in

Terungkap! Istilah ‘Pedagang Kaki Lima’ Berawal dari Kesalahan Penerjemahan

PKL jaman Thomas Stanford Rafless [image source]

Di Indonesia, kita bisa dengan mudah sekali menjumpai pedagang kaki lima. Mereka banyak ditemukan di pasar, area publik, dan seringkali pinggir jalan. Umumnya mereka memanfaatkan area pinggir jalan untuk berjualan. Mulai dari menggelar dagangan di emperan hingga yang memakai gerobak. Tapi tahu kah kira-kira sejak kapan pedagang kaki lima ini ada di Indonesia?

Ternyata munculnya pegadang kaki lima itu berawal dari zaman penjajahan kolonial Belanda. Saat itu, peraturan pemerintahan memiliki aturan yang mengharuskan setiap jalan raya memiliki area untuk para jalan kaki (saat ini kita menyebutnya trotoar). Nah, lebar ruas atau area untuk pejalan kaki adalah lima kaki (5 feet). Kira-kira lebarnya 1,5 meter. Dari situlah kemudian muncul persoalan baru.

Kilas Balik ke Zaman Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kehadiran pedagang kaki lima itu muncul jauh saat Indonesia masih dalam jajahan Belanda. Di Jakarta, kehadiran pedagang kaki lima bermula ketika Raffles memerintahkan sejumlah pemilik gedung di jalan utama Batavia untuk menyediakan ruas jalan khusus untuk pejalan kaki. Lebarnya adalah lima kaki.

PKL jaman Thomas Stanford Rafless [image source]
PKL jaman Thomas Stanford Rafless [image source]
Ruas jalan tersebut kemudian jadi tempat yang sering disinggahi para pedagang untuk beristirahat. Mereka beristirahat sambil menunggu kalau-kalau ada pembeli yang membeli dagangan mereka. Dari situ, ternyata banyak juga pembeli yang membeli dagangan mereka di pinggir jalan tersebut. Para pedagang yang berjualan di ruas jalan tersebut pun disebut pedagang kaki lima.

Ada Kesalahan dalam Penerjemahan Five Foot

Menurut informasi yang dilansir dari Mayapada, 15 Desember 1967, istilah five foot mengalami kesalahan penerjemahan ke dalam bahasa Melayu. Five-foot way merujuk pada ruas selebar lima kaki. Namun, kemudian frase five foot dianggap sebagai kata majemuk. Ketika menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu, orang membalikkan hukum MD (menerangkan-diterangkan) Inggris menjadi hukum DM (diterangkan-menerangkan) Melayu, sehingga terjemahannya bukan lima kaki, melainkan kaki lima.

Jalan selebar lima kaki dan pedagang kaki lima [image source]
Jalan selebar lima kaki dan pedagang kaki lima [image source]
Sehingga pedagang yang berjualan di ruas dengan lebar lima kaki itu disebut pedagang kaki lima. Barang yang dijual pun bermacam-macam. Mulai dari barang kelontong, obat-obatan, mainan anak, dan buku-buku. Sementara untuk pedagang dengan gerobak atau pikulan masuk dalam kategori dagang rakyat. Istilah “pedagang kaki lima” kemudian masuk ke Medan. Kemudian, istilah itu pun menyebar sampai ke ibu kota dan kota-kota lain yang ada di Indonesia.

Mungkin kita pernah juga mengetahui soal istilah pedagang kaki lima yang merujuk pada jumlah dua kaki pedagang dan tiga kaki gerobak. Namun, ternyata fenomena soal pedagang bergerobak itu sendiri baru ada sekitara tahun 80an. Masa sebelum itu, pedagang kaki lima lebih didominasi oleh pedagang pikulan (menjual dagangan dengan alat pikul) dan pedagang gelaran (menjual dengan menggelar dagangan di jalan). Jadi bisa dibilang istilah kaki lima yang merujuk pada dua kaki pedagang ditambah tiga kaki gerobak itu kurang tepat.

