Di era kekinian seperti sekarang menguji kejantanan bisa dilakukan dengan berbagai hal. Misalnya dengan adventure ke hutan selama berminggu-minggu atau bisa juga dengan melamar sendiri gadis pujaan langsung di depan orangtuanya. Pria jantan sendiri kadang juga identik dengan sikap pengertian, lemah lembut, dan baik hati, meskipun umumnya hanya para wanita yang mendeskripsikannya seperti itu.
Baca Juga : 7 Ajian Sakti Asli Indonesia yang Konon Masih Banyak Digunakan Sampai Sekarang!
Hal-hal tersebut sangat berkebalikan dengan apa yang dilakukan oleh suku-suku primitif di dunia. Percaya atau tidak, untuk menguji kejantanan seseorang mereka melakukan ritual-ritual menyakitkan. Mulai dari memasukkan tangan ke sarang semut peluru yang agresif itu, sampai menyiksa diri sendiri dengan cara yang tidak masuk akal.
Meskipun memang menyakitkan, tapi selepas dari ritual ini mereka akan jadi pria sejati yang jantan dan mungkin jadi rebutan para wanita di sukunya. Seperti apa sih ritual menyakitkan itu? Berikut ulasannya.
Jika kamu terlahir sebagai suku Mandan yang ada di Dakota Utara, Amerika Serikat, maka di umur 8 tahun dipastikan akan mengalami ritual menyakitkan ini. Ritual ini bernama Okipa, tata cara pelaksanaannya adalah dengan menyuruh bocah-bocah berusia 8 tahun untuk berpuasa selama seminggu tanpa putus.
Setelah berpuasa selama seminggu, mereka pun akan digantung dengan cara yang ekstrim. Yakni dengan cara memasukkan semacam pengait ke beberapa anggota tubuh yang kemudian akan dihubungkan dengan tali lalu digantung. Bagi siapa yang tak tahan dengan ritual ini, mereka akan dilepaskan dan dipastikan mengulang lagi. Namun, siapa yang bisa bertahan sampai akhir maka ia adalah calon kandidat terkuat nantinya sebagai ketua suku.
Singa adalah simbol kejantanan terkuat. Orang-orang dulu pun dengan simpelnya beranggapan kalau ingin jantan ya harus bisa melawan singa. Setidaknya inilah yang dipercaya suku Masaai yang ada di Kenya dan Tanzania.
Ya, untuk diakui jantan setidaknya oleh orang suku sendiri, maka para lelaki harus benar-benar berhadapan dengan singa. Tentunya para kontestannya tidak hanya berbekal tangan kosong tapi punya tombak sebagai satu-satunya senjata. Tak ada aturan, asalkan singa yang diincar mati maka si peserta ini sudah bisa dianggap dewasa. Namun, namanya juga raja hutan, tentu tak semudah membunuh anak kucing. Kerap kali ritual ini membawa korban di sisi manusianya.
Untungnya, ritual ini sudah dilarang untuk dilakukan. Pasalnya singa-singa sudah mulai dilindungi oleh pemerintah. Berita bagus juga bagi anak-anak suku Masaai yang tidak akan pernah lagi berhadapan dengan si pemuncak rantai makanan itu.
Seseram apa sih semut peluru sehingga membuatnya banyak dihindari? Jika dianalogikan, ketika terkena satu gigitannya di tanganmu, maka kamu akan merasakan sakit seperti menahan sebuah peluru yang dilepaskan dari sebuah senapan. Makanya namanya adalah semut peluru. Nah, jika satu gigitan saja sudah seperti itu rasa sakitnya, bagaimana jika 10 sampai 20 ekor, atau bahkan satu koloni? Mending milih tangan putus deh.
Namun berhadapan dengan semut-semut mematikan ini adalah bagian dari ritual terpenting suku Satare-Mawe di Amazon selama bertahun-tahun. Ya, sama seperti semua ritual menyakitkan di daftar ini, tujuannya adalah sebagai tanda jika seseorang sudah resmi jadi dewasa alias jantan. Tata caranya adalah dengan menempatkan satu koloni semut peluru ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian kedua tangan dimasukkan dan silahkan bertahan hingga 10 menit lamanya.
Kabar buruknya, setidaknya ritual ini harus dilakukan sebanyak 19 kali. Jika satu kali ritual memakan sebulan untuk sembuh, maka silahkan hitung sendiri berapa lama durasi untuk sembuh jika harus melewati ritual sebanyak itu.
