Anda tentu sudah tidak asing dengan kebo bule yang dipelihara di Keraton Surakarta, Solo. Kerbau albino atau yang sering juga disebut sebagai kebo bule ini memang menjadi salah satu dari sekian banyak cerita mistis yang menyelimuti Keraton Solo. Saking sakralnya, kerbau ini malah memiliki panggilan kehormatan yaitu Kyai Slamet.
Pada setiap malam 1 Syura, Kebo Slamet akan dibawa keluar dan masyarakat Solo akan berbondong-bondong untuk melihat dan memberi hormat kepadanya. Warga rela untuk menunggu kedatangan Kebo Kyai Slamet bahkan hingga tengah malam. Apa yang membuat kerbau ini sangat disegani oleh warga? Mengapa kerbau ini begitu dianggap sakral oleh berbagai pihak. Berikut beberapa cerita misteri Kebo Bule tersebut.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, sebuah tempat di Surakarta pernah megalami kebakaran yang hebat. Saking besarnya kebakaran tersebut, api sampai hampir mencapai kawasan Keraton. Karena kebakaran semakin besar, akhirnya seorang Demang menghadap Sultan Agung. Demang tersebut mengatakan semua bagian dari daerah tersebut telah terbakar kecuali sebuah kandang kerbau. Kandang kerbau tersebut tampak aman-aman saja meski bangunan di sekitarnya telah habis dilalap si jago merah.
Sultan memerintahkan beberapa orang untuk memeriksa kandang tersebut. Setelah diperiksa, di dalam kandang tersebut terdapat seekor kebo bule dan sebilah tombak. Sultan Agung memerintahkan agar si kerbau diarak keliling lokasi kebakaran, bersama dengan tombak tersebut. Akhirnya, setelah si kerbau berkeliling, api padam begitu saja dan menyisakan asap membumbung. Sejak itu, tombak dan kerbau tersebut dipelihara oleh Keraton dan diberi nama Tombak Kyai Selamat dan Kebo Kyai Selamat. Sementara si pemilik kerbau tersebut diangkat menjadi punggawa keraton dan diberi pangkat Ki Lurah Maesaprawira.
Di pintu gerang Keraton Surakarta, tepatnya di sebelah selatan, terdapat sebuah pasar tradisional bernama Pasar Gading. Namun, saat ini pasar tersebut telah dipindah ke daerah Glembegan. Ketika pasar tersebut belum dipindah, sang Kebo Bule dikabarkan sering berkeliaran di pasar tersebut.
Namun anehnya, meski berkeliaran di pasar, Kebo Kyai Slamet tidak pernah menganggu atau memakan dagangan warga, meski sayur dan buah banyak bertebaran di sana. Ketika lapar, dia hanya memakan singkong rebus atau pisang goreng. Namun, para pedagang di sana justru berlomba-lomba memberi makan si kebo karena menurut pengakuan mereka, dagangan yang dimakan oleh si kerbau tersebut biasanya akan cepat habis dalam waktu satu atau dua jam saja.
Di Indonesia, Kyai adalah panggilan yang lazim untuk diberikan kepada seorang pemuka agama atau orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi. Sejatinya, istilah Kyai bukan datang dari ajaran Islam, namun budaya animisme yang tercampur dengan ajaran Islam. Nama Kyai juga sering diberikan kepada senjata-senjata. Misalnya, sebuah keris biasa dipanggil Kyai Nogososro dan sebuah tombak dipanggil Kyai Pleret.
Intinya, Kyai adalah gelar yang diberikan oleh orang-orang yang menganut paham Kejawen kepada orang atau benda-benda yang memiliki kesaktian. Demikian pula dengan kebo bule yang ada di Keraton. Kesaktian dan sakralnya kerbau tersebut membuatnya dipanggil dengan sebutan Kyai Slamet.
Kebo Kyai Slamet memang sangat disakralkan oleh masyarakat dan orang-orang Keraton Solo. Setiap tahunnya, dilakukan Kirab Kyai Slamet. Kirab ini dilakukan dengan cara mengarak si kerbau keluar dari kandangnya dan juga diperingati dengan membisu atau menginstropeksi diri juga berdoa.
Biaya Kirab ini memakan jumlah uang yang cukup fantastis hingga 200 juta rupiah. Pemerintah Provinsi membantu memberikan biaya sekitar 40 juta sementara sisanya akan diperoleh dari sumbangan kerabat Keraton. Seluruh rakyat Solo menyambut meriah Kirab ini, meski dari tahun ke tahun peminatnya sudah berkurang.
Pada masa Pemerintahan Pakubuwono VII dan Pakubuwono VII, Keraton Solo mengalami kemunduran. Pada masa-masa itu banyak ritual budaya yang harusnya dilaksanakan, tidak jadi dilaksanakan karena adanya kekurangan dana. Masalah finansial tersebutpun membuat ditiadaannya Kirab Kyai Slamet.
Kirab tersebut kemudian diadakan kembali di masa pemerintahan Pakubowoo IX ketika masa Orde baru mulai berkuasa. Dan hingga kini Kirab Kyai Slamet masih terus dilaksanakan.
Hingga saat ini Kebo Kyai Slamet masih terus dihormati oleh keluarga Keraton dan Masyarakat sekitar. Tidak ada yang berani melarang atau mengusir jika kerbau ini masuk atau bahkan memakan sebuah tanaman atau bahkan dagangan. Dan jika kerbau itu membuang hajat saat dikirab, maka warga akan memperebutkan kotorannya.
Meski demikian, kepercayaan terhadap kesaktian dan kesakralan kerbau ini dikembalikan kepada pribadi kita masing-masing. Sesungguhnya segala kekuatan, kesaktian, rezeki dan keselamatan hanyalah milik Tuhan yang Maha Esa. (HLH)
Anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, tengah berbahagia setelah istrinya, Erina Gudono, melahirkan anak…
Musik dan tren sosial terus berkembang di Indonesia, salah satunya adalah fenomena "Sound Horeg" yang…
Kehilangan orang yang kita sayangi itu berat, apalagi kalau kepergiannya tiba-tiba. Seperti yang dialami oleh…
Cinta sejati yang terjalin antara Ikang Fawzi dan Marissa Haque telah melewati waktu yang panjang…
Kabar gembira datang dari presenter aktor kondang dan pengusaha top, Raffi Ahmad. Suami dari Nagita…
Nama Elaine Low beberapa waktu belakangan mencuat terutama di dunia bisnis dan investasi setelah menerima…