Isu gender, kekerasan terhadap wanita, ketidakadilan, dan hal-hal yang terkait sedang mengguncang Indonesia sepekan belakangan. Kasus-kasus tindakan asusila menjadi pemicu isu ini menyebar hingga akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan: “iyakah pria menjadi makhluk sehina itu” atau “apakah wanita hanya hidup untuk ketidakadilan.”
Isu-isu di atas akhirnya mengerucut dan sebuah kesimpulan sembrono mencuat: kasus asusila dan perlakuan tak baik terhadap wanita terjadi karena ada budaya patriarki di mana pria menjadi lebih dominan. Ok, bisa jadi benar, bisa jadi salah. Sekarang coba dibalik ketika pria berada di lingkungan matriarki, apakah mendapatkan perlakuan yang buruk? Jawabannya akan Anda dapatkan di kebudayaan Matrilineal yang masih bertahan hingga sekarang.
Masyarakat Mosuo hidup di perbatasan antara Tibet dan provinsi Shicuan, Tiongkok. Saat ini, masyarakat Musou berjumlah 40.000 orang dengan menganut matrilineal yang sangat kuat. Di kawasan ini wanita memegang kendali rumah tangga secara penuh. Mereka bekerja dalam banyak hal terutama di bidang peternakan, menganyam, dan menjalankan kegiatan memasak secara keseluruhan. Perang pria dalam masyarakat ini sangat kecil. Biasanya pria Mosuo tidak memiliki pekerjaan dan hanya menyiapkan tenaganya untuk kegiatan “malam” hari.
Dalam kebudayaan ini tidak ada yang namanya pernikahan resmi. Wanita berhak berjalan ke rumah pria yang dia sukai lalu melakukan ritual ranjang. Setelah hamil, wanita itu akan kembali ke rumahnya untuk menjalani hidup seperti biasa. Saat anak lahir, pria tidak merawatnya. Keluarga wanitalah yang merawatnya hingga dewasa. Untuk biaya perawatan, pihak pria akan menyumbang setiap bulannya. Oh ya, dalam beberapa kasus, sering anak tidak tahu siapa ayah biologinya yang resmi.
Indonesia pun masih memiliki salah satu masyarakat matrilineal terbesar di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 4 juta jiwa. Di masyarakat ini, wanita memegang kendali penuh di dalam keluarga. Hal-hal yang bersifat krusial selalu diambil alih oleh wanita meski di era modern tak semua wanita Minangkabau menjadi demikian.
Dalam kebudayaan yang masih asli, pria yang sudah menikah tidak hidup dengan istrinya. Mungkin mereka tetap tidur bersama, namun di pagi hari pria harus segera kembali ke rumah orang tuanya. Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun, bahkan sejak Islam yang menganut patrilineal masuk, kebudayaan ini masih dipertahankan dengan kuat. Kaum pria dalam masyarakat ini biasanya akan merantau sementara tugas rumah diserahkan kepada ibu dan jalur keluarganya.
Masyarakat Akan sangat dominan di kawasan Ghana, Afrika. Di kawasan ini, segala hal penting terkait rumah tangga dan juga bisnis dikelola oleh wanita secara menyeluruh. Tugas pria adalah sebagai pelindung dan juga pemimpin untuk beberapa hal yang tak bisa dilakukan oleh wanita secara baik.
Pria Akan akan bekerja dengan keras untuk keluarganya. Kadang, dia tidak akan menikah sebelum membuat ibu, nenek, dan saudara perempuannya menikah semua. Wanita dalam kebudayaan ini sangat diagungkan hingga pria akan mau melakukan apa saja sebagai wujud dari rasa tanggung jawab.
Masyarakat Garo terletak di kawasan utara India yang masih memiliki kekerabatan dengan Tibet dan Myanmar. Orang-orang di kawasan ini biasanya menganggap wanita sebagai inti dari keluarga. Anak gadis (biasanya yang termuda) mendapatkan warisan dan juga kekuatan politik dari ibunya. Saat tidak ada keturunan wanita, warisan akan menjadi rebutan saudara lain hingga tidak memiliki anak perempuan mirip seperti kutukan.
Sebelum melangsungkan pernikahan. Seorang pria biasanya kabur sebelum akhirnya ditangkap oleh keluarga wanita. Lamaran dilakukan oleh wanita yang menginginkan pria yang disukai. Jika pria tidak menyukai calon istrinya, maka mereka akan kabur dan sembunyi sampai keluarga wanita menyerah. Saat sudah menikah wanita akan bekerja dan pria hidup di rumah saja.
Masyarakat yang tinggal di Pulau Jeju, Korea Selatan masih memegang budaya matrilineal secara kuat. Di kawasan ini, wanita memiliki kekuatan yang sangat kuat dalam hal menghidupi rumah tangga. Wanita muda akan belajar bekerja sebagai haenyeo atau penyelam yang akan mencari hasil laut tanpa alat modern. Biasanya menggunakan tombak atau memunguti dengan tangan langsung.
Setiap pagi, para wanita akan menyelam di lautan yang ombaknya sangat besar. Mereka akan ada di lautan selama 3-5 jam setiap hari tergantung musim. Sementara wanita bekerja, pria akan menunggu istrinya di depan rumah atau di pinggir lautan. Karena wanita memegang kendali yang sangat penuh, tingkat perceraian di kawasan ini sangatlah tinggi.
Inilah lima masyarakat modern yang masih menganut budaya matrilineal. Dari lima contoh di atas kita bisa sedikit membuat kesimpulan bahwa pria dalam kebudayaan matrilineal masih diperlakukan selayaknya manusia. Bahkan dalam beberapa budaya, pria ditugaskan untuk menunggui rumah dan tidak diperkenankan bekerja. Menurut pendapat Sobat Boombastis, kasus-kasus kekerasan pada wanita itu disebabkan patrilineal atau memang moral manusianya yang sudah bobrok?
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…