Sama seperti gebetan yang tak kunjung memberikan jawaban, rokok juga jadi hal yang menggalaukan. Di satu sisi semua orang melaknat barang kecil ini karena bisa bikin mati pun bagi yang tak menggunakannya. Tapi, tidak bisa dibantah juga kalau perusahaan-perusahaan rokok juga memberikan andil luar biasa bagi perekonomian negara. Bayangkan kalau semua perusahaan rokok ditutup sekarang juga, mau jadi apa ibu-ibu buruh linting yang jumlahnya mungkin ratusan ribu itu? Belum lagi satpam, teknisi, OB, dan sebagainya. Semua bakal nganggur-gur dan jadi beban negara. Terus bagaimana soal pajaknya sendiri? See, menggalaukan, bukan?
Terlepas dari peranannya bagi perekonomian, rokok memang true enemy bagi semua orang. Perusak rumah tangga dan masa depan. Faktanya, banyak pria yang nggak bisa kasih belanja tapi sempat beli rokok, juga bocah-bocah ingusan yang main di warnet sambil puter-puter rokoknya kayak sudah hidup tentram saja. Rokok is a bastard kalau kata para pejuang anti rokok.
Pemerintah sendiri sudah aware banget masalah perokokan ini. Buktinya bergulir tuh aturan soal bungkus rokok yang super nyeremin. Walaupun nggak ngaruh banyak. Bener, kan? Mau gambarnya orang dipancung kalau pembelinya kuat mental dan butuh banget, ya beli ujung-ujungnya. Mungkin karena merasa fail atau banyak diprotes kanan-kiri, pemerintah pun mencanangkan hal baru soal rokok. Ya, ini adalah tentang harga rokok yang bakal naik sampai Rp 50 ribu per bungkusnya.
That’s a great idea! Dengan menaikkan harga rokok sama seperti paket internetan 2 GB, pasti para perokok bakal stop dan dampak jangka panjangnya penyakit-penyakit pun musnah. Memang sih yang seperti ini bakal sangat mungkin terjadi. Tapi, kita nggak boleh lupa juga kalau rokok bukan masalah penyakit atau moral, tapi juga hajat hidup orang banyak. Rokok adalah nadi bagi sebagian orang.
Kalau jadi rokok dipatok Rp 50 ribu, pasti bakal berpengaruh ke banyak hal. Ibarat susunan domino yang ditata dan disentil, efeknya bakal ke mana-mana. Buruh terutama yang bakal kena imbasnya. Belum lagi petani serta yang paling besar adalah konsekuensi hilangnya pajak-pajak melimpah pabrik rokok untuk pemerintah. Wacana yang bagus tapi tidak benar-benar memberikan solusi.
Buruh memang yang bakal paling kena imbasnya jika harga rokok naik. Sekarang mereka digaji dari mana kalau bukan penjualan rokoknya sendiri? Lalu kalau rokok naik harganya seperti ini, jelas perusahaan bakal gulung kuming mikir gaji pegawainya. Solusinya hanya satu, pecat sebagian orang untuk memangkas anggaran. Ini pun juga bakal jadi keputusan riskan pasalnya beberapa perusahaan ada yang memberikan pesangon juga. Katakan lah pecat 10 ribu orang dengan masing-masing diberi uang Rp 100 juta, sudah berapa uang tuh yang dikeluarkan. Niat hemat malah tekor, ya ini.
Pengangguran bakal naik kalau rokok juga naik, trust me. Tidak ada perusahaan yang akan mempertahankan banyak karyawan selagi pemasukan dari hasil produksi sangat lemah. Kira-kira saja, siapa yang mau beli rokok Rp 50 ribu? Pasti ada, tapi yang jelas hanya orang-orang tertentu saja. Yang dompetnya cekak ya cuma bisa bayangin saja. Langkah pecat massal itu juga sangat masuk akal dalam bisnis, karena bisnis harus realistis.
Senasib dengan buruh, petani juga bakal kena imbas dari naiknya harga rokok. Logikanya begini, katakanlah perusahaan rokok tidak sanggup lagi memproduksi dalam jumlah yang sangat besar karena harganya jual produknya yang mahal, maka mereka pun tak lagi butuh bahan baku sebanyak biasanya. Yang rugi siapa kalau begini? Ya jelas petani tembakau lah. Mereka bakal mendapatkan penghasilan yang lebih sedikit. Lalu nasib anak petani yang sekolah dan kuliah bagaimana? Kebutuhan mereka bagaimana kalau hasil panen hanya dibeli sebagian? Petani juga bakal ngenes kalau harga rokok tinggi banget seperti high heels-nya Mbak Syahrini.
Yang tadi itu cuma dampak secara ekonomi, belum yang secara sosial. Percaya nggak sih kalau seiring naiknya harga rokok, angka kejahatan bakal meninggi juga? Jawabannya sangat mungkin. Sekarang rokok itu sudah seperti kebutuhan primer saja. Harus ada nggak bisa nggak. Nah, karena ini masuk primer, maka ketika nggak ada ya harus dicari. Dan kalau harganya mahal dan nggak terjangkau sedangkan ini masuk kebutuhan mendesak, lalu apa yang bakal terjadi? Yup, kejahatan. Seseorang bakal nyuri, merampok, hanya untuk bisa menikmati rokok. Ini sangat make sense lho. Lha wong gara-gara pulsa 10 ribu saja pernah ada seseorang yang bikin burai usus tetangganya. Apalagi yang seperti rokok ini.
Pemerintah sudah bagus sebenarnya memberikan wacana ini sebagai solusi. Tapi, harus dipikir-pikir dulu sebelum dieksekusi. Rokok bukan hanya masalah kesehatan lho, tapi juga menyangkut ekonomi dan sosial juga. Jangan sampai ingin lebih baik malah bikin blunder besar. Jangan juga keburu disahkan kemudian ditarik karena ternyata dampaknya buruk. Kan malu-maluin, kesannya seperti plin-plan dan nggak tegas.
Bukan bermaksud untuk mendukung rokok, tapi lebih menekankan kepada pemerintah agar lebih memperhitungkan masak-masak soal ini. Saya pribadi sih benci rokok tapi kasihan juga kalau ibu-ibu buruh rokok nggak bisa sekolahkan anaknya atau kasih makan keluarganya dengan layak.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…