Pemerintah Kota Tak Menyukai Keberadaan Pedagang Kaki Lima

Susan Blackburn dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun menceritakan soal pedagang kaki lima di akhir abad ke-19. Untuk bisa menarik pembeli, para pedagang biasanya akan berteriak-teriak lantang. Dan keberadaan pedagang kaki lima ini tak disukai oleh pemerintah kota. Akibatnya, para pedagang kaki lima diusir dari jalan.

Efek keberadaan pedagang kaki lima tidak disukai pemerintah [image source]
Efek keberadaan pedagang kaki lima tidak disukai pemerintah [image source]
Aksi pengusiran pedagang kaki lima ini pun memunculkan protes. Protes datang dari beberapa bumiputera (istilah resmi yang digunakan luas di negara Malaysia dan Brunei untuk merujuk kepada suku Melayu dan juga grup pribumi lainnya) yang saat itu duduk di Dewan Kota. Abdoel Moeis merupakan salah satu sosok yang ikut protes. Dalam sidang Dewan Kota pada tahun 1918, Abdoel Moeis menyatakan protesnya, “Para pedagang diusir dari pinggir jalan karena di tempat tersebut tinggal banyak orang Belanda yang tidak mau melihat para pedagang kaki lima kotor itu.”

Jumlah Pedagang Kaki Lima Membludak dan Terus Meningkat Setelah Indonesia Merdeka

Menurut perkiraan Susan Blackburn, jumlah pedagang kaki lima pada tahun 1934 membludak. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena masa depresi yang melanda dunia sekitar tahun 30an. Setelah Indonesia merdeka, jumlah pedagang kaki lima juga terus meningkat.

Jumlah PKL Membludak [image source]
Jumlah PKL Membludak [image source]
Pada era tahun 50an, Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS) menyebut pedagang kaki lima ini sebagai salah satu sumber penyebab konflik masyarakat ibu kota. Pedagang kaki lima dianggap mengganggu keteraturan kota. Sempat DPKS mengusahakan untuk menyediakan lahan yang memadai untuk tempat berdagang. Sayangnya, rencana ini gagal karena kota tak punya cukup lahan untuk pasar.

Pedagang Kaki Lima Memiliki Citra Buruk

Citra pedagang kaki lima pun kian memburuk saat memasuki era tahun 60an. Alasannya bermacam-macam. Pedagang kaki lima dianggap merusak keindahan dan keteraturan kota. Selain itu, cara dagang mereka juga dianggap primitif. Tak hanya itu, pedagang kaki lima dianggap bisa membuat malu negara saat ada tamu asing yang datang berkunjung.

Citra buruk PKL [image source]
Citra buruk PKL [image source]
Di Daerah Ibu Kota Jakarta, pedagang kaki lima sempat ditindak tegas. Tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, para pedagang kaki lima yang membandel akan ditindak dengan tegas. Penindakan tersebut dilakukan dengan tetap mencoba memberikan jalan keluarnya. Jadi, Ali juga menyediakan lahan baru untuk para pedagang kaki lima tersebut. Persoalan ini tertuang dalam Pengumuman Gubernur DKI Jakarta tanggal 27 Juli 1971 No Ib.1/1/11/1970. Namun, tindak tegas itu tak berlangsung lama. Pedagang kaki lima jumlahnya terus meningkat dan makin tak terkendali. Tercatat pada masa Gubernur Cokropanolo, pedagang kaki lima bisa lebih bebas karena pengusiran dan penindakan tegas sudah berkurang.

Sampai sekarang pun, persoalan pedagang kaki lima tak ada habisnya. Terlebih karena pengelolaan pedagang kaki lima menyangkut banyak aspek, sebut saja aspek sosial, ekonomi, dan budaya.

Written by Orchid

Leave a Reply

Melongok Kehidupan Pahlawan Indonesia yang Saat Ini Hidupnya Sengsara

Inilah Orang-Orang Hebat yang Ternyata Sangat Hobi Merokok