Ayah…
Air mataku tak berhenti menetes sejak kata pertama kutulis surat ini untukmu. Bukan karena aku merasa sedih atau tak bahagia, tapi sebaliknya. I am luckiest girl in the world, karena aku memiliki Ayah juara satu di seluruh dunia.
Satu tahun lalu saat aku pulang ke rumah, dengan semangat engkau mengajakku makan ke warung soto langganan Ayah. Aku tahu, Ayah sudah lama menanti kepulanganku dan menunjukkan hal-hal yang selama ini aku lewatkan.
Ditemani dengan semilir angin, kita bertukar banyak cerita. Ayah mendengar dengan seksama celotehanku tentang pekerjaan dan juga kehidupanku sehari-hari di perantauan. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk menyampaikan sesuatu.
“Yah, pacarku mau melamarku. Boleh Yah?” Tanyaku.
Engkau tersenyum dan menjawab dengan gembira.
“Tentu saja! Apapun yang membuatmu bahagia, selama kamu sudah siap, lakukanlah…Kapan mereka mau datang ke rumah?”
Begitulah, Ayah tak banyak bertanya, dan aku baru tahu apa sebabnya. Selama ini Ayah mencari tahu, dengan siapa aku membangun kisah cinta. Namun engkau tak pernah bertanya langsung padaku, takut aku berpikir bahwa engkau ikut campur dalam masalah pribadi hidupku.
Nggak, Yah. Ayah nggak pernah ikut campur dalam hidupku. Apapun yang terjadi padaku, Ayah berhak tahu. Lain kali, bertanyalah, Yah…Aku akan menjawab dengan senang hati.
Kemudian, Ayah dan Ibulah di rumah yang repot mempersiapkan ini itu. Dengan raut wajah gembira, Ayah menyebarkan undangan pernikahanku pada teman-teman dan keluarga. Lalu tibalah saatnya, aku terdiam dan menangis tersedu saat Ayah mengatakan hal ini.
Kamu sudah dewasa, sudah mau menikah. Jaga diri ya, Ayah tahu kamu orangnya kuat dan pemberani. Belajar mengalah, ya. Kalau ada apa-apa, telepon Ayah. Ayah tahu dia laki-laki baik, semoga dia bisa menjagamu jauh lebih baik daripada yang Ayah lakukan selama ini. Minta maaf kalau Ayah dan Ibu ada salah dalam mendidik dan membesarkanmu selama ini.
Ayah…aku adalah orang yang paling sering membantahmu tapi Ayah nggak pernah marah. Aku adalah anak yang paling nggak bisa diatur, tapi Ayah nggak pernah mengekangku. Aku adalah anak yang semaunya sendiri, dan Ayah selalu mengalah, dan menurut.
Maaf ya Ayah…maaf kalau selama ini aku bagai batu yang selalu membenturmu. Nada khawatir dan berat saat Ayah mengatakan hal-hal di atas, membuatku sadar bahwa Ayah sebenarnya masih ingin gadis kecil ini tinggal lebih lama di rumah, menemani Ayah main tenis atau bersepeda keliling pantai.
Yah, i promise you. Aku nggak akan malu-maluin Ayah. I will be the best! Dia akan menjagaku, tapi aku yakin nggak ada laki-laki di dunia ini yang bisa menyayangiku sebesar dan setulus yang Ayah lakukan. You are my first love, dad. Forever.
Terimakasih untuk segalanya, Yah. Terimakasih sudah mengantarku ke pelaminan, safe and sound. Terimakasih telah membuatku jadi wanita yang pantas untuk laki-laki baik yang kini jadi suamiku. What i’ve done today, because of you.
Memang sekarang aku sudah memiliki keluarga sendiri, dan suatu saat akan jadi Ibu. But i will be your little girl as always, dad.
Ayah, wait me to come home. Nanti kita bersepeda lagi, mampir beli soto dan bercanda kembali. Terimakasih untuk keikhlasannya melepasku memulai hidup baru. Pelajaran hidup paling berharga, adalah sikap Ayah yang begitu bijaksana terhadapku.
Family is not a thing, it’s everything
From your stubborn little girl