2019 menjadi puncaknya tahun politik Indonesia karena April mendatang kita akan mengetahui siapa yang akan memimpin negara ini dalam 5 tahun ke depan. Hal inilah yang terus menjadi isu panas yang tak kian reda. Setiap buka timeline facebook, pesan di whatsapp, komentar di Instagram, serta balasan di Twitter, yang dibahas tak lain dan tak bukan debat antara dua kubu (cebong dan kampret).
Hal ini bukan terjadi bukan tahun ini saja, tetapi sudah menjadi tradisi setiap akan dipilihnya pemerintah baru. Pesta demokrasi yang seharusnya damai dan tenteram malah berbuntut permusuhan dan perpecahan. Seperti beberapa kejadian miris yang bikin ngelus dada berikut ini contohnya.
Putus pertemanan dan persaudaraan karena politik
Kasus seperti ini sudah layaknya bui di lautan, tak terhitung lagi jumlahnya karena terjadi di mana-mana. Karena berbeda pilihan presiden, jadilah adu mulut, saling menjelekkan di media sosial, hingga memutuskan tali persaudaraan. Sebenarnya, berbeda preferensi politik itu soal biasa. Setiap orang pasti punya alasan sendiri-sendiri untuk mendukung nomer 1 atau 2, pilih A atau B. Sama sekali tak ada yang salah dengan hal tersebut, Sahabat.
Nah, yang berdosa itu adalah saat ada teman, keluarga, kerabat beda pilihan kamu memutuskan hubungan silaturahmi. Toh, paslon yang kamu bela mati-matian boleh jadi kongkow manjah di belakang panggung setelah pilkada usai. Dalam politik tak ada musuh abadi, Ratna Sarumpaet yang sekarang mendukung Prabowo (yang didukung oleh keluarga Cendana) dulunya adalah penentang Suharto bukan?
Diancam jenazahnya tak akan disholatkan
Masih ingat dengan kejadian ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta dua tahun lalu? Ya, kondisi yang enggak kalah panas juga mewarnai pilkada tersebut. Pasalnya, sejumlah spanduk berisi penolakan mensalatkan jenazah pendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat.
Salah satunya adalah masjid Al Jihad Karet, Setiabudi, Jakarta Pusat, yang terang-terangan memasang spanduk besar berisi ultimatum ‘tak akan salatkan jenazah penista agama’. Padahal dalam Islam sendiri, selagi dia islam, mau semasa hidupnya penjudi, tukang mabuk, preman, dan pelacur sekalipun, jenazahnya tetap disalatkan, apalagi cuma beda nomor yang dicoblos ketika pilkada.
Larangan berpose dua jari atau acungkan jempol
Politik memang kadang menghilangkan akal sehat. Semua hal yang kita lakukan sekarang bisa saja dikaitkan dengan pesan tersembunyi. Contoh yang sangat kecil saja pose ketika berfoto, dua jari (peace) dianggap sebagai statement politik pendukung nomor 2, pose dengan acungkan jempol dikaitkan dengan pilihan nomor 1.
Tentu Sahabat semua melihat betapa lucunya ketika paspampres membenarkan pose dua jari seorang mahasiswa dalam acara Dies Natalis ke-66 Universitas Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Atau pose dua jari Agnes Mo sehabis bertemu Jokowi yang dikait-kaitkan dengan politik, padahal foto tersebut sudah diambil sejak lama. Enggak habis pikir kan seberapa besar tingkat kebaperan yang sudah melanda rakyat Indonesia perihal pemilu yang akan datang?
Bongkar kuburan karena beda pilihan
Nah, yang paling anyar adalah dibongkarnya dua kuburan (kakek dan cucu) di Gorontalo karena keluarganya punya pilihan berbeda dengan pemilik tanah makam. Padahal, keduanya masih dalam hubungan saudara. Almarhum Masri Dunggio (yang sudah 26 tahun meninggal) dan Sitti Aisya Hamzah (satu tahun meninggal) harus direlakan untuk dipindahkan ke lokasi lain oleh pihak keluarganya.
Masalah awalnya muncul saat pemilik tanah, Awano (adik ipar dari caleg DPRD Bone Bolango) mengetahui jika keluarga almarhum berbeda pilihan dengannya. Karena hal tersebutlah ia memberi peringatan -yang kemudian diulang berkali-kali- kepada keluarga Masri dan Aisya. Apalah daya, dua kuburan tersebut akhirnya pindah 1 kilometer dari lokasi awalnya dengan diikuti isak tangis keluarga. Sungguh kejam politik masa kini ya, Sahabat.
BACA JUGA: 5 Istilah Nyeleneh dari Elit Politik Indonesia Ini Sempat Bikin Gaduh Rakyat Satu Negara
Coba deh jernihkan pikiran, berdebat masalah politik tak akan ada habisnya, buang-buang tenaga saja. Mari berkaca dari dunia perpolitikan masa Rosul, di mana semua saling berangkulan, tak peduli ras, agama, dan paslonnya siapa. Semua rukun dan tidak terpecah belah serta punya banyak musuh seperti sekarang. Punya jagoan sih boleh, hilang akal sehat jangan!