Mendengar Papua atau Irian Jaya tentu yang terlintas dalam pikiran adalah alam yang indah, subur, dan keragaman budaya. Meski menjadi wilayah ‘tertinggal’, namun wilayah timur Indonesia seperti halnya surga menyimpan banyak hal. Tapi siapa sangka, di balik itu semua ada sebuah kisah alot dan teramat rumit sebelum wilayah itu bergabung. Belanda yang tidak mau melepas wilayah tersebut ke pangkuan bumi pertiwi adalah penyebabnya.
Dikutip dari Tempo.com, saat itu negara yang menjajah kita belasan tahun tersebut mengganggap kalau Papua salah satu provinsi Kerajaan Belanda, walaupun setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, semua kawasan Hindia Belanda adalah milik negara kita. Singkat cerita, berkat kondisi inilah akhirnya perjanjian New York tahun 1962 tentang Pepera atau penentuan pendapat rakyat dengan sistem satu orang satu suara muncul.
Apakah kebijakan ini membahagiakan untuk Indonesia jelas tidak. Pasalnya, sebagai orang di sana agaknya lebih memilih untuk merdeka tanpa harus menjadi bagian Indonesia. Dilansir Boombastis.com dari Historia.id, saat menteri dalam negeri datang kesana Menteri Dalam Negeri kala itu Amir Machmud datang ke Irian Barat, didapatinya sesuatu kenyataan yang tidak pernah terpikirkannya, yakni sebagian rakyat Papua tidak begitu memperlihatkan simpatinya kepada Republik Indonesia.
Kabarnya pengaruh Belanda yang sempat menduduki wilayah tersebut menjadi pemicunya. Namun, konon pemberitaan lain berujar kalau ketidak adilan menjadi hal lain mempengaruhinya. Hambatan-hambatan semacam ini akhirnya membuat Pepera coba disiasati oleh pemerintah. Papera yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa, pria dan wanita merupakan penduduk sana saat perjanjian dengan mekanisme satu orang satu suara dengan dibebaskan memilih ikut Indonesia atau tidak, berubah menjadi musyawarah.
Lewat cara ini selain berpeluang untuk dimenangkan Indonesia, juga dianggap tepat dengan kondisi saat itu yang kekurangan dana dan dianggap cocok dengan budaya kita saat itu. Dan untuk memuluskan langkah pemerintah yang ketika itu di bawah rezim Soeharto melakukan pendekatan persuasi dengan mendatangi kepala-kepala suku di sana. Melansir laman Tirto.id, Presiden kedua Indonesia itu menyuruh Ali Moertopo untuk mengamankan suara rakyat Papua. Semenjak itu, para tokoh adat itu mendapatkan sejumlah hadiah, mulai dari barang kebutuhan pokok sampai tembakau bermerek.
Motode itu berjalan sesui rencana dengan hasil pemungutan suara yang menunjukkan kalau banyak orang Papua mau memilih bergabung dengan Indonesia. Melansir laman Tirto.id, dalam artikelnya menjudul “Pepera, Cara Indonesia Siasati Potensi Keok Saat Referendum”, akhirnya ketika pelaksanaan program itu di tahun 1969, 1.025 orang dipilih oleh pihak Indonesia untuk 100 persen mendukung terintegrasi dengan Indonesia.
Berkaca dari hal itu, tentu terlihat begitu mudah membujuk orang Papua untuk memilih Indonesia. Tapi, ternyata kabarnya ada arogansi pihak militer dan beberapa aparat menjadikan mereka mudah sekali untuk dikendalikan. Seperti salah contohnya tindakan itu, terjadi kepada Joel Boray yang ditahan selama beberapa hari lantaran menolak Pepera. Sedangkan, tante dari anak Papua bernama Filep diacam akan disobek mulutnya kalau memilih opsi Papua Merdeka. Menuruntnya juga doktrin-doktrin untuk memilih Indonesia juga menjadi makanan sehari-hari.
BACA JUGA: Disebut Jadi Biang Keladi Penembakan, Begini Fakta Mengejutkan Kelompok Egianus Kogoya
Begitulah sedikit kisah masuknya saudara kita itu ke dalam pangkuan ibu pertiwi. Seperti yang sudah-sudah setiap keterpaksaan jelas meninggalkan sesuatu tidak mengenakan. Berangkat dari hal tersebut, mungkin yang menginginkan Papua merdeka saat ini adalah bentuk ketidakpuasan akan sebuah pilihan. Tapi, besar harapan kalau Papua tetap menjadi bagian dari Indonesia.