Jika berbicara tentang pakaian tradisional, Indonesia adalah juaranya. Sebab Indonesia memiliki banyak sekali suku bangsa yang masing-masing memiliki budaya dan tradisi sendiri. Tidak heran jika setiap propinsi di negara kita memiliki pakaian tradisionalnya sendiri, yang saat ini seringkali hanya dipakai pada saat acara pernikahan.
Baca Juga :10 Hal Gila Yang Hanya ada di Dubai
Masing-masing pakaian adat juga memiliki keunikan tersendiri. Ada yang terbuat dari bahan yang mewah dan hanya dipakai oleh raja dan oara bangsawan, ada yang terbuat dari serat kayu, ada yang hanya dipakai pada saat-saat tertentu, dan ada pula yang merupakan salah satu pakaian yang tertua di dunia.
Penasaran? Simak yuk 5 pakaian adat paling unik yang merupakan kekayaan budaya dari negara kita tercinta…
Secara adat, pemakaian busana Ulee Balang di propinsi ini hanya bagi kalangan raja dan keluarganya serta bagi kalangan pemuka agama.
Pakaian Ulee Balang untuk raja sering mengundang decak kagum orang yang melihatnya karena pakaian ini memang sangat mewah dengan sulaman benang emas mulai dari tutup kepalanya. Bahkan tak jarang pakaian ini dilengkapi dengan aksesoris berbahan emas asli.
Sedangkan Ulee Balang untuk pemuka agama bentuknya lebih sederhana. Corak yang digunakan hampir sama dengan Ulee Balang untuk keluarga kerajaan namun tanpa balutan dari emas.
Kemegahan pakaian Aesan Gede terinspirasi dari kejayaan jaman Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam pada zaman dahulu.
Pakaian adat ini didominasi oleh warna merah dengan benang emas, yang berasal dari tenunan kain songket yang berwarna gemerlap dan keemasan, sesuai dengan citra kerajaan Sriwijaya pada zaman dahulu, yang dikenal masyarakat dunia sebagai Swarna Dwipa atau Pulau emas.
Bukan hanya pakaiannya saja, aksesoris yang melengkapi akaian Aesan Gede juga serba gemerlap. Sebut saja gelang gepeng, gelang kano dan gelang sempuru yang terdapat di tangan pengantin wanita, serta kalung tapak jajo yang menghiasi leher.
Untuk tatanan rambut dan mahkotanya, berupa sanggul Gelung Malang yang dipadukan dengan Mahkota Aesan Gede, Bungo Tusuk Cempako, Tusuk Teratai/Kembang Goyang dan Kelapo Setandan.
Sedangkan pengantin prianya memakai sarung songket dan celana satin bersulam benang emas sapu tangan segitigo, gelang, pending dan selop bersulam.
Sudah bisa ditebak bahwa pakaian adat dari Yogyakarta terinspirasi dari busana tradisi Keraton Yogyakarta. Dahulu kala, Paes Ageng atau yang disebut dengan Kebesaran, hanya boleh digunakan oleh kerabat Kraton saja. Semenjak era Sultan Hamengku Buwono IX, Paes Ageng mulai diijinkan untuk dikenakan di luar Kraton. Tata rias Paes Ageng lalu berkembang, dan menjadi tren di kalangan masyarakat umum.
Paes Ageng memakai pakaian yang disebut dengan dodotan, yang terdiri dari kain cinde dan dodotan itu sendiri. Kain dodot memiliki ukuran 4-5 meter. Biasanya, kain dodot ini menggunakan motif semen raja yang memiliki makna agar pengantin mempunyai hidup mulia seperti raja. Motif cinde sendiri melambangkan penghormatan kepada Dewi Sri (dewi padi) yang melambangkan kemakmuran.
Tata rias Paes Ageng juga tidak sembarangan. Bagian dahi pengantin wanita dihias dengan paes (make up) warna hitam dengan sisi keemasan. Demikian pula rambutnya, yang berbentuk sanggul bokor. Demikian pula pakaian dan tata rias untuk prianya. Ada kuluk (topi), ukel ngore (buntut rambut menjuntai) dilengkapi sisir dan cundhuk mentul kecil.
Boleh dibilang, adat Paes Ageng ini cukup rumit, sebab mulai dari motif pakaian, tata rias, dan aksesorisnya merupakan sebuah perlambang dan memiliki makna tersendiri.
Pakaian adat dari Kalimantan Barat terinspirasi dari pakaian adat Suku Dayak. Suku mulai mengenal pakaian yang disebut king baba (king = cawat; baba = laki-laki) untuk laki-laki, dan king bibinge untuk perempuan (bibinge = wanita).
Uniknya, pakaian adat ini berbahan kulit kayu yang diproses menjadi kain. Bahan utamanya adalah kulit kayu kapuo atau ampuro. Kulit kayu tersebut dipukul-pukul di dalam air menggunakan pemukul yang berbentuk bulat. Kemampuan mengolah kulit kayu menjadi kain oleh masyarakat merupakan kemampuan yang secara turun temurun diturunkan oleh nenek moyang.
Teknik menenun juga dikenal oleh masyarakat Dayak. Dan lagi, yang mereka tenun adalah berupa serat dari kulit pohon tengang. Untuk mendapatkan warna tertentu, mereka mencelup serat ini ke dalam air yang bercampur getah pohon tertentu.
Aksesoris yang menonjol dari pakaian adat Perang adalah berupa ikat kepala dengan hiasan yang berasal dari bulu burung enggang. Menarik bukan?
Kita boleh berbangga bahwa baju tradisional dari Suku Bugis ini adalah salah satu busana tertua di dunia. Bentuknya berupa segi empat,dan biasanya berlengan pendek. Sedangkan bawahnya memakai sarung panjang.
Sejarah baju Bodo ini cukup panjang. Sebab aturan berbusana bagi Suku Bugis tertuang dalam kitab Patuntung yang menjadi pedoman animisme dan dinamisme di sana. Awalnya baju bodo berasal dari kain kasa (muslin) yang tipis dan transparan. Namun dalam perkembangannya, bahan yang digunakan menjadi semakin bervariasi, termasuk dengan bahan sutera.
Ada aturan sendiri mengenai pemakaian warna baju bodo. Warna jingga hanya dipakai oleh perempuan umur 10 tahun, warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun, warna merah darah untuk 17-25 tahun, warna putih digunakan oleh para inang dan dukun, warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan sedangkan warna ungu dipakai oleh para janda.
Kasus baru, masalah lama. Begitulah kira-kira jargon yang cocok disematkan kepada Menteri Peranan Pemuda dan…
Selain susu dari sapi atau kambing, kamu mungkin sudah pernah mendengar susu dari almon atau…
Kamu pasti sudah nggak asing lagi dengan nama Labubu, atau Boneka Labubu. Jelas saja, karena…
Di dalam hutan lebat Papua, terdapat salah satu burung terbesar dan paling menakjubkan di dunia,…
Siapa yang tidak kenal Hikigaya Hachiman? Tokoh utama dari *OreGairu* ini dikenal dengan pandangan hidupnya…
Belakangan ramai perbincangan mengenai dugaan eksploitasi yang dialami mantan karyawan sebuah perusahaan animasi yang berbasis…