Bahasa Jawa Merupakan bahasa daerah yang paling banyak digunakan di Indonesia. Bahkan, Bahasa Jawa menempati urutan 10 besar bahasa yang terbanyak digunakan di dunia. Memang lumrah hal ini bisa terjadi karena jumlah penduduk Jawa sendiri juga terbilang cukup padat, belum lagi jika ditambah dengan keturunan-keturunan Suku Jawa yang berada di luar negeri.
Sebagai bahasa yang sudah berusia ratusan tahun, ternyata Bahasa Jawa memiliki banyak hal mengagumkan bila kita membedahnya secara dalam. Kira-kira apa saja hal itu? Daripada penasaran, berikut kami ulas fakta-fakta Bahasa Jawa yang mengagumkan. Don’t miss it!
Di tahun 2013, Bahasa Jawa menjadi bahasa dengan penutur nomor 10 terbanyak di dunia. Bahkan Bahasa Jawa pernah disinyalir memiliki penutur lebih banyak daripada bahasa nasionalnya sendiri, yakni Bahasa Indonesia. Menurut data, di tahun 2000 Bahasa Jawa digunakan oleh 85 juta jiwa, sedangkan Bahasa Indonesia digunakan oleh 77 juta jiwa.
Selain itu, pengguna Bahasa Jawa bukan hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Suriname tercatat menjadi negara yang juga penduduknya bertutur Bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena migrasi besar-besaran penduduk Jawa yang diberlakukan Belanda pada masa penjajahan. Selain itu, Bahasa Jawa juga digunakan di Belanda, Nouvelle Celedonie, Cocos Island, Malaysia, dan Singapura.
Bahasa Jawa memiliki keunikan tersendiri jika dikaitkan dengan tema logat atau dielektika. Meski sama-sama orang Jawa, bisa jadi logat bicara seseorang akan berbeda dengan yang lain. Ini terjadi karena perkembangan dialektika Bahasa Jawa dipengaruhi oleh persebaran masyarakat yang memakainya. Misalkan saja, orang Jawa di daerah barat Pulau Jawa akan berbeda dialektikanya dengan penduduk Jawa Tengah yang terkenal lembut ataupun di Jawa Timur yang cenderung lebih kasar.
Penduduk di Banten, Serang, dan Cilegon punya kekhasan dalam menuturkan huruf ‘e’, misalkan kata ‘kula’ (artinya ‘saya’) dibaca ‘kule’, kata ‘pira’ (artinya ‘berapa’) dibaca ‘pire’. Dialektika di Tegal dan Banyumas dikenal dengan bahasa ngapak memiliki ciri khas dengan kosakata ‘inyong’ (artinya ‘saya’), ‘kepriwe’ (artinya ‘bagaimana’), dan ‘kepriben’ (artinya ‘bagaimana’). Sementara itu, Bahasa Jawa yang digunakan di Surakarta dan Yogyakarta merupakan Bahasa Jawa yang dipakai secara standard untuk pengajaran Bahasa Jawa nasional. Ciri khasnya adalah dialektikanya yang serupa dialektika mataraman.
Bahasa Jawa standard dikenal memiliki 4 tingkatan, yakni ngoko (kasar), madya (biasa), krama (halus) dan krama inggil (halus sekali). Levelisasi Bahasa Jawa ini digunakan sebagai tanda penghormatan dan perendahan. Pengucapannya tergantung dengan siapa kita berbicara, baik secara lisan maupun tulisan. Acuan yang digunakan untuk tingkata ini biasanya berdasarkan usia, kita berbicara kepada yang lebih tua atau kepada yang lebih muda.
Bahasa Jawa Ngoko digunakan saat kita berbicara kepada sesama atau yang lebih muda. Sedangkan Bahasa Jawa Krama dan Krama Inggil digunakan untuk berbicara kepada yang lebih tua. Perbedaaan yang mencolok dari levelisasi ini terdapat pada kata sapaan dan kata kerja. Misalkan saat menggunakan kata sapaan ‘kamu’, kepada orang yang seumuran atau lebih muda digunakan kata sapaan ‘kowe’, sedangkan saat berbicara dengan yang lebih tua digunakan kata sapaan ‘sampeyan’, dan untuk yang lebih tua lagi digunakan sapaan ‘panjenengan’.
