Kemerdekaan yang kita nikmati saat ini, merupakan sebuah anugerah besar dari Tuhan Yang Maha Esa lewat perjuangan tak kenal lelah dari para pendahulu. Tak hanya lewat tetesan darah dan airmata, namun juga berbagai hal menarik yang tak banyak diketahui khalayak ramai. Salah satunya adalah bagaimana Sukarno sebagai The Founding Father bangsa ini mempersiapkan pidato kemerdekaan apda 17 Agustus 1945.
Ada rasa bangga, haru, sekaligus gugup yang membuncah menjadi satu dalam dirinya kala itu. Ekspresi yang demikian, menjadi ungkapan hatinya yang terwujud dalam sebuah perenungan panjang. Kala menyusun hingga menulis teks untuk pidato perayaan kemerdekaan 17 Agustus, sang putera fajar itu bahkan sempat memandang bintang di langit sembari bermunajat. Ia meminta berkah dan anugerah sebagai pengantar untuk negara baru bernama Indonesia yang telah meraih kemerdekaanya.
Keluar rumah memandangi bintang seraya bermunajat
Dikutip dari artikel berjudul “Tjara Bung Karno Mempersiapkan Amanat 17 Agus” dari arsip Kompas terbitan 11 Agustus 1965, tertulis bagaimana Bung Karno mempersiapkan amanatnya dalam sebuah pidato. Kala itu, presiden pertama RI itu kerap memandangi bintang pada malam hari sebelum menuliskan amanat untuk disampaikan pada 17 Agustus.
Menurut kisah Darmosugondo, yang merupakan orang dekat sekaligus wartawan dan penyiar RRI itu, Sukarno memandangi langit untuk mengamati bintang-bintang dengan seksama, dan memilih satu yang paling terang. Saat itulah, memanjatkan doa dan memohon petunjuk kepada Tuhan untuk negeri besar yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang Pemimpin Negara.
Air mata yang membuatnya harus berganti kertas berkali-kali
Tak hanya itu, Sukarno juga turun menemui rakyat untuk memahami permasalahan konkret yang tengah dialami bangsanya. Jika kedua hal ini telah selesai ia lakukan, barulah amanat ditulis dengan tangan. Teks inilah yang nantinya ia bacakan dalam pidato perayaan kemerdekaan Indonesia, di hadapan masyarakat yang setia menanti sang orator yang dijuluki sebagai singa podium tersebut.
Tak jarang, Sukarno kerap menitikkan air mata saat menulis amanatnya. Ada rasa haru sekaligus perasaan emosi yang berkecamuk dalam batinnya kala itu. “Dengan terus terang saya katakan di sini bahwa beberapa kali saya harus ganti kertas, oleh karena air mataku kadang-kadang tak dapat ditahan lagi,” kata Soekarno dalam pidatonya yang dikutip dari nasional.kompas.com.
Terharu atas kemajemukan Indonesia yang disatukan lewat Pancasila
Bukan emosi dalam perasaan marah, melainkan perasaan haru dan rasa cintanya yang begitu besar terhadap bangsa dan negara Indonesia yang dicintainya. Hal ini terlihat dari ungkapannya yang menunjukkan, betapa ia bangga dan kagum terhadap bangsa majemuk yang ia pimpin. Bersatunya keberagaman inilah yang tak jarang membawa perasaan haru dalam diri Sukarno.
“Saya menulis pidato ini sebagaimana biasa dengan perasaan cinta yang meluap-luap terhadap Tanah Air dan bangsa. Tetapi ini kali dengan perasaan terharu juga. Lebih daripada biasa terhadap keuletan Bangsa Indonesia dan kekaguman yang amat tinggi terhadap kemampuan Bangsa Indonesia,” ujar Sukarno saat upacara peringatan kemerdekaan 56 tahun lalu.
BACA JUGA: Pesan Soekarno Jaman Dahulu yang Benar-Benar Terbukti Sampai Detik Ini
Mungkin, hal inilah yang membuat pidato-pidatonya selama ini terasa begitu menghujam dan menggetarkan hati. Sukarno, dengan gaya dan orasinya yang khas, mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia yang telah berhasil meraih kemerdekaannya. Bahkan hingga kini dirinya telah tiada, nama besar sang Putra Fajar akan terus dikenang hari ini dan selama-lamanya. Merdeka!