Bung Karno sejatinya adalah seorang founding father Bangsa Indonesia yang harusnya menikmati indah kemerdekaan. Sepanjang hidupnya, Beliau sudah terlalu banyak berkorban demi kemerdekaan negara ini. Mulai dari menderitanya hidup di pengasingan, penculikan, dan perjuangan-perjuangan bersama rakyat lainnya yang menguras darah dan keringat.
Namun apa yang terjadi di masa tuanya sungguh menyedihkan. Pernah memegang jabatan presiden pertama Indonesia ternyata bukan suatu jaminan kelak hidupnya akan berakhir indah. Nyatanya justru kehidupan Bung Karno sangat tertekan akibat represifnya pemerintahan Orde Baru. Berikut kami merangkum 5 fakta menyedihkannya akhir kehidupan Bung Karno karena tindakan penguasa Orde Baru tersebut. Silakan disimak.
Sudah menjadi rahasia umum, usai tak lagi menjadi presiden, Bung Karno menjadi sasaran kekejaman Orde Baru. Saat tak lagi menjadi presiden, tim dokter kepresidenan yang dipimpin Prof. Siwabessy dengan anggota Dr. Soeharto, Dr. Tang Sin Hin, dan Dr. Soerojo yang paham betul jejak rekam medis Bung karno dibubarkan. Sejak itulah, penanganan penyakit Soekarno jauh dari kata memadai.
Hari-hari tua Bung Karno semakin menyedihkan. Tubuhnya digerogoti hipertensi yang mempengaruhi kerja ginjalnya. Ginjal kiri Bung Karno sudah tidak berfungsi, sedangkan yang kanan hanya berfungsi 25 persen saja. Komplikasi penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung, dan gejala gagal jantung semakin memperparah kondisi Bung Karno.
Perlakuan rezim Orde Baru terhadap diri Bung Karno semakin menggila. Di masa tuanya, Bung Karno dibuat terasing dari rakyat yang dicintainya, orang-orang terdekatnya, bahkan keluarganya sendiri pun dipersulit untuk menjenguk.
Pengamanan Bung Karno diperketat dan alat sadap dipasang di setiap sudut rumahnya. Rupanya hinga tua yang sedang sakit-sakitan ini juga masih cukup menakutkan bagi pemerintah Orde Baru. Apalagi mereka terus mencecar Bung Karno dengan berbagai pertanyaan investigasi yang menuduhnya terlibat dengan Gerakan 30 September PKI.
Di akhir hayatnya, kondisi Bung Karno terus memburuk. Dia mulai tak sadarkan diri dan koma. Di saat itu, ada Guntur, Megawati, Sukmawati, Guruh, dan Rachmawati menunggu tegang dengan kondisi sang ayah. Sepertinya saat itulah memang detik-detik terakhir Bung Karno. Megawati berusaha membisikkan kalimat syahadat ke telinga ayahnya. Bung Karno mencoba untuk mengikuti, namun kalimat itu tak selesei. “Allaaah…”, lirih Bung Karno mengucapkan seiring nafasnya berhenti.
Tangis pecah. Tepat di pukul 07.07 di tanggal 21 Juni 9170, Bung Karno berpulang menghadap pencipta di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Tugasnya berakhir sebagai pemimpin besar, juga sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia. Meski tim dokter terus-menerus berupaya mengatasi keadaan kritis Bung Karno, ternyata takdir berkehendak lain.
Seorang yang jatuh dalam konflik adakalanya akan menemui titik temu untuk berdamai dengan keadaan. Seperti halnya Bung Karno yang dulu sempat memenjarakan Buya Hamka. Namun apa ending di balik konflik besar ini? Bung Karno justru pernah berwasiat, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku”.
Mendengar permintaan ini, Buya Hamka segera bergegas ke Jakarta ke tempat jenazah Bung Karno disemayamkan. Dengan ikhlas tanpa mengingat sejarah masa lalu, Buya Hamka memenuhi permintaan terakhir bapak negara tersebut untuk menjadi imam di shalat jenazahnya. Tanpa dendam pula, Buya Hamka menyanjung jasa Bung Karno dan mendo’akan supaya dua masjid yang dibangunnya, yakni Masjid Istiqlal dan Masjid Baitul Rahim di Istana Negara menjadi amal jariyah selama hidupnya.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan tidak ingin dikubur dalam kemewahan. Bung Karno ingin dikuburkan dengan dikelilingi pemandangan indah, dengan sungai yang bening. Dia ingin berbaring di antara perbukitan dan ketenangan, di daerah Priangan yang subur tempat pertama kali ia bertemu petani Marhen. Belakangan, Bung Karno mengungkapkan tempat itu di dekat vila miliknya di daerah Batu Tulis, Bogor.
Namun, wasiat itu tak diindahkan Presiden Soeharto. Dengan sepihak, Soeharto memutuskan jenazah Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya di daerah Blitar. Pemakamannya sendiri diiringi dengan upacara kenegaraan dan makamnya pun juga ikut dipugar dengan mewah. Semua itu tidak sesuai dengan wasiat kesederhanaan yang diinginkan pemimpin besar revolusi tersebut.
BACA JUGA: Fakta Miris Kehidupan Soekarno di Era Orde Baru
Nah, itu tadi 5 fakta menyedihkannya akhir kehidupan Jendral Besar Revolusi, Presiden Soekarno. Banyak yang bilang politik itu kejam, tidak ada yang tahu siapa yang nantinya jadi kawan ataupun lawan. Meski begitu, Presiden Soekarno memilih menceburkan diri ke dalamnya. Karena ia tahu, menjadi politisi adalah jalan keluar terbaik untuk bebas dari penjajahan, meski juga ia tahu bakal menerima kenyataan pahit dihianati bangsanya sendiri.
Kasus baru, masalah lama. Begitulah kira-kira jargon yang cocok disematkan kepada Menteri Peranan Pemuda dan…
Selain susu dari sapi atau kambing, kamu mungkin sudah pernah mendengar susu dari almon atau…
Kamu pasti sudah nggak asing lagi dengan nama Labubu, atau Boneka Labubu. Jelas saja, karena…
Di dalam hutan lebat Papua, terdapat salah satu burung terbesar dan paling menakjubkan di dunia,…
Siapa yang tidak kenal Hikigaya Hachiman? Tokoh utama dari *OreGairu* ini dikenal dengan pandangan hidupnya…
Belakangan ramai perbincangan mengenai dugaan eksploitasi yang dialami mantan karyawan sebuah perusahaan animasi yang berbasis…