Selain bisa ditulis dalam huruf alphabet, Bahasa Jawa juga bisa ditulis dalam bentuk Aksara Jawa yang merupakan huruf-huruf khusus untuk menulis Bahasa Jawa. Huruf Jawa ini merupakan turunan Aksara Brahmi yang berkembang pada masa Hindu-Budha. Kadang Aksara Jawa juga dikenal sebagai huruf Hanacaraka yang mengacu pada huruf-huruf pertama Aksara Jawa ini.
Selain itu, Bahasa Jawa ternyata juga bisa ditulis dalam bentuk huruf-huruf Arab yang sudah dimodifikasi menjadi Huruf Pegon. Konon kata ‘Pegon’ berasal dari Bahasa Jawa ‘Pego’ yang berarti menyimpang karena Bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim. Huruf pegon banyak digunakan oleh kalangan pesantren, terutama untuk menulis tafsir Al Qur’an.
Bahasa Jawa termasuk bahasa yang memiliki kekayaan kosakata. Untuk menyebut satu macam benda, Bahasa Jawa bisa memiliki beragam kata untuk menjelaskannya dari berbagai sudut pandang. Misalkan untuk menyebut benda ‘padi’. Dalam Bahasa Indonesia hanya ada satu kosakata, yakni ‘padi’ dan yang paling mungkin turunannya adalah ‘beras’ dan ‘nasi’. Dalam Bahasa Inggris, padi disebut sebagai ‘paddy’ dan turunannya adalah ‘rice’.
Nah, berbeda halnya dengan Bahasa Jawa. Dari kosakata ‘padi’ bisa diturunkan menjadi berbagai kosakata. Misalkan, kosakata ‘pari’ digunakan untuk menyebut padi yang masih ada di pohon, ‘gabah’ disebut untuk padi yang sudah dipetik, ‘beras’ untuk padi yang sudah dikupas kulitnya dan utuh, ‘menir’ untuk butiran beras yang pecah, ‘sego’ untuk beras yang sudah dimasak, ‘aking’ untuk nasi yang dikeringkan, ‘upo’ untuk sebutir nasi yang sendirian, dan lain sebagainya. Manfaat dari turunan kata ini adalah penggunaannya yang spesifik akan memudahkan orang dalam memahami pembicaraan.
Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah, disamping Bahasa Sunda, yang sudah tersedia translatornya di Google Translate. Tersedianya layanan ini dirilis Google sejak 24 Mei 2013 untuk 85 juta masyarakat Indonesia yang menggunakannya. Ketika layanan ini dirilis, Google Translate Bahasa Jawa masih berstatus “alpha” atau masih dalam tahap pengembangan. Artinya, kualitas terjemahan Bahasa Jawa di Google Translate belum setara dengan kualitas terjemahan bahasa lainnya.
Peningkatan layanan translator Bahasa Jawa ini tentunya bukan sembarang keputusan, sebab pihak Google sudah melakukan riset sebelumnya yang menyimpulkan Bahasa Jawa menjadi trend tersendiri di mesin pencari Google. Untuk itu, layanan Google Translate Bahasa Jawa ini tentunya akan semakin memudahkan bagi siapa saja yang ingin mempelajari Bahasa Jawa.
Nah, itulah tadi fakta-fakta Bahasa Jawa yang mengagumkan. Seiring perkembangan zaman, bisa saja Bahasa Jawa ini semakin sedikit penggunanya karena terpengaruh faktor urbanisasi. Namun, sebagai sebuah warisan nenek moyang tentu saja generasi muda Suku Jawa wajib untuk menjaga keberlanjutan peninggalan budaya asli Jawa ini.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…