Untuk anda yang berada di Jakarta, Warteg atau Warung Tegal adalah tempat paling asyik untuk makan. Alasannya adalah murah, merakyat dan rasanya juga nikmat. Hal ini membuat warteg kian menjamur dan menyesaki ibu kota. Meski demikian, keberadaan warteg dianggap sebagai penyelamat, terutama bagi perantau dengan gaji pas-pasan.
Warteg biasanya terletak di pinggiran jalan dengan bangunan yang tak terlalu besar. Interior bangunan seadanya dan kadang tidak memiliki pelayan. Tapi jangan remehkan pekerja warteg. Penghasilan mereka sangat banyak! Seperti yang akan anda baca di bawah ini!
Merantau adalah salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup. Terutama bagi mereka yang berada di daerah pelosok. Pergi ke kota besar seperti Jakarta dipercaya akan membawa keberuntungan. Hal semacam ini terjadi di Tegal sejak tahun 80-an. Banyak warga yang nekat ke Jakarta dengan modal “nekat” dan uang seadanya.
Lalu beberapa orang membuat warung kecil-kecilan. Mereka membuat gorengan, menjual kopi dan teh serta nasi seadanya. Kesuksesan awal ini akhirnya didengar oleh saudara-saudara di desa hingga akhirnya gelombang migrasi besar-besaran di Tegal memenuhi Jakarta. Dan warung rintisan mereka dinamai Warung Tegal disingkat Warteg.
Penghasilan harian warteg di Jakarta terbilang sangat besar. Bahkan hasil ini melebihi gaji pekerja kantoran yang memakai jas. Dari pagi hingga tutup rata-rata satu warung mampu menghasilkan sekitar 3-5 juta rupiah. Uang ini mungkin akan bersih sekitar 1-2juta. Jumlah ini jika dikalikan jumlah hai dalam sebulan akan mengasilkan angka 20-60 juta.
Keberhasilan ini membuat warteg semakin diincar sebagai usaha dengan modal kecil tapi hasilnya selangit. Asal ada tempat dan pintar masak maka pelanggan akan berdatangan. Apalagi jika harga dari makanannya murah, belum malam mungkin dengan akan habis diborong pelanggan yang kelaparan. Untung sedikit tidak masalah asal berkelanjutan, itulah prinsip sebagian besar pedagang warteg.
Rumah para pedagang warteg di desa rata-rata tergolong sangat mewah. Bangunan yang mereka bangun dengan usaha keras itu menjelma istana yang sering kita lihat di perumahan elit. Bahkan menurut Kepala Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, dari 2000 bangunan rumah di daerahnya, 500 rumah yang berdiri adalah bangunan mewah.
Rumah mewah ini jarang dihuni karena pemiliknya merantau dan hanya pulang saat Lebaran. Untuk itu mereka menyuruh orang tua, anak atau saudara untuk menjaganya. Kadang rumah ini dibiarkan tak terawat dan baru akan dibersihkan setahun kemudian. Sungguh sayang untuk bangunan yang dibangun dengan usaha tanpa lelah!
Sejak tahun 2014, pemilik warteg di Jakarta banyak yang mengalami kebangkrutan atau turunnya keuntungan perharinya. Biaya sewa bangunan yang mencapai 20-30 juta setahun membuat mereka kesusahan. Terlebih harga bahan bakar yang naik membuat banyak orang semakin jarang makan di luar.
Efek domino dari kenaikan harga bahan bakar minyak membuat pemilik warteg harus menaikkan harga makannya. Hal ini membuat pengunjung semakin berkurang. Banyak dari para pemilik warteg memutuskan pulang untuk menikmati hasilnya di rumah daripada bertahan untuk menunggu kebangkrutan. Well, roda nasib selalu berputar!
Apa yang bisa kita ambil dari nasib para pekerja warteg ini? Yaph! Menabung dan menggunakan uang seperlunya agar kelak saat nasib buruk datang tabungan bisa digunakan untuk usaha lain. Karena uang akan selalu habis dengan sangat cepat!
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…