Selain singa, buaya juga merupakan simbol kejantanan. Kepercayaan ini sangat dipahami oleh orang-orang suku Sepik yang ada di Papua Nugini. Namun berbeda dengan suku Masaai yang harus melawan singa, suku Sepik malah meniru wujud si buaya sebagai simbol kejantanan.
Bukan dengan cara memakai kulit atau tengkoraknya sebagai aksesoris, namun membuat kulit para prianya terlihat seperti seperti kulit buaya alias sisik. Ya, bagaimana bisa kulit manusia menyamai buaya? Maka cara yang dilakukan adalah dengan menciptakan bekas luka yang hasil jadinya nanti akan bisa mirip seperti sisik. Caranya yakni dengan melukai dengan sengaja sekujur tubuh yang nantinya akan menimbulkan bekas luka yang berjajar rapi. Sangat menyakitkan? Tentu saja.
Di Indonesia sendiri khususnya umat Muslim, khitan adalah hal yang wajib dilakukan dan kadang juga jadi tanda akan kedewasaan. Walaupun tanda dewasa sebenarnya adalah lewat mimpi basah. Di sini, khitan biasa dilakukan di umur yang masih kecil, misalnya SD sampai SMP. Nah, Suku Xhosa di Afrika Selatan ini juga melakukan hal yang sama. Bedanya, mereka melakukan khitan tersebut di usia yang bisa dibilang cukup tua.
Anak-anak remaja, mungkin berusia 17 ke atas harus melakukan ini sebagai simbol jika mereka telah dewasa. Proses khitannya sendiri lumayan menyakitkan mengingat mereka masih menggunakan alat-alat yang tradisional dan sederhana. Umumnya adalah benda-benda tajam. Ya, bisa dibayangkan ngilunya seperti apa.
Khitan selesai, tidak begitu dengan ritualnya. Si pelaku yang dikhitan ini masih harus menjalani satu hal lagi yakni dikurung di sebuah tempat di gunung sampai lukanya sembuh. Mirisnya, tidak ada air atau makanan yang disediakan. Wih, tak bisa dibayangkan rasanya seperti apa menjalani prosesi ini.
Pernah mendengar bungee jumping atau bahkan mencobanya? Ritual satu ini juga sama seperti itu. Bedanya, jika bungee jumping di bawahnya adalah air atau matras empuk, yang satu ini hanya beralaskan tanah saja. Talinya putus ya sudah pasti meninggal.
Ritual kejantanan ini dilakukan oleh sebuah suku pedalaman di Pentecost, sebuah tempat yang ada di kepulauan Pasifik selatan. Cara pelaksanaannya persis sama seperti olahraga ekstrem satu itu. Mereka akan menaiki bangunan tinggi yang terbuat dari kayu yang disusun sedemikian rupa lalu meloncat indah. Tidak ada penilaian khusus sih, hanya saja ketika kepala si kontestannya bisa meraih jarak yang dekat sekali dengan tanah, maka bisa dianggap lulus ujian kejantanan.
Tradisi ini sudah berlangsung selama 1.500 tahun dan masih menggunakan peralatan yang sederhana. Menurut mereka, kegiatan menantang maut ini adalah simbol keberanian sejati. Jika ini bukan karena adat, yakin sekali tidak akan ada yang mau melakukannya.
Baca Juga :7 Ritual Paling Aneh yang Ada di Seluruh Dunia
Rasanya campur aduk ketika melihat deretan ritual di atas. Di satu sisi merasa beruntung karena tidak harus merasakan sakitnya ritual di atas hanya untuk menjadi dewasa, namun di sisi lain merasa kasihan sekali melihat para pelaku ritual yang menyakitkan di atas. Namanya saja hukum adat, maka melakukannya adalah kewajiban meskipun kadang tidak bisa diterima akal sehat.
Kasus baru, masalah lama. Begitulah kira-kira jargon yang cocok disematkan kepada Menteri Peranan Pemuda dan…
Selain susu dari sapi atau kambing, kamu mungkin sudah pernah mendengar susu dari almon atau…
Kamu pasti sudah nggak asing lagi dengan nama Labubu, atau Boneka Labubu. Jelas saja, karena…
Di dalam hutan lebat Papua, terdapat salah satu burung terbesar dan paling menakjubkan di dunia,…
Siapa yang tidak kenal Hikigaya Hachiman? Tokoh utama dari *OreGairu* ini dikenal dengan pandangan hidupnya…
Belakangan ramai perbincangan mengenai dugaan eksploitasi yang dialami mantan karyawan sebuah perusahaan animasi yang berbasis…