Ngomongin soal tradisi dan budaya di Indonesia rasanya tak pernah ada habisnya. Berbagai ritual dan tradisi selalu mewarnai pada hari-hari tertentu. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Rebo Wekasan. Rebo berarti Rabu dalam bahasa Indonesia dan Wekasan artinya pungkasan atau akhir. Secara harfiah, Rebu Wekasan adalah hari Rabu terakhir. Lebih tepatnya lagi, merupakan hari Rabu terakhir dari bulan Safar (bulan kedua dari 12 bulan penanggalan tahun Hijriah). Ada tradisi dan ritual yang biasa dilakukan pada Rebo Wekasan. Mengingat konon katanya Rebo Wekasan ini merupakan “hari keramat”.
Ada tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat dari sejumlah daerah di Indonesia seperti Jawa, Sunda, dan Madura pada hari Rebo Wekasan ini. Bentuk ritualnya umumnya ada empat macam. Apa sajakah? Antara lain sholat tolak balak, berdoa dengan doa-doa khusus, minum air jumat, dan selamatan. Selamatan ini bisa dalam bentuk sedekah atau berbuat baik kepada sesama. Dengan melakukan ritual-ritual tersebut, ada kepercayaan berbagai bencana dan malapetaka bisa dihindari. Hm, cukup menarik nih untuk ditelusuri lebih jauh.
Ada Cerita Menarik Terkait Asal-Usul Rebo Wekasan
Setiap tradisi apalagi yang sudah dijalankan turun temurun pasti ada awal mulanya. Begitu pula dengan tradisi Rebo Wekasan. Tradisi ini diceritakan bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat ad-Dairobi). Di kitab ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin juga ada anjuran yang serupa.
Di kitab tersebut, diceritakan ada seorang waliyullah yang telah mencapi kedudukan tinggi yang disebut maqam kasyaf. Ia mengatakan bahwa setiap tahunnya pada hari Rabu terakhir bulan Safar, Sang Pencipta menurunkan 320 ribu macam balak dalam satu malam. Nah, agar terhindarkan dari balak tersebut, ia menyarankan agar umat Islam melakukan shalat dan doa bersama. Shalat yang dilakukan bukan shalat seperti shalat lima waktu. Melainkan melakukan shalat empat rakat di mana setiap rakaatnya membaca surat al Fatihah dan Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Lalu, usai salam dilanjutkan dengan membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali. Waktu untuk melakukannya adalah pada pagi hari (waktu Dhuha).
Tradisi Rebo Wekasan Bisa Berbeda di Setiap Daerah
Tradisi dan ritual Rebo Wekasan umumnya dilakukan oleh penduduk yang tinggal di Pulau Jawa. Sementara di luar Pulau Jawa, tradisi ini tak banyak dikenal. Di Pulau Jawa pun, tradisinya bisa berbeda-beda di tiap daerah. Di kota Gresik misalnya, tradisinya diperingati dengan saling bersedekah bubur harisa dengan orang sekampung. Di Tasikmalaya lain lagi, yaitu dengan shalat berjamaah di akhir hari Rabu di masjid atau musala, kemudian lanjut melakukan doa bersama. Di Cirebon, ada tradisi Ngapem dan Ngirap. Biasanya di hari Rebu Wekasan, masyarakat Cirebon akan membagi-bagikan apem ke para tetangga sebagai bentuk syukur. Sebagai bagian dari aksi tolak balak, masyarakat Cirebon juga ada yang mandi di Sungai Drajat untuk menghilangkan yang kotor-kotor. Sementara kalau di Probolinggo, tradisinya adalah dengan mendatangi para tokoh agama Islam secara berkelompok sambil membawa air untuk didoakan dengan tujuan demi terhindar dari balak.
Penyebutan Rebo Wekasan juga tak persis sama di setiap daerah. Di Yogyakarta, disebut Rebo Pungkasan. Kalau di Sunda dan Banten menyebutnya Rebo Kasan. Lalu di Madura disebutnya Rebbuh Bekasen. Di sebagian daerah lain disebutnya Rabu Bekas. Tradisinya juga bisa berbeda satu sama lain sesuai dengan yang diturunkan dari nenek moyang masing-masing. Tapi tujuannya tetap satu, yaitu untuk menolak balak dan meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
Upacara Rabu Pungkasan di Yogyakarta Memiliki Nilai Historis Tinggi
Tradisi Rebo Wekasan (Rebu Pungkasan) di Yogyakarta memiliki nilai historis yang tinggi. Menurut cerita, titual ini sudah ada sejak tahun 1784 M. Tapi ada juga yang menyebutkan kalau tradisinya sudah ada sejak tahun 1600 M. Nah, ada cerita yang menarik dari tradisi turun menurun ini.
Upacara tersebut dilakukan atas terjadinya sebuah pertemuan antara Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan Kiai Faqih Utsman. Kiai Faqih Utsman ini bukan orang sembarangan, ia adalah seorang ulama yang menjadi penasihat Raja Ngayogyakarta juga seorang ahli pengobatan yang memiliki kemampuan bisa menyembuhkan penyakit yang menyerang warga Wonokromo.
Di daerah Bantul, tradisi Rebo Pungkasan ini dilakukan sebagai wujud atas rasa syukur pada sang Ilahi. Ada yang namanya kirab lemper sebagai puncak dari tradisinya. Jadi kirab ini semacam mengarak lemper raksasa dengan ukuran sekitar 2,5 meter dan diameter 45 cm. Lemper diarak dari desa Wonokromo hingga Balai Desa Wonokromo. Dalam arakan, ada barisan Keraton Yogyakarta dan juga kelompok kesenian rakyat. Nantinya lemper raksasa akan dibagikan ke para undangan. Lalu gunungan makan akan diperebutkan oleh masyarakat. Ada kepercayaan bahwa orang yang berhasil mendapat gunungan makanan itu akan mendapat berkah nantinya. Tak heran puncak acara inilah yang paling dinantikan masyarakat.
Pentingnya Toleransi dalam Menanggapi Tradisi Rebo Wekasan
Tak bisa dipungkiri kalau ada sejumlah pro dan kontra juga berbagai hukum tentang tradisi yang satu ini. Tapi satu yang penting adalah kita tetap perlu menjaga toleransi satu sama lain.
Terlepas dari atribut yang melingkupi Rebo Wekasan, tradisi ini sebenarnya adalah hal yang baik. Seperti yang dijelaskan di atas, Rebo Wekasan berisi tentang pemanjatan doa bersama sampai sedekah. Doanya sendiri pun juga tidak macam-macam lantaran isinya adalah meminta kepada Tuhan agar dihindarkan dari bencana.
Kalau di daerahmu sendiri ada tradisi Rebo Wekasan juga kah? Setiap tradisi pastinya memiliki nuansa dan selalu memberi pengalaman yang berkesan. Tinggal ambil yang baik dan manfaatnya saja.