Anak-anak STM sedang ‘naik daun’ karena spontanitas mereka turun ke jalan, membantu para kakak mahasiswa memperjuangkan reformasi yang dikorupsi. Tak tanggung-tanggung, barisan berseragam sekolah ini maju sebagai garda depan yang bergerak lincah nan agresif. Mereka bahkan tampak beberapa kali membuat aparat kewalahan.
Jika biasanya anak STM dikenal dengan stigma kurang menyenangkan seperti tawuran, kali ini yang terjadi justru sebaliknya. Anak-anak STM yang turun ke jalan justru dianggap berjasa, memberi bantuan dan dukungan moral kepada mahasiswa yang kala itu sempat melalui masa genting bersitegang dengan aparat.
Aksi para siswa STM yang turun ke jalan jadi bukti kalau semua orang sama rata ketika menyampaikan aspirasinya. Namun di sisi lain, ini menjadi ironi untuk sebuah bangsa. Kita lagi kasih panggung pada para ABG-yang kalau mau jujur-mereka turun ke jalan belum dengan kesadaran penuh, apalagi kemampuan bertanggung jawab atas apa yang diperbuat.
Penulis setuju bahwa dari spontanitas anak STM, kita disadarkan akan 2 hal. Pertama, bahwa negara ini sudah kritis sampai-sampai hampir semua elemen masyarakat melakukan aksi untuk menggugat pemerintahan. Kedua, bahwa saat ini memang waktunya generasi muda yang bergerak, karena mereka dan penerus di masa mendatanglah yang menerima dampak dari apa yang terjadi hari ini.
Tapi lewat tulisan yang mungkin agak berkebalikan dengan suasana ini, mari kita coba berpikir panjang-supaya nantinya-kita tidak menyalahkan, ketika aksi yang dianggap heroik dari anak-anak STM malah memberi efek berkebalikan di masa depan.
Anak STM bermodal fisik, sekaligus mempertaruhkannya
Saat anak STM datang bak adegan film Avengers atau Crows Zero dan balik membuat aparat kocar-kacir, banyak yang menggambarkan ini sebagai hal yang keren. Apalagi sempat beredar dokumentasi aparat memukuli mahasiswa atau demonstran lainnya, aksi mereka seolah membalas kegeraman netizen terhadap video tersebut.
Sejujurnya gue ga terlalu setuju anak STM ikut demo, karena demo mereka belum terorganisir dnegan baik, dan lebih banyak menunjukan aksi fisik, hasilnya terlalu banyak yg terluka, ga cuma demonstran aja, petugas juga. Contohnya ini, mengkhawatirkan banget.pic.twitter.com/J0GmhXetDw
— Gita♡♬ODD♬♡ (@gcey) September 26, 2019
Namun, berbeda dengan demo mahasiswa yang terorganisir, anak STM yang turun ke jalan hampir tidak membawa misi lain selain ‘bertarung’. Banyak aksi fisik yang dilakukan dengan risiko tinggi. Siapapun bisa jadi korban, bahkan diri mereka sendiri.
Belum cukup matang untuk mengerti nilai demonstrasi
Yang dibawa oleh mahasiswa adalah materi orasi, sementara adik-adiknya berangkat dengan bara api di dalam hati. Iya, memang mereka belum benar-benar paham tentang apa yang menjadi masalah. Misalnya ketika ditanyai wartawan tentang apa alasannya ikut demo. Sudah bisa diduga, jawabannya banyak yang bikin tepok jidat.
Dari mana?
Dari BogorTerus kesini dalam rangka?
Minta keadilanTentang apa minta keadilan?
Masak sudah nikah ga boleh ngewekTau dari mana?
Dari TvOneEnd: wik..wikwik..wik..wiik..wikwik..wikwiiik pic.twitter.com/1EkBEIFc0z
— Pakar Logika (@PakarLogika) September 25, 2019
Kita sangat salut dengan keberanian dan kemauan mereka ikut berpartisipasi membantu kakak-kakak mahasiswa. Hanya saja akan lebih bijak, jika kita tidak lupa untuk menjadi pengayom mereka. Harus ada yang bisa membina, mengedukasi dan mengkoordinasi,
yg maren pada dukung anak stm mana neh??! dari awal liat video anak stm ikut turun, gue udh ga setuju bgt. karna yakin seyakin yakinnya mereka tuh sotoy! eh bener aja pas ditanya kenapa ikut demo, jawabannya karna ibukota indonesia pindah ke kalimantan. LAH BAGAIMANA?!
— yohana angeli (@yhnangeli) September 25, 2019
Bila sekedar menjadi kegempitaan yang kita dukung tanpa adanya pembinaan, kita mesti bersiap dengan ancaman. Kekuatan anak STM yang luar biasa saat bersatu ini, suatu hari akan sangat rawan ‘ditunggangi’ oknum, mengingat pola pikir dan bertindak yang belum stabil.
Ajang pelampiasan dan anarkis
Bagaimanapun, demo berbeda dengan tawuran. Jangan sampai euforia terhadap aksi heroik anak STM ini nantinya jadi pembenaran tidak langsung yang diterima oleh mereka, bahwa demonstrasi sama dengan tawuran, menyerang dan menang. Tujuan sebenarnya dari demo itu sendiri jadi tak tercapai dan dimengerti dengan salah kaprah, sehingga demonstrasi berbalik menjadi ajang agresi.
Aku juga ga setuju..
Su’udzonku sih mereka cuman pengen tawur tp gatau mau tawur sama siapa
Trus karena sekarang lagi banyak”nya demo, mereka jadi ikut”an sbg pelampiasan
Alasan lain sih karena di umur” anak STM tuh masih labil dan blm bisa ngendaliin emosi https://t.co/551tM1NIsl— Luffyyy (@fatimahlutfi_) September 25, 2019
Meski mahasiswa cukup terbantu dengan kedatangan barisan anak STM saat demo kemarin, tak terhitung pula kerusakan yang ditimbulkan. Buah dari manajemen emosi dan pola pikir yang belum matang, menjadikan dorongan besar untuk menggempur, merusak atau menyerang
Sumpah ini bener banget, bukan gimana2 yaa anak stm kalo bisa di bilang pemikiran nya masih “bocah” dari awal tau anak stm ikutan gue ga setuju pasti bakal ricuh, mereka demo bukan karna nolak ruu, sekarang tanya aja mereka ngerti masalah yang di demoin ga?? https://t.co/4cZNJhgZVg
— za🐪 (@cheolry8) September 26, 2019
Beberapa hal di atas adalah keluh kesah dari netizen yang tak setuju anak SMK atau STM ikut demo. Bukan tak beralasan, meski tak juga menganggap hal yang terjadi kemarin sepenuhnya sia-sia. Selalu ada dua sisi dalam memandang sebuah fenomena, bukan?
Bagaimanapun kemunculan anak STM di medan demonstrasi pada wakil rakyat ini, telah menandai sebuah pergerakan baru generasi muda yang telah lama tertidur. Hari ini aksi anak STM banyak menuai puja puji, tapi jika salah implementasi, aksi anak STM ke depan bisa menuai caci maki. Asal dibarengi dengan support dari kakak-kakak dan orang tua yang menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan dan kebangsaan, bisa mematangkan gerakan mereka dalam mendukung masa depan negara ini.