Smartphone, bukan lagi menjadi barang yang mahal sekarang dan hampir semua orang memilikinya. Bahkan banyak yang saling berlomba memiliki handphone yang tercanggih lah, termahal lah, terbaru lah, yang jelas “paling” dalam segalanya. Di balik kelakuan hedon yang tak perlu itu, mungkin tak banyak yang tahu kalau ternyata ada anak-anak tak berdosa di Kongo yang jadi korban.
Ya, faktanya, dari keringat dan darah anak-anak Afrika Tengah itulah bahan utama Smartphone kita dibuat. Mereka dipekerjakan layaknya budak demi keserakahan industri alat elektronik dunia. Jadi seperti apa kejamnya potret perbudakan anak-anak sebagai pegawai tambang di Afrika Tengah itu? Simak ulasan berikut.
Hanya demi satu barang bernama kobalt, banyak orang di Kongo harus menjadi seorang penambang. Tidak tanggung-tanggung, hingga ratusan ribu pekerja di sana bekerja mencari kobalt dengan prosedur keselamatan super minim. Bahkan masker pun tidak diberikan oleh pemilik perusahaan. Hanya bermodal alat penggaruk tanah, para penambang ini masuk ke dalam lorong-lorong penuh gas beracun dengan modal seadanya. Kembali lagi, semua hanya demi benda yang disebut kobalt. Tidak punya hati nurani? Jelas, para perusahaan itu tidak memilikinya.
Realita di sana sungguh kejam dan tidak manusiawi. Ternyata kebanyakan para penambang kobalt itu adalah anak-anak di bawah umur. Seharian mereka bekerja, namun tidak seberapa yang didapat. Sama dengan para penambang yang lain, meskipun anak-anak, tidak ada sama sekali perlindungan kesehatan yang diberikan. Sebenarnya mempekerjakan anak di bawah umur saja sudah salah, apalagi membuat nyawa mereka dalam bahaya dengan membiarkannya bekerja di lingkungan ekstrim seperti itu. Meskipun begitu, dunia seolah acuh dengan keadaan anak-anak ini.
Baik pihak orang tua maupun perusahaan, kebanyakan sangat acuh dengan keadaan ini. Tidak peduli dengan kesehatan anak-anak, mereka diperlakukan seperti budak. Jangan kaget kalau kadang bakal ditemukan para penjaga yang selalu siaga menodongkan AK-47. Belum lagi bayaran yang mereka terima, ternyata tidak manusiawi. Bayangkan saja, setelah bekerja 12 jam mencari kobalt dengan kuota 20 hingga 30 Kg per anak, mereka hanya dibayar Rp 13 ribu saja. Bandingkan dengan resiko yang dihadapi, bisa saja meregang nyawa mereka kapan saja.
Menurut pada pakar medis, sangat banyak bahaya yang mengancam orang-orang yang sering terkena paparan kobalt secara langsung. Mulai dari sesak nafas hingga infeksi paru-paru yang bisa saja membuat seseorang binasa. Jadi bukan lagi hal aneh kalau ternyata setiap bulan ada puluhan nyawa anak melayang karena terinfeksi paparan kobalt ini. Dari perjuangan, tangisan hingga kematian para anak-anak inilah cikal bakal smartphone yang kita gunakan berasal.
Ya, memang seperti itulah ironinya. Kobalt sebagai bahan dasar litium yang ada di Smartphone kita memang berasal dari darah dan keringat para anak-anak Kongo. Siklus itu tetap berlanjut mungkin sampai sekarang ini. Perusahaan-perusahaan besar seperti Apple, Sony, Samsung dan yang lainnya juga ikut andil dalam hal ini. Karena pada dasarnya perusahaan-perusahaan tersebut sama-sama mendapatkan kobaltnya dari salah satu industri yang bertanggung jawab atas semua ini. Dari Kongo, perusahaan Cina Zhejiang Huayou Cobalt Ltd mengirim kobaltnya ke seluruh penjuru dunia dan beberapa langganannya adalah perusahaan-perusahaan elektronik terkemuka itu.
Amnesty International tidak mau diam atas kejadian ini, akhirnya mereka menuntut beberapa perusahaan yang ikut andil. Namun sayangnya kebanyakan perusahaan besar itu berdalih Kecolongan karena tidak memastikan secara jelas dari mana mereka mendapatkan kobalt. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut sama-sama tidak akan mendukung perbudakan anak, namun nasi sudah menjadi bubur. Sudah banyak anak yang menderita dan meregang nyawa hanya demi keperluan pembuatan barang elektronik dunia. Miris memang, semoga hal yang serupa tidak akan terulang kembali.
Mungkin untuk urusan sebesar itu bagi kita bukanlah masalah gampang untuk menyelesaikannya. Sudah banyak yang berkoar-koar masalah HAM, namun tetap saja kejadian serupa terulang kembali. Namun ada cara sederhana jika memang kita ingin membantu mereka. Misalnya, jangan terlalu sering ganti smartphone hanya karena ingin tidak mau ketinggalan zaman. Sadarlah mungkin ada ribuan nyawa sudah melayang karena benda kecil tersebut. Tetap bijaksana dalam menggunakannya. Sepele mungkin, namun secara tidak langsung itu sudah sangat membantu mereka.
Ironis memang negara yang sangat kaya dengan sumber daya, malah rakyatnya jadi serba sengsara. Perbudakan kelaparan serta kemiskinan meraja rela di mana-mana. Ini jadi pelajaran bagi Indonesia agar tidak mengalami nasib serupa.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…