Kasus salah tangkap tampaknya bukan hal baru di Indonesia. Tahun 2021 saja ada beberapa kasus salah tangkap yang hangat menjadi pembicaraan publik. Hal ini tentu membuat masyarakat khawatir karena suatu saat mereka bisa saja menjadi korban selanjutnya.
Orang-orang yang menjadi korban salah tangkap mengalami banyak kerugian. Keluarga korban pun juga ikut menanggung beban. Berikut sejumlah korban salah tangkap yang berhasil dirangkum Boombastis.
Tajudin harus mendekam selama 9 bulan di penjara lantaran dirinya dituduh mempekerjakan dua anak untuk berjualan. Ia dijerat dengan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan UU Perlindungan Anak. Padahal tindakan Tajudin bukanlah eksploitasi anak. Ia hanya berniat membuat anak-anak tersebut mencari nafkah. Usai PN Tangerang membebaskan Tajudin dari segala tuduhan pada (12/1/2017), ia berjuang untuk mendapatkan keadilan atas kasus yang menimpa dirinya pada 2016 lalu.
Prosesnya pun tak mudah, Tajudin terpaksa bolak-balik dari Bandung ke Tangerang Selatan untuk berkonsultasi dengan pengacaranya. Sembari menunggu kasasi di MA, Tajudin menjajakan cobek jualannya di lingkungan Mapolres hingga Wali Kota Tangsel. Kini melalui pengacaranya, Saka Murti Dwi Sutrisna, Tajudin telah mengajukan gugatan sebesar Rp1 miliar kepada Polres Tangerang Selatan. Nominal tersebut untuk ganti rugi Tajudin yang kehilangan penghasilan selama dipenjara dan beban mental yang diderita ia dan keluarga. Apalagi nama baiknya sudah rusak akibat salah tangkap.
Seorang pengamen bernama Fikri Pribadi menjadi korban salah tangkap Polda Metro Jaya. Pemuda berusia 23 tahun ini dituduh melakukan pembunuhan di tahun 2013 lalu. Fikri ditangkap bersama tiga orang rekannya, Fatahillah, Ucok, dan Pau. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkap kehidupan Fikri yang memprihatinkan. Sejak kecil, Fikri hidup seorang diri. Ayah dan ibunya sudah lama meninggal dunia. Bahkan tak ada seorang pun yang menjenguk dirinya saat dipenjara selama tiga tahun.
Selama ini, ia tinggal bersama Pau di sebuah kontrakan kecil di Kebayoran Baru. Bersama temannya, Fikri menyambung hidup dengan menjadi pengamen dan tukang parkir. Setelah bebas pada 2016, Fikri sempat bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Namun kini, ia kembali ke Jakarta untuk menuntut keadilan. LBH Jakarta menuntut ganti rugi sebesar Rp746,4 juta kepada pihak Polda Metro Jaya.
Dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI) berinisial AM, ditangkap oleh polisi saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Tak hanya itu, wajah AM dipukuli oleh anggota polisi hingga babak belur. Padahal AM mengatakan bahwa dirinya bukan pelaku unjuk rasa. Ia hanya keluar untuk membeli makanan. Menurut AM, ia sudah menunjukkan kartu identitasnya sebagai dosen, namun penjelasannya tak dihiraukan dan justru dipukuli oleh 15 orang anggota polisi.
Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan Kombes Pol Ibrahim Tompo belum mau berkomentar tentang kasus yang menimpa AM. Ia mengatakan akan melakukan pemeriksaan terkait prosedur pengamanan yang diterapkan pihak kepolisan. Tompo menegaskan pemeriksana tersebut demi memberikan fakta yang tepat atas kasus AM.
Ketua Perhimpunan Advokad Indonesia (Peradi) Solo, M Badrus Zaman, digelandang paksa oleh petugas kepolisian di kawasan Pasar Kleco, Solo pada (8/10/2020). Badrus menceritakan dirinya sedang duduk di seberang jalan, lalu petugas memintanya untuk pergi. Namun sekitar 10 orang polisi kembali mendatangi Badrus dan merebut paksa ponsel miliknya. Setelah memeriksa identitas dan ponsel Badrus, ia dilepaskan oleh pihak kepolisian.
Akibat kejadian salah tangkap tersebut, Badrus menuntut permintaan maaf dari Polresta Solo. Ia melakukan audiensi sekitar satu jam dengan Wakapolresta Solo, AKBP Deny Heriyanto. Badrus dan petugas kepolisian yang terlibat akan diperiksa dan dimintai keterangan.
Seorang pengacara senior, Sri Sijianto, membagikan langkah-langkah yang dapat dilakukan seseorang jika menjadi korban salah tangkap. Sri menjelaskan jika korban salah tangkap mendapatkan penganiayaan, maka korban bisa melakukan visum ke rumah sakit dan melapor ke Propam. Korban juga bisa menempuh jalur hukum dan menuntut ganti rugi, karena korban berhak mendapatkan pendampingan dari pengacara.
Agar tak menjadi korban salah tangkap, seseorang bisa menanyakan surat tugas, bukti, dan identitas pada pihak kepolisian yang akan melakukan penangkapan. Hal-hal tersebut adalah prosedur yang wajib dilakukan anggota polisi untuk menangkap seseorang.
BACA JUGA: Kabar Tajudin, Tukang Cobek yang Gugat Polisi Rp1 Miliar karena jadi Korban Salah Tangkap
Aparat penegak hukum juga tengah berbenah diri atas beberapa kejadian salah tangkap yang berulang. Misalnya dengan segera memberikan sanksi pada penanggung jawab kepolisian setempat bila memang sampai salah tangkap.
Karena menyadari bahwa kondisi seperti ini pastinya bisa menimbulkan keresahan di masyarakat. Apalagi ada kalanya warga dan polisi kadang cinta, kadang benci. Perlu kita pahami, masih ada polisi dan penegak hukum yang berdedikasi di negeri ini dan hal seperti ini ikut mempengaruhi reputasi mereka. Semoga ke depannya prosedur untuk hal semacam ini semakin mengalami perbaikan.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…