Suasana rumah Jalan Langsep 34, Malang, pagi itu sunyi seperti biasa. Penghuni rumah pun tampak bersiap-siap menjalani aktivitasnya. Roy Pudyo—sulung HR Soepardijatma, tengah menemani sang “papi” sarapan sembari bersiap-siap ke kantor. Papi, lelaki berusia 92 tahun itu dengan lahap menyantap sarapannya, ketika saya datang sedikit di atas janji waktu pertemuan via telepon.
Mungkin Sahabat Boombastis sekalian tak pernah dengar mengenai HR Soepardijatma yang sudah disebut tadi. Padahal, sosoknya sangat penting untuk diketahui. Berikut saya kenalkan HR Soepardijatma, seorang veteran Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), pelaku sejarah yang masih hidup. Lewat ulasan berikut, HR Soepardijatma yang akrab disapa Papi inipun berkenan mengisahkan sejarah negara kita, 73 tahun yang lalu…
Berani tinggalkan orang tua demi bela negara
Raden Soepardijatma lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 14 Agustus 1926. Ia tumbuh sebagaimana anak laki-laki pada umumnya hingga lulus SMP. Pada 1944, ia berpisah dari orangtuanya menuju Malang, untuk menempuh pendidikan di Nokyo Senmon Gakkou atau Sekolah Pertanian Menengah Tinggi (setara SMA). Sekolah tersebut memiliki laboratorium hutan kota dengan ribuan koleksi tanaman langka. Pasca kemerdekaan dikenal sebagai areal APP Tanjung. Pada era reformasi menjadi sengketa yang hari ini hutan kota beralih fungsi menjadi areal real estate.
Sebagai pelajar, Papi tak hanya menunaikan kewajibannya untuk belajar. Ia memiliki kewajiban lain sebagai Pembela Negara yang diberi istilah “pegang senjata.” Berbeda dengan kids zaman now yang tinggal belajar saja, susahnya minta ampun. Cukup mencekam aktivitas di masa muda Papi. Tak ada tuh nongki-nongki cantik serta traveling unyu ke luar negeri karena keadaan begitu mencekam kala itu.
Masa muda Papi, belajar sambil “pegang senjata”
Pembela Negara seperti apa sih HR Soepardijatma ini? Pasti hal tersebut menjadi pertanyaan terbesar Sahabat Boombastis sekalian. “Sebagai pelajar waktu itu, sebelum kemerdekaan, kita sudah mempunyai kegiatan, dulu itu adanya Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), belum ada TRIP, belum resmi,” jelas papi kepada saya. Di usia nyaris satu abad itu ia tampak tak menunjukkan gurat kelelahan. Bersemangat dan masih mampu merunut rangkaian perjuangan para tentara pelajar di Malang.
Papi termasuk salah satu pelajar di Malang yang bergabung dengan IPI—yang kemudian menjadi TRIP. “IPI waktu zaman Jepang itu dilatih untuk macam-macam, baris-berbaris, pegang senjata, perang-perangan, dari zaman Jepang sudah dilatih, itu,” kisah Papi, matanya menerawang menyambangi masa mudanya. “Papi waktu itu umur berapa?” tanya saya. “18, lha itu fotonya,” jawab Papi sambil menunjuk potret hitam putih ketika ia masih gagah dengan rambut belah tengah yang hits abis. Di atasnya, terpampang potret Papi beberapa tahun belakangan mengenakan seragam TRIP lengkap dengan lencana-lencana pangkat dan penghargaan.
Veteran tapi bernasib nahas? Tak ada di kamus hidup Papi
Selama ini, Indonesia kerap kali dihidangkan kabar veteran yang nahas. Mulai dari tak memiliki tempat tinggal sendiri hingga berakhir menjadi peminta-minta. Padahal, mereka lah yang membantu kita meraih kehidupan merdeka hari ini. Seperti yang diwartakan suryamalang.com, setengah dari 750 anggota veteran RI di Kabupaten Malang belum memiliki kediaman sendiri.
Jika melihat kehidupan Papi melalui obrolan manis seusai sarapan ini, rupanya tak ada nasib “nahas” di kamus hidup Papi. Mengapa bisa begitu? Mengapa Papi bisa merasakan hidup enak, sedangkan rekan-rekannya tidak? Kunci jawabannya adalah: kerja keras. Setelah dimobilisasi atau pensiun, pada tahun 1950, Papi memilih untuk melanjutkan pendidikannya pada Akademi Gula. Ia memiliki keinginan besar, agar gula—sebagai sumber daya yang cukup besar di Indonesia tak dikuasai oleh asing.
Angan-angan yang perlahan diwujudkan
“Tahun 50 Papi dimobilisasi, itu dikasih pilihan, mau lanjut jadi tentara, atau pilot, atau polisi, boleh,” kenang Papi kembali ke masa itu, ABG lebih sering menyebutnya dengan quarter life crisis. “Papi akhirnya pilih masuk akademi, ambil spesialis gula. Kita kan tujuannya itu, biar gula enggak dikuasai sepenuhnya sama Belanda, gula kan sumber daya yang paling besar,” terangnya berapi-api.
Ia pun mendalami ilmu tentang gula selama 3 tahun hingga akhirnya mendapat gelar Bachelor of Science atau B.Sc. “Dulu itu pribumi enggak ada yang njabat tinggi-tinggi di pabrik gula. Paling tinggi ya juru tulis, sama juru hitung,” ungkapnya. Dari situlah perjalanan Papi dimulai, bekerja sebagai “dokter gula” di pabrik gula Jombang. Beberapa kali berpindah hingga ke Pasuruan hingga Malang.
Kekayaan Papi tak habis 7 turunan
Pindah dari satu pabrik gula ke pabrik gula lainnya, keinginan Papi agar pribumi bisa menjabat tinggi-tinggi di industri gula akhirnya terlaksana. Ia sendiri dipensiun pada tahun 1986 dengan jabatan tertinggi, yaitu Direktur di Pabrik Gula Semarang. Berkat jabatan tersebut, ia bisa menyekolahkan 8 anaknya hingga ke jenjang tertinggi. Kenikmatan itu pun dirasakan hingga cucu dan cicitnya sekarang.
Bukan kekayaan instan yang dinikmatinya sekarang. Proses panjang telah dilalui HR Soepardijatma untuk mencapai puncak kesuksesan berkarier. Tentu saja segala sesuatunya tak seindah dongeng. Namun, berkat tekad kuat dan kerja keras Papi, akhirnya ia bisa hidup mewah bak raja seperti sekarang. Jauh beda dari nasib rekan veterannya yang lain.
Sebelum pamit, saya sempat bertanya “Pada masa perang, Papi enggak takut?” “Enggak ada perasaan takut saat itu, jiwa ini sudah terpanggil hanya untuk NKRI,” jawab Papi, mantap sambil matanya sejurus memandang saya tanpa ragu-ragu. Tak melupakan sejarah, bahkan dengan upacara bendera saja tidak cukup. Kitapun sebaiknya mengembangkan nilai-nilai yang diyakini para pahlawan sebab mereka telah memberikan kita kehidupan yang jauh lebih asyik ketimbang masa mereka muda. Dirgahayu Republik Indonesia! Selamat ber-#trowbek17an, Sahabat Boombastis!