2 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Hari yang telah diakui dunia dan hanya ada di Indonesia, tempat asal muasal Batik diciptakan.
Tapi, umumnya kita cuma merayakannya dengan pakai batik. Atau yang lebih kekinian, selfie-selfie dengan batik. Padahal filosofi Hari Batik dan batik itu sendiri lebih dalam dari sekedar fungsinya sebagai sandang. Monggo, kita bahas bersama-sama.
Kebanyakan dari kita, lihat kain dengan motif khas batik Jawa saja sudah menganggap itu batik sebenarnya. Padahal, kebanyakan batik yang dijual di pasaran merupakan hasil batik printing. Di mana kain tersebut diprint dengan motif seperti batik, dan sedihnya, ternyata kebanyakan produksinya bukan dari negeri sendiri.
Batik asli dibuat dengan teknik babar, celup dan lorod. Di mana kain ditulis dengan malam di tiap lekuk motifnya, dicelup dengan warna dan melalui proses melepaskan malam dari kain. Hanya ada dua jenis batik murni, yakni yang dicap dan ditulis.
Inilah yang membuat batik jadi mahal secara nilai dan harga. Tapi nggak apa-apa. Dengan begitu kita juga ikut mensejahterakan pembatik lokal dan mengapresiasi kreativitas dan budaya batik itu sendiri.
Batik itu bukan hanya kain dan sandang atau pakaian. Nilai pada batik sebenarnya ada pada proses pembuatannya. Meliputi tekniknya, sejarahnya, filosofinya, bahkan para pembuatnya.
Tadinya kain batik adalah kain kebesaran yang digunakan keluarga kerajaan, tidak sembarang orang bisa memiliki batik. Pembuatan batik menggunakan kain terbaik, bahan-bahan dari alam yang dahulu masih sulit didapatkan dan prosesnyapun makan waktu.
Proses ini menjadi sebuah budaya yang sangat bernilai, sampai-sampai UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Ada banyak cara melestarikan batik. Utamanya adalah dengan mempelajari tentang batik, cara pembuatannya, mematenkan batik itu sendiri atau membeli produk dari pembatik lokal. Jaman sekarang sih, pakai batik sambil selfie-selfie dianggap bisa melestarikan, padahal efeknya kecil sekali.
Notabene anak muda sekarang jarang ada yang bisa membatik secara manual, atau masih minim pengetahuan mengenai batik itu sendiri. Kebanyakan pembatik Indonesia didominasi orang tua yang jemarinya masih lihai menggambar sebidang kain jadi batik yang tak ternilai harganya. Jadi kalau mau berkontribusi memelihara batik, ya bukan cuma tinggal pakai baju batiknya, tapi sebaiknya juga melestarikan skill perbatikan dan membatik itu sendiri.
Ingatkah pada waktu Indonesia dan Malaysia kembali ‘cakar-cakaran’ karena saling klaim tentang hak paten batik? Well, tapi kita tidak akan bahas tentang klaim dari negara tetangga itu, tapi kita juga patut berefleksi bahwa sebenarnya sebagai ‘pemilik’ batik, kita masih sering remeh.
Sebenarnya bukan hanya batik, kita PUNYA BANYAK budaya dan kesenian, tapi SERING REMEH akan keberadaannya. Dan baru kebakaran jenggot kalau sudah diaku-aku negara lain.
Nah, mulai sekarang, yuk kita lebih mencintai Indonesia dengan segenap keberagaman dan kekayaan budaya yang ada. Entah itu batik, Reog, makanan tradisional sampai situs-situs budaya bersejarah. Kenali, pahami dan lestarikan. Jangan cuma asal tahu, supaya kita bisa membuktikan budaya yang kita miliki itu memang asli Indonesia Banget.
Selamat Hari Batik warga Indonesia dan dunia!
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…