Minggu ini tahun ajaran baru dimulai. Tidak hanya murid dan guru, orang tua juga sibuk dengan persiapan menyambut kelas baru yang akan dimasuki sang buah hati. Tidak hanya mempersiapkan dana untuk pendidikan yang lebih lanjut, para orang tua juga terkadang direpotkan oleh permintaan yang aneh-aneh soal persiapan MOS.
Belakangan ini netizen ramai-ramai membahas tentang pro dan kontra penyelenggaraan MOS di Indonesia. Sebagian dari masyarakat menganggap bahwa Masa Orientasi Siswa (MOS) adalah hal konyol yang tidak perlu dilaksanakan. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa kegiatan ini bertujuan untuk melatih mental dan membuat siswa akrab dengan lingkungan sekolah. Berikut ini Boombastis akan membahas seputar kontroversi MOS di Indonesia.
1. MOS Selalu Diisi dengan Hal-hal Konyol
Hal paling lumrah yang dilakukan dalam sebuah MOS adalah mendandani para peserta dengan pernak-pernik yang tidak biasa. Ada yang disuruh mengikat rambut dengan ikatan yang sama dengan jumlah tanggal lahir. Ada yang disuruh mengempeng layaknya bayi. Ada yang memakai topi yang terbuat dari tempat sampah. Bahkan ada yang harus memakai baju dari koran dengan kaus kaki yang berbeda warna di kiri dan kanan.
Menurut sebagian orang, hal ini adalah sebuah kelakuan konyol yang tidak memberikan manfaat apa-apa dan hanya mempermalukan peserta semata. Sementara yang lain berpendapat bahwa syarat-syarat konyol itu adalah bagian dari ajang untuk memperkuat mental. Apakah benar mental anak-anak bangsa akan terbangun kokoh dengan hal-hal memalukan seperti itu? Adakah bukti konkrit bahwa hal-hal di atas berpengaruh kepada mental murid?
2. Wadah Terjadinya Kekerasan
Kita sudah sering mendengar bahwa MOS menjadi ajang bagi para senior untuk berbuat semaunya kepada para junior. Mereka merasa punya hak untuk membentak dan mempermalukan sang junior yang baru pertama masuk ke lingkungan sekolah. Tak jarang, mereka memberi tugas-tugas aneh kepada junior seperti mencari lima jenis semut yang berbeda di lingkungan sekolah.
Tugas-tugas seperti itu mungkin masih bisa kita toleransi. Namun, di beberapa kasus, terjadi perpeloncoan hingga menghilangkan nyawa seseorang. Kekerasan di IPDN, sekolah dan kampus lainnya menjadi catatan hitam dari MOS. Jika tujuan MOS adalah memperkenalkan lingkungan sekolah kepada murid baru, apakah senioritas dibutuhkan? Bukankah murid bisa dibimbing per kelompok oleh guru dan dikenalkan kepada lingkungan baru mereka?
3. Seru
Tidak sedikit MOS yang dilakukan di luar sekolah. Istilah ini juga tenar dengan sebutan ‘pengkukuhan’. Banyak sekolah yang menyisakan satu dari beberapa hari MOS mereka untuk berkemah di luar sekolah. Hal ini memang membangun rasa kekeluargaan antar murid di sekolah. Namun tidak jarang pula para senior semakin bersemangat ‘mengerjai’ adik kelas mereka di luar lingkungan sekolah.
Harus diakui beberapa acara MOS di Indonesia memang seru dan lucu. MOS juga sering kali mengukir kenangan yang tidak terlupakan di benak banyak siswa. Namun, ada juga dari rangkaian acara tersebut yang membuat trauma dan tidak manusiawi.
4. Perbandingan dengan MOS di Luar Negeri
Seorang WNI yang tinggal di Singapura pernah mengatakan bahwa MOS di Indonesia sangat berbeda dengan MOS di negara tetangga tersebut. Menurutnya, para siswa dan mahasiswa baru di Singapura diberi tugas untuk membersihkan toilet umum di stasiun sebagai bakti mereka kepada masyarakat. Mereka juga diberi kesempatan untuk mendirikan proyek kerja bakti lain. Grup yang punya ide kerja bakti paling bagus akan mendapat reward khusus dari sekolah atau universitas.
Sementara di Indonesia, MOS sering kali diisi dengan bentak-membentak dari para senior. Hukuman fisik seperti push-up, lari, jalan jongkok dan sit-up adalah hal yang dianggap lumrah. Ada pula yang dikerjai harus makan satu permen secara bergantian hingga habis.
5. Sudah Menjadi Tradisi Bertahun-Tahun
MOS sudah menjadi tradisi yang menahun. Setiap murid baru seolah tahu dia akan dikerjai dan telah mempersiapkan diri. Para orang tua yang awalnya heran dan keberatan, akhirnya menerima MOS sebagai perubahan zaman yang berusaha mereka pahami. Masyarakatpun mulai maklum dan cuek-cuek saja akan fenomena ini.
Sebagian masyarakat beranggapan kita harus berani mendobrak tradisi yang tidak baik ini. Kita harus mulai sadar bahwa tidak ada hasil konkrit dari MOS model ini dan kita harus berubah ke arah yang lebih baik. Hal yang dianggap seru dan memorable ini sebenarnya justru menghancurkan mental anak. Tidak terhitung anak yang diam-diam menyimpan trauma pasca MOS.
Kita tentu saja ingin anak bangsa ini menjadi pribadi kuat yang bermental kokoh. Namun, benarkah hal itu bisa didapat lewat MOS? Bukankah tantangan sebenarnya harus mereka jalani saat mereka sudah memulai pelajaran?
Bagaimana menurut Anda? Apakah MOS adalah hal yang layak untuk dipertahankan dan diteruskan? Atau kita hentikan sampai di sini dan mulai merancang perkenalan sekolah yang lebih layak? (HLH)