa beberapa ilmuwan. Bahkan mereka tak cukup mendapatkan gaji dari pemerintah sehingga menjadi dosen. Bahkan yang sudah jelas-jelas karyanya seperti mobil listrik kemarin, justru ditolak pemerintah dengan dalih bikin ketawa, misalnya lantaran emisi.
Sudah banyak putra bangsa yang pintar luar biasa justru dikecewakan oleh negaranya sendiri. Sampai kapan pemerintah sok seperti ini. Padahal kita mungkin saja tak lagi jadi negara pengekor lantaran para ilmuwan mendedikasikan temuan hebatnya untuk negara. Sayang sungguh disayang, kesempatan ini berkali-kali dihempaskan begitu saja.
Masih ingat insiden memilukan di Tolikara ketika Idul Fitri kemarin? Ya, entah apa alasannya, para oknum tiba-tiba saja membakar masjid tengah dipakai itu. Tidak ada korban memang, tapi hal tersebut jadi isu SARA paling menyesakkan di tahun ini. Ya, potret Indonesia juga adalah tentang hal-hal seperti ini, di mana SARA masih saja jadi hal yang dilakukan.
Tak berhenti sampai di situ, bulan Oktober kemarin gantian sebuah gereja di Aceh dibakar. Alasannya sendiri diduga adalah kebencian, sama seperti kasus Tolikara. Kenapa harus seperti ini? Kita kan beragama, harusnya bisa menyelesaikan hal-hal yang tak benar dengan cara yang baik. Bukan justru melakukan anarkisme seperti ini. Kapan masyarakat Indonesia bisa dewasa menghadapi masalah-masalah sensitif seperti ini?
Indonesia bisa ada seperti sekarang karena diperjuangkan. Jutaan pejuang mati hanya agar anak cucu mereka, yakni kita, bisa merasakan yang namanya merdeka, hidup dengan kaki sendiri di tanah yang bebas. Tapi, apa yang sudah kita lakukan? Sama sekali tidak ada. Bahkan pedoman negara seperti Pancasila, hanya anak-anak SD saja yang hafal. Lalu ini kah yang dinamakan balas jasa?
Nasionalisme hanya muncul saat menonton film perjuangan, atau ketika negara tetangga mencaplok apa-apa yang harusnya milik kita. Selebihnya, masyarakat Indonesia hanya jadi nasionalis ketika ada yang memancing amarah mereka. Meskipun mereka juga tak peduli dengan para veteran miskin yang dulu mengorbankan badannya untuk kemerdekaan.
Lebih miris lagi ketika sebuah foto tentang proklamasi diedit oleh seorang oknum yang mengganti gambar tersebut menjadi lelucon. Sayangnya si pelaku tidak lahir di tahun 1945 dan merasakan momen tersebut adalah penting bagi bangsa. Ya, pada akhirnya nasionalisme hanya pemanis bibir saja
Beginilah potret bangsa kita sekarang. Miris dan seperti tidak ada yang diharapkan lagi. Meskipun pergi meninggalkan negeri ini adalah solusi, namun pada akhirnya kita pasti akan kembali lagi. Luar negeri memang lebih baik, tapi semua hal yang ada di sini sudah kadung menancap di hati dan tak bisa dilupakan begitu saja. Jujur saja, kamu akan sangat rindu dengan Indonesia ketika sudah lama di luar sana, betapa pun bobroknya negeri ini.
Alih-alih pergi, kita harus bangkit dan mengubah semua ini dengan tangan sendiri. Indonesia bukan hanya milik segelintir orang saja, tapi milik kita semua. Hanya dengan itu maka kita bisa mengubah nasib bangsa ini. Pedulilah, karena tidak ada siapa pun lagi selain kita sendiri yang akan memperjuangkan negara ini.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…