Seperti kembali pada era orde baru atau kepemimpinan presiden kedua Indonesia Soeharto, baru-baru ini gaung razia buku kembali terdengar lagi. Meski hanya buku berhaluan kiri yang ditangkap, namun hal itu sudah sama membalikkan kita ke zaman tersebut. Ketika itu masyarakat dibatasi pengetahuan dan pemahamanannya tentang sejarah negerinya sendiri. Dan yang menjadi pertanyaan kenapa dalam kasus itu hanya pedagang-pedang buku kecil merasakannya.
Padahal dari penelusuran penulis beberapa waktu lalu, toko-toko besar memperdagangkan dengan bebas buku dianggap berhaluan kiri oleh aparat itu. Entalah, mungkin mereka masih menyisir pejuang-pejuang literasi dari tingkat bawah. Masih terkait masalah buku, tentu tidak banyak dari kalian mengerti realita pedagang-pedagang buku sebetulnya. Mungkin saat ini di era digital, mereka layaknya pepatah ‘hidup tak mau matipun segan’. Dan berikut penelusuran penulis tentang mereka.
Para penjual buku terus bertahan himpitan perkembangan zaman
Bukan sebuah rahasia lagi, ketika digitalisasi merambah keberagam sektor dunia literasi juga terkena ibasnya. Kebiasaan mendapatkan ilmu dari buku, koran, atau segala dicetak, kini berubah hanya lewat sebuah gadget saja. Kondisi seperti inilah yang akhirnya membuat buku sedikit terpinggirkan posisinya.
Tidak berhenti disitu saja, masalah hadirnya toko buku online juga menjadi realita yang harus dihadapi mereka. Menurut penuturan Bang Jay yang dikutip dari Detik.com, ungkapnya hadirnya mereka sangat mempengaruhi penjualannya. Lalu ada kisah Suprin yang mengungkapkan kalau semenjak ada toko buku online pasar Kwintang tempatnya berjualan semakin sepi.
Buku-buku tua menjadi literasi kerap dicari
Melihat fakta tadi, memang bisa dikatakan bukan perkara mudah bagi penjualan buku untuk lepas dari sebuah tikaman zaman .Improvisasi sepertinya menjadi salah satu jalan untuk memperlancar langkah mereka di era ini. Meski berat, tapi ternyata tidak semua pejuang literasi tersebut terkena dampak dari zaman digital saat ini.
Seperti contohnya adalah Doly Hirawansyah pemilik toko buku di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur. Pria yang memulai terjun di dunia tersebut tahun 2004 itu, mengaku tidak pernah terpengaruh online, lantaran buku yang dijual adalah yang masuk kelas langka dan susah untuk dicari. Berkat tipe jualannya itu, beberapa pejabat tanah air menjadi langganannya. Salah satunya adalah Fadli Zon yang kerap mencari buku tentang Indonesia.
Tahun ajaran baru menjadi waktu panen uang
Realita lain yang didapatkan penulis dari kisah ini adalah bagaimana tahun ajaran baru sekolah, menjadi ladang panen untuk para penjual buku. Hal ini lantaran saat waktu tersebut berbondong-bodong orang mencari benda penuh ilmu tersebut. Dilansir Boombastis dari laman Postkotanews.com, penjual buku di kawasan Jatinegara bernama Warno, mengaku jika menjelang tahun orang-orang sekolah lagi banyak orang mencari buku di tempatnya.
Hal tersebut tentu tidaklah terjadi di tempat Warno saja. Hampir seluruh outlet buku atau menyediakan perlengkapan sekolah selalu ramai ketika masuk tahun ajaran baru. Pada umumnya, di lapak pria yang mengaku sudah berjualan sejak 1976 itu, harga buku yang dijualnya berkisar 25000 sampai 3000, tinggal melihat kondisinya ungkapnya.
BACA JUGA: Muncul Sampul Buku SD dengan Gambar Tidak Senonoh, Orangtua Mesti Super Waspada
Melihat beberapa hal tadi, tentu tidaklah mudah untuk saat ini menjadi pedagang buku. Selain harus bersaing dengan perubahan zaman, mereka harus senangtiasa improvisasi agar jualan bisa laku. Berkaca dari realita tadi, apakah sudah betul langkah-langkah penyita buku yang beberapa waktu lalu terjadi?