in

Kisah Para ‘Wanita Malam’ yang Jadi Andalan Untuk Raih Kemerdekaan RI

Pernak-pernik perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekan di masa lalu, banyak menyisakan kisah unik sekaligus heroik. Tak hanya para gerilyawan dan cendekiawan yang turut beraksi. Mereka yang berprofesi sebagai pemuas syahwat laki-laki juga ikut andil memberikan ‘kemampuannya’ demi meraih kemerdekaan. Tentu dengan caranya masing-masing.

Pada masa pergerakan, ruang gerak para pejuang sangat sempit lantaran adanya pasukan Polisi rahasia bernama Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Para agen tersebut, disebar di beberapa tempat yang dinilai memiliki aktivitas politik radikal seperti di Pulau Jawa dan Sumatera. Seluruh tokoh pergerakan nasional, termasuk Soekarno, menjadi incaran mereka untuk diawasi. Disinilah peran para wanita tuna susila (WTS) dibutuhkan sebagai jalan keluar.

Gara-gara aktivitas politik Soekarno yang kerap diawasi

Menurut Takashi Shiraishi dalam Hantu Digoel (2001), kantor lembaga intel Politieke Inlichtingen Dienst (PID) itu sudah ada di Betawi, Surabaya, dan Semarang. Mereka bahkan telah tersebar merata di seluruh penjuru Hindia Belanda. Alhasil, Soekarno dan kawan-kawan yang menjadi tokoh pergerakan, merasa diawasi dan tak leluasa menjalankan aksinya. Bahkan saat Bung Besar masih tinggal di Bandung.

Gara-gara aktivitas Soekarno yang kerap diawasi [sumber gambar]
Aku menjadi sasaran utama bagi [mata-mata PID] Belanda. Mereka mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat tipis harapanku agar bisa luput dari intipan ini. Kalau para pemimpin dari kota lain datang, aku harus mencari tempat rahasia untuk berbicara,” ujar Sukarno dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1965).

Opsi ‘menggunakan’ pelacur pun dipilih sang RI 1

Agak bingung juga Soekarno karena aktivitasnya kerap diintai. Dilansir dari tirto.id, ia kerap berbicara di belakang mobil sembari menundukkan kepalanya. Untuk itu, Bung Besar pun mencoba mencari jalan keluar agar apa yang ia kemukakan tak menjadi menjadi bahan intipan para intel PID belanda. Hingga opsi memanfaatkan lokalisasi pelacuran pun hinggap di dalam pikirannya.

Ilustrasi pelacur zaman pergerakan Indonesia [sumber gambar]
Aku memikirkan siasat gila-gilaan untuk membikin bingung polisi. “Tempat lain yang kami pergunakan untuk pertemuan ialah rumah pelacuran. Aduh, ini luar-biasa bagusnya.” ujarnya yang dilansir dari tirto.id.

Wanita tuna susila sebagai senjata yang efektif

Bagi Soekarno, keberadaan para pelacur membawa ‘keuntungan’ tersendiri. Terutama agar aktivitas politik rahasianya tak terendus intel PID. Dalam autobiografinya yang dikutip dari tirto.id, para pelacur adalah mata-mata terbaik di dunia. Tak hanya itu, ia bahkan mengajarkan kepada koleganya di Partai Nasional Indonesia (PNI), bahwa dalam dunia intelijen, syahwat memang menjadi alat yang penting untuk mencapai tujuan. Mungkin, Bung Besar ingat akan kehebatan Mata Hari. Agen rahasia wanita yang berhasil menundukan musuhnya lewat ranjang.

Mata Hari agen rahasia wanita [sumber gambar]
Kalau menghendaki mata-mata yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik.” ujarnya yang dilansir dari tirto.id.

Tugas dan jasa para pelacur bagi negara

Dalam pandangan Soekarno, para pelacur tersebut dapat menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi intel Belanda, PID. Seperti mengelabui aparat para kolonial, mengorek keterangan dari polisi mata keranjang yang memakai jasa mereka di ranjang, sebagai sarana perang urat syaraf dengan merusak rumah tangga intel Belanda dan menjadi seorang pendonor dana yang loyal. Untuk yang terakhir, Soekarno punya pendapat tersendiri. Karena kerap ‘dipakai’ oleh lelaki hidung belang, secara otomatis pundi-pundi mereka akan terus terisi. Uang inilah yang kerap mengalir masuk untuk mendanai kaum pergerakan nasional.

Ilustrasi jasa pelacur di zaman pergerakan Indonesia [sumber gambar]
Sebabnya ialah karena saya menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya memerlukan tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya persoalannya bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya jang kuperlukan,” kata Sukarno yang dilansir dari tirto.id

Keberadaan mereka yang dibenci sekaligus dipuji

Keberadaan para wanita pemuas ini ternyata tak selamanya didukung. Belakangan, tokoh pergerakan seperti Ali Sastroamidjojo, menganggap hal tersebut sangat memalukan. Ia bahkan pernah menegur secara sopan terhadap Soekarno atas idenya itu. Meski terkesan seronok dan tak patut, toh jasa mereka akhirnya tetap digunakan juga oleh Bung Besar demi meraih apa yang dicita-citakannya.

Ilustrasi wanita malam di era pergerakan nasional [sumber gambar]
Sangat memalukan. Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal.” ujar Ali yang dikutip dari tirto.id.

Syahwat dan spionase, adalah dua hal yang lazim digunakan para intelijen wanita untuk mengorek rahasia musuhnya. Soekarno pun paham akan hal ini dan menggunakan tenaga para pelacur untuk menyukseskan aktivitas pergerakannya. Memang, taktik tersebut dirasa tak senonoh dan terkesan memalukan. Terlepas dari hal demikian, mau tidak mau kita harus mengapresiasi keberanian dan kehebatan ide Soekarno tersebut.

Ralat redaksi : Atas masukan dan kebijakan dari tim redaksi, maka judul dan gambar telah disesuaikan.

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

Inilah 4 Hal Penyebab Kelamnya Nasib Valentino Rossi di MotoGP 2018

Jadi Tim Bau Kencur, Beginilah Penampakan Indahnya Stadion Bali United