Siapa pun mereka, apa pun latar belakang keluarganya, setiap anak harus punya memori menyenangkan tentang masa kecilnya. Bermain seharian, mengenal hal-hal baru, belajar sesuatu yang unik, dan sebagainya. Namun, sayangnya kebahagiaan ini hanya dimiliki mereka yang beruntung lahir sebagai anak orang-orang berada. Sedangkan mereka yang terlahir di keluarga yang kurang beruntung harus hidup dalam nestapa.
Jangankan bermain, anak-anak kurang beruntung ini juga kena kewajiban moral untuk membantu orangtua mereka mencari nafkah dengan bekerja. Kembali ke beberapa dekade lalu, praktik eksploitasi anak untuk bekerja ini sudah marak dilakukan. Sayangnya, orang-orang dulu tidak memberlakukan aturan khusus bagi anak-anak. Bahkan sudah jadi pemandangan umum melihat anak-anak dulu bekerja di posisi sulit yang bisa dibilang cukup menyengsarakan dan mematikan bagi orang dewasa.
Ulasan berikut bukan untuk menguak kembali luka lama tentang eksploitasi anak. Namun, sebagai pengingat bagi generasi sekarang jika memperlakukan anak-anak dengan tidak sepatutnya adalah kejahatan berat.
Tahun 1800an, industri di Inggris mulai menggeliat kuat. Sayangnya, dalam praktik keindustrian tersebut, mereka kerap mempekerjakan pekerja di bawah umur. Salah satu perusahaan korek api di sana, dulu pernah menggaji para bocah perempuan untuk bekerja mencelupkan batang korek api ke dalam cairan kimia berwarna coklat itu. Mereka bekerja selama hampir 14 jam sehari mulai jam 6 pagi. Tak hanya harus bekerja dalam waktu yang panjang, mereka juga akan dihukum potong gaji jika ketahuan ngobrol atau menjatuhkan sebuah batang korek saja.
Tak hanya menderita secara fisik dan psikis, para gadis kecil yang tak sempat bermain ini juga menghadapi ancaman penyakit mematikan. Bekerja dengan dikelilingi bahan kimia termasuk cairan ujung korek api tadi, membuat mereka gampang terkena penyakit bernama Phossy Jaw. Penyebab penyakit ini adalah terlalu banyak menghirup bebauan kimia, sehingga menyebabkan rahang mereka mengalami pembengkakan. Rasanya sangat menyakitkan dan satu-satunya cara agar menghilangkan rasa sakitnya adalah dengan melakukan amputasi.
Antara abad 18 dan 19 adalah masa terbaik dari industri pemintalan katun. Ketika itu mulai banyak baju-baju berkualitas yang diproduksi seiring dengan permintaannya yang tinggi. Sayangnya, teknologi pemintalan masih menggunakan mesin-mesin konvensional, di mana untuk mengumpulkan benang-benang, perusahaan harus mempekerjakan anak-anak yang muat untuk masuk ke dalam salah satu bagian mesin, dan mengumpulkan benang-benang yang sudah jadi.
Sayangnya, mesin konvensional ini sering memakan korban. Mesin tersebut bekerja dengan mekanisme getaran dan hentakan di bagian anak-anak tadi bekerja. Intinya, anak-anak harus bisa memprediksi tempo dan waktu untuk kemudian mengambil benang-benang tersebut di saat yang pas. Tak semua anak bisa melakukan ini. Mayoritas mereka mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh. Kejinya lagi, bagi yang terluka, perusahaan tidak akan memberikan upah karena mereka dianggap gagal.
Ada masanya sebuah cerobong asap harus dibersihkan agar tetap bisa digunakan. Dulu, tidak mungkin menyewa jasa pria dewasa untuk masuk ke dalam cerobong yang sempit. Maka tidak ada solusi lain selain mempekerjakan anak-anak yang tubuhnya muat untuk masuk ke dalam cerobong asap tersebut. Namun, menyuruh mereka membersihkan cerobong asap sama artinya membuat mereka luka-luka.
Ketika bekerja mereka harus menyikat siku dan juga lutut mereka dengan air garam agar kulit menjadi tebal. Pasalnya, mereka memakai siku dan lutut untuk pijakan selama di dalam cerobong asap. Jahatnya, para penyewa itu kadang suka menyalakan pengapian mereka agar anak-anak ini bekerja lebih cepat.
Pengangkut kaca terdengar seperti pekerjaan ringan meskipun jika dipaksakan kepada anak-anak tetap saja adalah hal amoral. Namun, maksud dari pekerjaan pengangkut kaca ini adalah kaca yang masih dalam keadaan cair yang sangat panas tentunya. Dari sini saja sudah terbayang ngerinya, kan? Padahal penderitaan mereka tidak hanya di situ.
Anak-anak ini harus mengangkuti kaca cair itu melewati lorong-lorong pabrik yang sempit selama 10 jam kerja dengan bertelanjang kaki. Goresan kecil di kaki sudah jadi hal yang familiar bagi mereka. Risiko ketumpahan benda panas tersebut juga sangat besar. Bahkan mereka juga kerap kali menghirup udara hasil pembakaran yang sangat mematikan bagi paru-paru. Praktik ini ditemui pada awal abad 20 lalu di banyak pabrik kaca konvensional.
Sudah merasa lega karena perbudakan terhadap anak tak terjadi lagi? Sayangnya, jangan pernah merasa hal ini sudah hilang, pasalnya di era kekinian hal tersebut masih terjadi. Ya, mari tengok perkebunan tembakau yang ada di seluruh dunia. Pasti ada beberapa dari mereka yang mempekerjakan anak-anak. Risikonya tentu besar bagi anak-anak itu, selain kehilangan quality time, mereka rawan terkena nikotin berat.
Tembakau jelas mengandung nikotin besar apalagi luas perkebunannya berhektar-hektar. Penelitian terbaru mengatakan jika anak-anak ini didiagnosa rusak paru-parunya karena menghirup banyak sekali aroma tersebut. Bahkan jika dianalogikan, anak-anak tersebut seperti menghisap 50 batang rokok tiap harinya.
Miris sekali melihat kenyataan ini. Entah apa yang dipikirkan orang-orang ketika dengan gampangnya menyuruh anak-anak melakukan pekerjaan berat yang bahkan bagi orang dewasa adalah beban luar biasa. Jangan pernah ada lagi yang semacam ini ke depannya. Mempekerjakan anak di bawah umur adalah bukti jika rasa kemanusiaan sudah memudar.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…