Bencana banjir besar yang melanda Jakarta saat ini, memang berhubungan erat dengan masa lalu ibu kota yang juga pernah mengalami hal serupa. Kala itu di tahun 1918, Jakarta yang masih bernama Batavia dikepung oleh banjir besar akibat hujan deras selama 22 hari tanpa henti.
Saat itu, Batavia dipimpin oleh Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum. Hujan deras yang seolah tak berkesudahan tersebut, bahkan ikut membuat beberapa wilayah seperti Glodok, Kampung Lima, Weltevreden (kini di sekitar Lapangan Banteng), dan Tanah Tinggi tergenang. Seperti apa kisahnya? Simak ulasan berikut ini.
Banjir besar yang membuat kegiatan di masyarakat terhenti
Banjir pada tahun 1918 berdampak pada kehidupan masyarakat pada saat itu. Mulai sekolah Tionghoa seperti Holl China School dan Tiong Hoa Lie Hak Hauw diliburkan, toko-toko yang terpaksa tutup, hingga trem listrik tidak bisa beroperasi karena jalur dan mesinnya terendam banjir. Pendek kata, kegiatan masyarakat sangat terganggu pada saat itu.
Upaya sia-sia J.P. Coen kendalikan Ciliwung yang tak mampu hentikan banjir di Batavia
Upaya untuk mencegah banjir melanda Batavia sejatinya telah digagas oleh Jan Pieterzon Coen (J.P. Coen). Dilansir dari Historia.id, Gubernur Jenderal VOC itu membuat kanal-kanal seperti di Belanda pada sungai Ciliwung untuk mengurangi debit airnya. Sayang, upaya tersebut masih gagal menyelamatkan Batavia dari kepungan banjir. Air pun kembali menggenang kota yang kini bernama Jakarta tersebut.
Gerak cepat pemerintah Belanda untuk mengendalikan banjir agar tidak terjadi kembali
Menurut tulisan Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, pemerintah Batavia sempat membuka pintu air Weltevreden agar air bisa berjalan lancar. Sayang, upaya tersebut ternyata kurang berhasil diterapkan karena tidak mampu mengatasi arus deras yang menerjang kawasan pemukiman.
Kebaikan hati masyarakat Tionghoa yang membantu warga lokal saat banjir terjadi
Ditengah suasana kacau pada tahun 1918 itu, banyak warga Tionghoa menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan untuk pengungsi. Dilansir dari Liputan6.com, rumah di sepanjang Molenvliet barat (kini Jl Gajah Mada) dan timur (Jl Hayam Wuruk), dibuka untuk korban banjir yang membutuhkan. Tak sekedar membantu, mereka juga memberi makan pada terdampak banjir yang banyak datang dari kalangan pribumi.
Banjir yang masih terus terjadi hingga di awal tahun 2020
Beralih ke zaman modern, bencana banjir juga ikut menerjang Jakarta di awal tahun 2020. Sama seperti tahun 1918, semua kegiatan masyarakat lumpuh akibat genangan air yang merendam beberapa wilayah dan rumah-rumah penduduk. Baik dulu saat dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama dan kini Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, banjir masih menjadi salah satu persoalan yang belum bisa dipecahkan solusinya.
BACA JUGA: 5 Kejadian yang Hebohkan Masyarakat Saat Banjir Besar Melanda DKI Jakarta dan Sekitarnya
Seolah mengulang kejadian di masa lalu, banjir besar yang terjadi di awal tahun 2020 juga pernah melanda Batavia (Jakarta lama) pada 1918 silam. Bahkan, upaya pemerintah yang saat itu dipegang oleh Belanda masih tak cukup untuk mencegah air agar tidak meluap hingga menjadi banjir.