in

4 Kuliner Legendaris di Kota Malang, Saksi Bisu Penjajahan Indonesia Selama Ratusan Tahun

17 Agustusan akan tiba beberapa hari lagi. Banyak cara untuk memperingati kemerdekaan negara kita, mulai dari upacara bendera hingga menyanyikan lagu nasional. Namun, tak inginkah merayakan kemerdekaan dengan sesuatu yang berbeda? Lewat kuliner misalnya? Tak terlalu buruk, toh?

Dalam ulasan kali ini, Boombastis.com ingin mengajak Sahabat Boombastis sekalian untuk menghargai sejarah lewat makanan. Orang bilang PDKT lebih mantap disalurkan lewat perut, apalagi mengingat sejarah bukan? Berikut ini 4 kuliner legendaris di Malang yang menjadi saksi bisu negara kita pernah dijajah. Dengan mengetahui keempatnya, Boombastis.com mengajak kalian semua untuk #trowbek17an serta tidak melupakan sejarah.

Hok Lay, salah satu depot tertua di Malang

Banyak dari kids zaman now yang lebih memilih untuk bertandang ke Museum Angkut atau Kampung Warna Warni Jodipan jika pergi ke Malang. Padahal, ada tempat yang lebih menjanjikan untuk dikunjungi. Sudah membuat perut kenyang, ada nilai sejarah yang bisa digali pula. Tempat pertama adalah Hok Lay. Depot ini menjual Lumpia, Cwimie khas Malang, serta minuman spesialnya, yaitu susu cokelat di botol Coca Cola yang dijuluki Fosco.

Hok Lay tampak depan

Terletak di Jl. KH Ahmad Dahlan 10, sekitar Gajah Mada Plaza, Hok Lay masih memiliki kemasan vintage. Mulai dari bangunan, furnitur, hingga ornamen-ornamen kecil seperti slambu dan juga patung maneki neko atau disebut juga sebagai kucing melambai, yang jadi lambang hoki bagi etnis Tionghoa. Bicara soal maneki neko, pemilik depot Hok Lay memang orang Tionghoa. Berdiri sejak tahun 1946, Hok Lay kini dijalankan oleh generasi ketiga.  Koh Budiman namanya.

Suasana Hok Lay dan Koh Budiman

Ketika saya datang untuk menyantap Lumpia dan Fosco-nya, Koh Budiman tampak mengenakan baju merah—sungguh melambangkan nasionalisme sekaligus keberuntungan, eh? “Dulu, waktu saya kecil, kalau ada bunyi sirine ya disuruh masuk, kalau disuruh tutup, ya tutup,” ungkap Koh Budiman sambil mengenang masa-masa Hok Lay ketika pertama kali melebarkan sayap. Meskipun tak ada peristiwa yang berarti di masa penjajahan, alias Hok Lay tetap beroperasi seperti biasanya, tetapi suasanya mencekam masih tertinggal di tempat ini.

Hidangan di Hok Lay

“Makanya semoga ini anak saya ada yang mau meneruskan, itu warung depan kan juga sudah lama, tapi anaknya, mantunya, enggak ada yang mau neruskan, ya tutup jadinya, kan sayang sudah lama tapi harus tutup,” tambahnya lagi sembari menerawang bagaimana nasib Hok Lay sebagai saksi sejarah jika tak ada generasi keempat yang mau meneruskan perjuangannya.

Sate Gebug, generasi penerus sudah dipersiapkan sejak dini

Penasaran kenapa namanya Sate Gebug? Sesuai dengan ekspektasi kalian, satenya digebug-in agar lebih empuk dan lumer di mulut. Sama seperti depot Hok Lay, Sate Gebug juga dijalankan oleh generasi ketiga. Berbeda dengan Koh Budiman, bukan penerus utama yang memegang kendali Sate Gebug, karena sosoknya baru saja kembali menghadap Yang Kuasa. Bu Cipto, istri dari penerus utama lah yang kini membuat Sate Gebug tetap hidup.

Situasi di Sate Gebug

98 tahun berlalu, Sate Gebug tetap bertahan di Jalan Basuki Rahmat dengan pagar kuning dan tembok hijau yang jadi ciri khas. Keberadaannya kini tidak terlalu kentara memang, tertutup oleh warung makan ayam waralaba dari Illinois, Amerika Serikat itu. Namun, cita rasa khas yang dimiliki Sate Gebug membuat banyak orang akan kembali lagi sekali mencicipinya.

Bu Cipto Sate Gebug Since 1920

“Ya, waktu iku kan masih zaman penjajahan, ya, (warung) berjalan apa adanya, lah. Belum seperti sekarang. Ya sudah melewat banyak asam garam, lah, istilahnya,” ungkap Bu Cipto mengawali percakapan kami. Ia juga menyebutkan bahwa kualitas yang membuat Sate Gebug ini bertahan. “Dulu meski rempah-rempah mahal, kita tetap cari yang terbaik, mbak, enggak mau kan habis makan di sini orang jadi sakit,” tambahnya.

