Meski hanya seorang mantan pembantu, Kiswanti tak urung untuk mengabdikan dirinya bagi masyarakat. Berbekal buku-buku yang dikoleksi sejak usia dini, anak tukang becak itu berkeliling dan membuat orang-orang di sekitar kampungnya membaca. Tidak hanya anak kecil, tapi lansia yang tak mengenal huruf-huruf pun jadi target edukasinya. Sambil bersepeda menjual jamu, Kiswanti mengedarkan buku-buku untuk dibaca masyarakat.
Kepedulian perempuan kelahiran daerah Bantul Yogjakarta ini bukan lantaran dirinya bersekolah tinggi. Hal ini justru dilakukan karena dirinya hanya berkesempatan bersekolah hingga SD. Karenanya, perempuan berkerudung itu ingin semua orang mendapat akses pendidikan yang luas. Kini Kiswanti telah berhasil membuat perpustakaan yang juga menampung pendidikan non formal bagi warga sekitar. Berikut ini kisah selengkapnya.
Meski lahir dari keluarga yang kurang dalam hal finansial, Kiswanti beruntung karena masih memiliki sang ayah, Trisno Suwarno. Ayah Kiswanti yang kesehariannya bekerja sebagai tukang becak ini begitu mempedulikannya termasuk memikirkan soal pendidikan. Namun keadaan ekonomi yang amat tak mendukung membuat Kiswanti hanya mampu lulus SD. Selanjutnya sang ayah selalu menyisihkan uang untuk membeli bahkan meminjamkan buku SMP dan SMA untuk Kiswanti. Dari situ, Kiswanti pun menjadi anak yang gemar membaca.
Selepas tak lagi bersekolah, Kiswanti belajar mandiri didampingi sang ayah dengan sumber buku-buku SMP maupun buku SMA pinjaman. Setelah sang ibu meninggal, perempuan kelahiran 4 Desember 1963 itu melanjutkan berjualan jamu yang dilakoni ibunya. Sempat juga di tahun 1989 perempuan yang kini tinggal di Lebak Wangi itu menjadi pembantu. Karena bekerja pada keluarga Filipina dengan upah lumayan, Kiswanti pun bisa belanja buku-buku bermutu. Kamar yang penuh dengan buku membuat majikannya pun merasa aneh melihat pembantu yang gemar membaca. Tak seperti kebanyakan pembantu lainnya.
Beberapa tahun berlalu, Kiswanti pun akhirnya dipersunting Ngatmin dan dibawa ke Bogor. Tak lupa Kiswanti membawa semua buku yang ia punya. Ngatmin pun membuatkan rak kayu untuk buku-buku tersebut. Setelah beberapa saat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, ibu dua orang anak itu pun kembali berkeliling menjual jamu. Selain menjual jamu, Kiswanti juga menaruh keranjang berisi buku-buku di bagian belakang sepeda. Dengan melakukan ini, ia berharap anak-anak dengan mudah mendapatkan akses buku bacaan.Di lingkungan baru, niat Kiswanti tak disambut dengan baik oleh warga. Kebanyakan orang melakukan penolakan terang-terangan. Meski begitu, Kiswanti tak pernah putus asa. Ia terus membawa buku meski hanya satu atau dua orang saja yang membaca.
Berbekal sebidang tanah berukuran 4 x 10 meter yang dicicil selama lima tahun, Kiswanti nekat mendirikan taman baca meski hanya beralaskan papan. Hingga suatu hari Kiswanti bertemu seorang staf Kementerian Pendidikan Kebudayaan yang mengajaknya mengumpulkan buku. Selain itu, Kiswanti juga dikenalkan pada beberapa kolega. Akhirnya, buku-buku yang awalnya hanya 250 kini mencapai jumlah puluhan ribu. Kini taman baca yang dinamai Warabal (Warung Baca Lebak Wangi) menjelma bangunan gedongan berlantai dua.
Didirikan sejak tahun 2003, Warabal baru bisa mencapai tujuannya dalam kurun waktu 10 tahun. Dari awal pendirian dan masih diacuhkan warga, kini masyarakat sekitar Lebak Wangi sadar akan pentingnya membaca. Tidak hanya anak-anak, kaum ibu-ibu pun datang ke taman baca untuk memperoleh keterampilan. Setiap harinya, selalu ada ibu-ibu yang membaca dan mempraktikkan kesenian dan keterampilan yang didapat dari buku. Hasil karya ibu-ibu tersebut kemudian dijual ke koperasi dan bernilai ekonomis. Hal ini membuat mereka yang tak mampu membaca sedikit demi sedikit menyadari manfaat membaca dan mulai belajar.
Perkembangan Warabal makin pesat dan ada sesi belajar ilmu agama seperti Hadis, Al Quran, Fiqih dan Mawaris. Selain itu ada juga pelatihan komputer untuk orang dewasa. Warabal pun menjelma menjadi learning center kala dilengkapi dengan akses internet. Warga pun semakin menyadari pentingnya pengetahuan. Atas jasanya yang tak putus asa menginspirasi, Gubernur Jawa Barat memberinya penghargaan sebagai Tokoh Wanita Inspiratif Penggerak Pembangunan di tahun 2009. Disusul pada 2012, ia juga diberikan Anugerah Peduli Pendidikan oleh Mendikbud.
Kisah Kiswanti menunjukkan pada kita bahwa setelah kesulitan yang menghimpit, pasti ada kemudahan yang membukakan jalan. Kiswanti juga membuktikan bahwa orang yang minim pendidikan pun masih bisa besar kepeduliannya bagi pendidikan. Maka, harusnya bagaimana dengan kita yang katanya orang-orang berpendidikan tinggi? Ya, jawabannya sudah cukup jelas.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…