Bisa selalu beribadah dengan keluarga jelas suatu kemewahan yang tidak semua orang punya. Saat buatmu bangun pagi, sholat Subuh lalu tadarus bersama orang-orang tersayang adalah hal yang normal ada orang yang berharap bisa melakukan hal yang sama, sekali saja.
Tumbuh di tengah keluarga dengan agama yang berbeda selalu bisa jadi cerita. Kali ini saya ingin bercerita tentang hal-hal yang tidak pernah orang bicarakan dari seorang Muslim yang besar di keluarga Katolik.
Hari besar Natal jadi hari besar yang akan selalu kamu tunggu-tunggu. Di hari itu keluarga dari berbagai kota berkumpul, sepupu-sepupu yang lama tidak bertemu datang dan bisa bermain bersama.
Sedari kecil buatmu Natal bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari. Sedari kecil kamu sudah belajar caranya menghargai.
“Selamat ya Tante!”
“Ikut bahagia ya Oom…”
Setelah mulai remaja dan makin mendalami agama beberapa dari Muslim yang besar di keluarga Katolik akan mengalami perdebatan batin. Di satu sisi kamu ingin menghargai keluarga. Tapi di sisi lain katanya bilang Selamat Natal itu dosa…
Akhirnya kamu mulai belajar mengucapkan Selamat Natal lewat berbagai variasi. Tujuannya supaya keluargamu tidak sakit hati plus imanmu tidak harus ternodai.
Suatu hari kanu mampir ke rumah Tantemu. Lapar, capek, langsung ambil nasi dan buka tudung haji.
“Eeeeh….Ga! Itu babi. Tante udah diapin sendiri makanan buat kamu.”
Karena ada beberapa makanan yang tidak bisa dimakan sesuai kepercayaan Muslim, keluargamu sudah menyiapkan menu dan alat makan khusus. Tanpa minyak babi, tanpa daging yang sesuai Al-Quran harus kamu hindari.
Berbeda dengan umat Kristiani yang bisa melakukan ibadah tanpa pakaian khusus, kamu yang Muslim perlu mukena atau sarung agar ibadahmu lebih nyaman. Daripada lupa membawa murena dan harus repot mencari pinjaman saat datang ke rumah keluarga, kamu memilih meninggalkan beberapa mukenamu di kediaman mereka.
Kalau dihitung-hitung sebenarnya kamu punya mukena dan sarung lebih dari 5. Tersebar semua di rumah Tante, Nenek dan kerabat lainnya.
Menjaga keimanan seorang diri jelas merupakan jalan yang sepi. Karena itu ada bagian kosong dalam dirimu yang merasa butuh diisi. Kamu mulat ikut pengajian, ikut kajian, berusaha menemukan rekan yang sepemahaman.
Di dalam rumahmu ada keluarga yang dipersatukan oleh darah dan nama belakang. Tapi di luar rumah kamu punya banyak saudara-saudara seiman. Mereka yang setia mendukungmu saat imanmu goyah.
Seumur hidup kamu sudah mengalami sendiri bagaimana perbedaan agama seharusnya tidak harus menyakiti hati. Saat saudaramu harus pergi ke gereja, kamu menunggu kebaktiannya selesai di luar pagar sambil membaca. Waktu kamu harus sholat di rumah mereka kamu tidak keberatan sholat dalam kamar yang ada gambar Yesus dan Bunda Marianya. Kamu sadar semua hanya simbol saja.
Melihat orang tercerai berai karena agama, kanu yakin kalau itu hanya soal kelapangan hati dan keikhlasan saja.
Hidup di tengah keluarga berbeda agama miming punya seni sendiri. Ini jelas bukan kondis ideal, tapi kamu juga belajar banyak sekali dari situasi ini.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…