Menu Utama Sate Gebug

Sama seperti Hok Lay, warung Sate Gebug ini tidak memberikan makanan secara cuma-cuma kepada para pejuang. Selain karena business is a business, Sate Gebug juga berlokasi di kota, bukan perbatasan. Sehingga tak banyak terjadi pertumpahan darah. Namun, Bu Cipto mengungkapkan bahwa baru semenjak tahun 2000, warung ini beroperasi hingga sore. Sebelumnya hanya sampai jam 12 saja, karena selain stok sudah habis, tapi juga menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

Toko “OEN,” tempat nongkrongnya meneer dan mevrouw Belanda

Tak seperti Hok Lay dan Sate Gebug, Toko “OEN” sudah tak lagi dijalankan oleh keturunan generasi pertama. Sudah berpindah tangan, sejak tahun 1990, kepada Dany Mugianto, yang lalu dipegang oleh manajer bernama Siswono—yang saya temui ini. Lewat Siswono, saya mengulik bagaimana Toko “OEN” berjalan dan bertahan dari 1930 hingga sekarang.

Suasana dalam Toko OEN

Toko “OEN” merupakan toko cabang, awalnya dibuka oleh Liem Gie Nio atau lebih akrab disapa Oma Oen, di Yogyakarta pada 1910. Di Malang sendiri baru ada tahun 1930an. Bukan es krim menu andalan mereka saat itu, tetapi Chinese food serta aneka roti, sesuai dengan pemiliknya. Toko “OEN” juga membuka cabang di Semarang dan Jakarta. Namun sayang, kini hanya tinggal cabang Malang dan Semarang saja yang masih berjalan.

Pemilik asli toko OEN dan manajernya sekarang

Pada tahun 1990, Toko “OEN” di Malang sempat bangkrut sebelum akhirnya dibeli oleh Dany Mugianto. Siswono sendiri menyatakan bahwa minggu pertama ia menjadi manajer Toko “OEN” hanya bir dan cola saja yang dijualnya. Hingga akhirnya, menu-menu lama kembali dihidangkan, es krim dan roti mereka menjadi yang terlaris hingga saat ini.

Toko OEN dari masa ke masa

Karena berada di pusat kota, tongkrongan Belanda pula, tak banyak carut-marut yang terjadi di Toko “OEN.” Meski ada sirine pun, Toko “OEN” jarang sekali tutup. Namun, karena banyak pribumi yang bekerja di situ, Toko “OEN” menjadi saksi bisu percampuran dua budaya, Belanda dan Jawa. Banyak meneer-meneer Belanda yang jatuh cinta dan akhirnya kawin dengan wanita pribumi.

Puthu Lanang, brand-nya pernah ditawar hingga Rp5 miliar

Jika Hok Lay, Sate Gebug, dan Toko “OEN” memiliki bangunan untuk menggelar lapaknya, Puthu Lanang hanya berlokasi di sebuah gang kecil nan sempit. Meskipun begitu, jika Sahabat Boombastis sekalian pergi ke Malang dan lewat Jl. Jaksa Agung Suprapto, tepatnya di gang buntu sebelah dealer Kawasaki, kalian pasti akan menemukan banyak orang rela antri hanya untuk menyantap puthu.

Antrian di Puthu Lanang setiap hari

Ya, di situlah tempat Puthu Lanang melapak. Ketika ditanya kapan tepatnya Puthu Lanang ini pertama kali buka lapak, Siswoyo menjawab “mungkin ketika pernikahan Ratu Juliana, Ratu Belanda, kala itu ramai-ramai sehingga mudah diingat ketika ibu saya pertama kali berjualan.” Ia pun menjelaskan bahwa tidak ada kendala yang berarti ketika Puthu Lanang pertama kali melapak.

Siswoyo dan Lapak Puthu Lanangnya

Beras, gula, dan beberapa bahan dasar untuk membuat puthu tersedia, meski tak didapatkan dengan mudah, alias sembunyi-sembunyi. Siswoyo, yang merupakan generasi kedua dari Puthu Lanang juga mengisahkan sempat tidak ada orang yang bisa meneruskan usaha orang tuanya. Sempat dipegang oleh sang paman, tetapi juga tak berjalan dengan baik.

Puthu Lanang Malang

Akhirnya, Siswoyo memilih untuk terjun langsung meneruskan bisnis orang tuanya. Puthu Lanang pun berkembang pesat sampai saat ini. Bahkan, banyak pengusaha yang ingin membeli nama “Puthu Lanang” dengan harga sekitar Rp5 miliar, belum lagi kerja sama yang ditawarkan oleh banyak selebriti. Namun, Siswoyo menolak dan ingin mempertahankan apa yang telah dibangun orang tuanya saja.

Melalui 4 kuliner legendaris dari kota Malang di atas, sebagai generasi muda banyak hal yang bisa diambil untuk mengilhami kemerdekaan Indonesia. Selain menapak tilasi sejarah Indonesia melalui mereka, kita juga bisa tahu bagaimana perjuangan mereka ketika zaman penjajahan hingga untuk meneruskan bisnis tersebut kepada generasi setelahnya. Semoga #trowbek17an kali ini bisa membuat Sahabat Boombastis lebih cinta Indonesia, ya!

Written by Harsadakara

English Literature Graduate. A part time writer and full time cancerian dreamer who love to read. Joining Boombastis.com in August 2017. I cook words of socio-culture, people, and entertainment world for making a delicious writing, not only serving but worth reading. Mind to share your thoughts with a cup of asian dolce latte?

Leave a Reply

Terinspirasi Postingan Muka Memar Young Lex, Netizen Bikin Foto Parodi yang Bikin Ngakak

Titien Sumarni, Aktris Hits Tempo Dulu yang Jadi Idola Bung Karno tapi Nasibnya Tragis