Kehidupan pasca SMA bisa dibilang merupakan awal mula yang sebenarnya dalam proses pencarian jati diri kita. Ada yang memilih untuk langsung melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi dan ada pula yang memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebelum kemudian mendaftarkan diri ke universitas impian.
Banyak dari muda-mudi tersebut yang rela meninggalkan kampung halamannya untuk kemudian merantau ke kota besar yang menawarkan kualitas pendidikan atau kesempatan yang lebih baik ketimbang di daerah asal mereka. Sebagai tempat tinggal sementara selama mereka di sana, terpilihlah kos-kosan. Bagi para calon penerus bangsa ini kosan sudah seperti rumah kedua.
Di tempat ini, mereka berbaur dengan banyak manusia dari berbagai latar budaya yang berbeda, dari satu daerah dengan daerah lainnya, serta orang desa dengan orang kota. Ragam pola dan kultur bermasyarakat antar penghuni menjadi keunikan tersendiri yang membuat kehidupan kosan semakin berwarna-warni.
Akan tetapi tak semua orang suka dengan kehidupan kosan yang akrab seperti itu. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk mengurung diri di kamar masing-masing dan mengurangi aktivitas sosial dengan tetangga kosan yang lain. Mereka baru melangkahkan kaki keluar pintu kamar hanya ketika jam masuk kuliah tiba atau pergi ke suatu tempat bersama teman di luar lingkaran kosan tersebut.
Fokus dengan tugas-tugas kuliah, benci dengan kebisingan, hingga tak mau menyusahkan penghuni lain menjadi alasan klasik mengapa mereka begitu enggan untuk bersosialisasi diri. Padahal selayaknya kehidupan bermasyarakat, tetangga kosan adalah orang pertama yang mengulurkan bantuan kepada kita. Alih-alih orang tua atau saudara yang berada jauh di kampung halaman, mereka pula yang dapat dimintai pertolongan manakala terjadi hal-hal yang di luar dugaan.
Lebih dari sepekan lalu terjadi peristiwa menggemparkan yang barangkali dapat menjadi contoh sempurna bahwa saling mengasingkan diri dan menjaga jarak dari penghuni kos yang lain dapat berakibat sangat fatal.
Seorang mahasiswi bernama Sartika Tio Silalahi yang saat ini sedang menyelesaikan studinya di ITB prodi Studi Perencanaan Wilayah dan Kota angkatan 2013 ditemukan tewas di dalam kamar kosnya, di jalan Plesiran, Taman Sari, Bandung.
Tragis, meninggalnya perempuan yang baru menginjak usia 21 tahun ini baru diketahui setelah tiga hari perkiraan kematiannya. Berawal dari kegelisahan orang tuanya yang berada jauh di Tapanuli, Sumatera Utara, yang meminta pengelola kosan untuk mengecek kabar putri mereka yang sudah tiga hari lamanya tak memberi kabar dan sulit dihubungi.
Sepertinya si empunya kos tak berkediaman di dekat kosan miliknya. Terbukti setelah mendapat kabar tersebut, ia langsung meminta para penghuni lain untuk memeriksa keadaan Sartika via grup komunikasi di salah satu aplikasi pesan instan. Para penghuni yang kebetulan sedang berada di kosan kemudian langsung meluncur ke kamar 206 yang dihuni Sartika.
Karena sang pemilik tak juga keluar setelah kamarnya diketuk berkali-kali, salah satu dari mereka kemudian mengintip ke dalam lewat kisi-kisi di atas jendela kamar. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat sesosok mayat, yang tak lain adalah Sartika, telah terbujur kaku tak bernyawa. Bau tak sedap menyeruak dari lubang ventilasi. Berdasarkan pemeriksaan polisi, diduga remaja muda ini meninggal akibat sakit. Benar saja, ternyata orang tuanya mengatakan bahwa Sartika punya riwayat penyakit maag kronis.
