Kasus kekerasan terhadap anak yang muncul di Indonesia kian hari kian dramatis, seperti skenario film. Air mata, drama hingga sandiwara melengkapi potret kelam anak-anak bangsa. Dunia maya ramai dengan ucapan bela sungkawa dan doa. Kita sama-sama tahu bahwa berdoa di dunia maya saja tidak akan pernah cukup.
Kali ini Boombastis akan merangkum sejumlah kasus yang menambah daftar hitam di buku kehidupan anak Indonesia, yang harusnya diisi dengan canda dan tawa, kini kita menyaksikan bahwa kisah ratapan anak tiri bukanlah kisah picisan sinetron. Kini kita menyaksikan mimpi buruk bangsa ini harus kita lihat dengan mata terbuka.
Kasus ini adalah kasus yang paling banyak menarik perhatian medsos akhir-akhir ini. Sejak gadis kecil berusia 8 tahun ini hilang, keluarganya membuat sebuah Fan Page di Facebook. Lewat media tersebut, mereka meminta bantuan para netizen untuk menemukan anggota keluarga mereka, Angeline. Mereka juga membuat akun di situs GoFundMe, sebuah situs dimana seseorang bisa menggalang dana secara online untuk sebuah gerakan.
Tapi semua usaha mulia itu berujung hal yang tidak terbayangkan. Sang gadis cantik ditemukan membusuk di halaman rumahnya sendiri. Pembantunya telah ditetapkan sebagai tersangka, namun polisi masih terus menyelidiki kemungkinan keterlibatan keluarga Angeline. Gadis yang hilang tiga hari menjelang ulang tahunnya yang kesembilan itu meninggal dengan posisi sambil memeluk boneka.
Arangga Arman Kusuma, akrab disapa Aga adalah anak yang sangat cerdas. Dia menempuh pendidikan di salah satu sekolah papan atas di Jakarta Selatan. Meski kedua orangtuanya telah berpisah, dia tampak menjalani kehidupan seperti anak-anak lainnya.
Namun sikap tenang Aga ternyata menyimpan sakit hati yang amat sangat. Suatu hari, anak berusia 12 tahun itu memutuskan diri untuk menggantung dirinya di dalam lemari. Dia bahkan telah merencanakan aksi bunuh diri itu dengan sangat matang. Beberapa pihak menyalahkan tentang video game dan film anime yang mengandung unsur kekerasan, memang menyalahkan sesuatu yang “fana” lebih gampang daripada menyalahkan diri sendiri, yang gagal menjadi tempat berlindung bagi seorang anak.
Penelantaran anak biasanya dilakukan karena motif ekonomi yang tidak mapan. Namun, dalam kasus satu ini, penelantaran justru dilakukan oleh sepasang suami-istri yang sangat mapan. Mereka berdua mengaku datang dari kalangan berpendidikan. Sang Ayah malah diketahui berprofesi sebagai seorang dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Semua itu tidak bisa menutupi fakta bahwa mereka menelantarkan anak mereka dalam kondisi yang menyayat hati. Anak sulung mereka dibiarkan tinggal di luar rumah selama berbulan-bulan, hingga harus tidur di pos satpam. Sementara tiga anak lainnya dibiarkan tinggal di rumah yang berantakan dan tidak terjaga kebersihannya. Keempat anak tersebut ditemukan dalam keadaan depresi dan trauma berat.
Kilas balik ke beberapa tahun lalu, Indonesia digemparkan oleh kasus kekerasan seksual terhadap seorang anak di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Seorang ibu melaporkan pihak sekolah ke polisi karena anaknya tertular penyakit kelamin akibat kekerasan seksual. Beberapa staf kebersihan sekolah ditahan. Salah satu diantaranya mati bunuh diri.
Kasus tersebut menguap begitu saja. Namun, harus kita ingat bahwa pihak sekolah dan para guru harus ikut bertanggung jawab. Sangat mustahil jika guru tidak mengetahui ada perbuatan tidak senonoh terjadi pada siswa di kelasnya, dan sangat mengherankan jika sekolah semewah itu tidak memiliki rekaman CCTV yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengetahui tersangka utama.
Kita bisa saja mengelus dada dan geleng kepala ketika melihat berita di televisi atau di media online. Kita juga bisa mengucapkan bela sungkawa di forum-forum online. Tapi apakah tindakan itu membuat kita manusia yang lebih baik? Tidak. keadaan tidak akan berubah jika kita tidak bertindak.
Apakah kita sudah berisiatif untuk menegur jika ada orang di sekitar kita melakukan kekerasan terhadap anak? Atau kita pura-pura tidak tahu dan menganggap itu “urusan pribadi masing-masing”? Apa geleng-geleng kepala saja sudah cukup? Kita bisa mengakhiri kekerasan terhadap anak jika kita mau, mulailah dari keluarga kita sendiri. Membesarkan anak dalam lingkungan keluarga yang penuh welas asih akan menciptakan generasi yang penuh cinta dalam hati mereka. Mewujudkan kasih sayang tidak butuh harta melimpah.
Kita juga harus peka terhadap lingkungan. Jika ada yang mau bertindak ketika melihat perubahan sikap dan fisik Angeline, Aga atau anak-anak lainnya, mungkin saat ini mereka masih bermain dengan riang. Gadget anda bisa anda gunakan untuk menemukan alamat untuk menghubungi pihak yang berwajib dan berwenang, bukan hanya untuk memposting doa saja. (HLH).
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…