Jauh sebelum ada wacana mengharamkan permainan PUBG, pada tahun 2014 lewat hasil ijtima’ ulama di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Majalis Ulama Indonesia a.k.a MUI terlebih dahulu mengeluarkan fatwa tentang Golput (Golongan Putih). Di mana perilaku tersebut dinyatakan mereka sebagai sebuah hal yang haram.
Menurut Sekum MUI DIY, KRT H Ahmad Muhsin Kamaludiningrat mengungkapkan, kalau sudah dijelaskan di fatwa bila seorang memenuhi empat syarat sebagai pemimpin, yakni jujur, terpercaya, aspiratif dan komunikatif, lalu fatonah merupakan kewajiban seorang muslim memilihnya. Meski begitu, tapi hari-hari ini menjelang pemilihan bulan April, haramnya golput memenuhi banyak pro dan kotra.
Bahkan ada beberapa kelompok yang terang-terangan menyatakan dirinya akan golput. Di sisi pemerintah, mengutip pernyataan Wiranto ajakan melakukan hal tersebut bisa terkena pidana. Berkaca dari hal tersebut, tentu masalah golput bukanlah sebuah gerakan yang biasa-biasa saja. Lantas seperti apakah sejarah golongan putih itu di Indonesia.
Golongan putih pertama kali muncul di era Orde Baru
Kalau menengok perjalanan tentang golput jauh kebelakang, ternyata gerakan ini tidaklah berusia muda atau layak dilabeli anak kemarin sore. Lebih jauh dari hal tersebut, golongan ini dari penelusuran penulis sudah ada di tahun 70-an, tepatnya pada zaman orde baru. Dilansir Boombastis dari Tirto.id, gerakan ini dideklarasikan pada awal Juni 1971, sebulan sebelum pemilu pertama era Orba.
Digawangi oleh para pemuda dan mahasiswa yang memprotes penyelenggaraan Pemilu 1971, golput memiliki lambang berupa berbentuk segilam mirip lambang Golkar, dan di tengahnya ada coretan abstrak tanpa bentuk dengan semuanya berwarna putih. Kabarnya wujud lambang tersebut merupakan bentuk kreasi dari seniman Balai Budaya.
Penampakan gerakan golongan putih dahulu
Kalau sekarang banyak yang mengartikan golput adalah gerakan acuh dengan pemilu, dan mungkin sampai ‘apatis’ terhadap politik, ternyata dahulu tidaklah seperti itu. Dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis, golput tetaplah datang ke bilik suara namun pada saat memilih calon pemimpin, mereka hanya mencoblos warna putih yang ada di surat suara.
Dalam perjalanannya gerakan ini tidaklah bisa dianggap sebelah mata. Hal ini lantaran menurut beberapa catatan, presentase mengalami peningkatan. Melansir data laman Tirto.id, tercatat pada Pemilu 1977 jumlahnya malah naik menjadi 8,40 persen, lalu setelah reformasi pada tahun 1999 angkanya mencapai 10,4 persen. Sedangkan, pada Pemilu 2009, golput legislatif mencapai 29,01 persen, tidak berhenti disitu saja golput Pilpres sampai 27,77 persen.
Nama-nama yang menjadi inisiator munculnya gerakan ini
Seperti halnya makanan, tapi tukang masak tidak akan muncul, gerakan golongan putih ini tidaklah lahir dengan sendirinya. Berangkat dari sebuah ketidakpercayaan dan kekecewaan akan tokoh-tokoh yang ada di pemilu, beberapa orang dari sejumlah kelompok akhirnya menjadi inisiator hal tersebut.
Menurut Tempo pada edisi 19 Juni 1971, aksi ini semakin membesar setelah nama-nama seperti Arief Budiman, Imam Walujo, Husin Umar, Marsilam Simandjuntak, Asmara Nababan, dan Julius Usman, mulai bergerak. Namun dari semua nama tadi, Arief Budiman menjadi sosok sentral dalam gerakan yang juga ketika mengunakan nama kelompok oposisi.
Bagaimana Golput di pandang hukum
Terlepas dari fatwa MUI, sebetulnya bila mengacu kepada aturan memilih menjadi golongan putih bukanlah sebuah hal yang melawan hukum. Menurut Direktur LBH Jakarta Arif Maulana, menuturkan kalau ‘Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput’. ujaranya seperti dikutip dari IDN Times.
Dan untuk sekarang menurut laman IDN Times, Beberapa koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menjadi sosok memilih untuk golput.
BACA JUGA: Mengetahui Dampak Negatif Jika Banyak Terjadi Golput di Setiap Acara Pemilu Indonesia
Berkaca dari kisah mengenai golput tadi, tentu adalah banyak plus dan minus terkait beberapa hal tersebut. Namun, meski begitu, sebagai warga negara yang baik pesta demokrasi di Indonesia haruslah disambut dengan suka cita dan penuh perdamaian. Dan pastinya apa pun pilihan kalian dalam pemilu nanti perlu untuk dihargai.