Peristiwa tragis ini bisa dijadikan pelajaran yang teramat berharga bagi kamu yang saat ini masih menjalani kehidupan kosan. Bahwa menjalin komunikasi yang baik dan akrab dengan penghuni yang lain adalah suatu keharusan. Kehidupan kosan bisa jadi gambaran bagaimana sepak terjang kamu ketika terjun ke masyarakat setelah berumah tangga nantinya.
Saat ini memang sudah banyak kosan yang menawarkan beragam fasilitas terbaik. Televisi kabel, AC, jaringan internet super kencang, shower yang lengkap dengan water heater, serta sederet fitur dan kelebihan lainnya semakin membuat kita betah berada di dalam kamar kosan. Belum lagi jika memperhitungkan keberadaan smartphone yang semakin canggih saja dan bikin kita lupa daratan ketika memainkannya.
Tapi, dari sudut pandang yang lain hal ini malah akan berdampak negatif bagi penghuninya. Orang jadi semakin ogah untuk sekadar bertatap muka atau bertamu ke kamar lain. “Semua fasilitas udah ada kok di kamar kita, kenapa mesti repot-repot minta ke orang lain?” Begitu kira-kira anggapan bebal yang ada di benak kaum anti-sosial ini. Padahal, ada banyak hal esensial yang jelas mustahil mereka dapatkan dari beragam fasilitas bintang lima tersebut.
Menghargai privasi penghuni lain memang perlu, tapi setidaknya kita mau untuk menyapa mereka terlebih dahulu dan menawarkan diri seandainya mereka memerlukan bantuan. Karena siapa tahu merekalah yang jadi “pahlawan super” tatkala giliran kita yang memerlukan uluran tangan.
Ambil contoh kisah Sartika ini. Seandainya Sartika minimal mengenal akrab tetangga di kanan-kiri kosannya, ia yang mungkin sudah pingsan selama beberapa jam akibat maagnya yang kambuh dan tak keluar kamar ketika pintunya diketuk atau ponselnya dihubungi berkali-kali mungkin masih bisa mendapat pertolongan.
Lalu, seandainya penghuni lain yang barangkali lewat dan melihat kalau kamar nomor 206 ini pintunya selalu tertutup padahal ada sepatu dan sendal di depan kamarnya, pasti secara insting akan bertanya-tanya pada penghuni yang lain dan mencari tahu apakah sudah terjadi sesuatu yang buruk?
Tak ada maksud keji untuk menyalahkan salah satu pihak atas meninggalnya Sartika. Namun, skenario terselamatkannya mahasiswi berprestasi alumni SMA 1 Tarutung ini sangat masuk akal terjadi apabila semua penghuni kosan memiliki rasa kepedulian, kepekaan, serta rasa saling perhatian dengan penghuni kosan yang lain.
Sekali lagi, semoga kita dapat memetik hikmah dari peristiwa memilukan ini. Bolehlah kamu merasa sungkan ketika ingin meminta bantuan pada penghuni kosan lain atau takut dicap suka mencampuri urusan mereka. Tapi, mari kita mengingat kembali bahwa manusia terlahir dengan kodrat sebagai makhluk sosial. Jika bukan kepada mereka kita meminta bantuan, siapa lagi yang bisa menolong kita?
Anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, tengah berbahagia setelah istrinya, Erina Gudono, melahirkan anak…
Musik dan tren sosial terus berkembang di Indonesia, salah satunya adalah fenomena "Sound Horeg" yang…
Kehilangan orang yang kita sayangi itu berat, apalagi kalau kepergiannya tiba-tiba. Seperti yang dialami oleh…
Cinta sejati yang terjalin antara Ikang Fawzi dan Marissa Haque telah melewati waktu yang panjang…
Kabar gembira datang dari presenter aktor kondang dan pengusaha top, Raffi Ahmad. Suami dari Nagita…
Nama Elaine Low beberapa waktu belakangan mencuat terutama di dunia bisnis dan investasi setelah menerima…