Kebesaran nama Presiden Soeharto di era orde baru, tak dapat dipisahkan dari kinerja para perwira militer yang menjadi teman dekatnya. Berkat mereka pula, sosok pemimpin yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia itu, memiliki karir yang mulus hingga menjadi seorang Presiden. Namun siapa sangka. Di balik kebesaran sang Presiden, terselip sebuah nama yang mungkin asing di telinga masyarakat.
Sosok tersebut ialah Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Ia sempat diberi mandat Presiden Soekarno untuk memberantas gerombolan PKI yang merajalela. Namun sayang, langkahnya terhenti karena ia posisinya digantikan Soeharto yang saat itu masih menjabat sebagai perwira militer. Seperti apa kisah Jenderal Pranoto menghadapi pergolakan yang terjadi? Simak ulasan berikut.
Dipilih Presiden Soekarno karena dinilai mempunyai sifat yang tulus
Saat sejumlah Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani dan beberapa jenderal diculik dari rumah mereka, seluruh Jakarta dilanda kecemasan yang luar biasa. Peristiwa itu terjadi pada 1 Oktober 1965. Alhasil, presiden Soekarno pun memilih Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra untuk menjadi pelaksana sementara. Sosoknya terpilih karena ia dianggap tak memiliki lawan politik dan mempunyai ambisi tertentu di kemiliteran. Mayjen Pranoto diharapkan dapat menyelesaikan pertikaian yang sedang terjadi saat itu. Namun sayang, langkahnya terhenti oleh Soeharto yang juga menjabat sebagai Mayjen di masa yang sama.
Perintah yang terhenti karena permainan politik sejumlah perwira militer
Keputusan Preseiden Soekarno yang menunjuk Mayjen Pranoto dinilai sebuah langkah yang tepat. Ia tidak memilih Mayjen Soeharto karena sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan. Mayjen Moersjid suka berkelahi dan main hakim sendiri, dan Mayjen Basuki Rachmat yang sedang dalam kondisi tidak sehat. Tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, sejumlah Perwira AD menunjuk Soeharto sebagai pengganti Men/Pangad sementara. Alhasil , Pranoto yang saat itu berada di Mabes AD, otomatis mengikut perintahnya. Titah sang proklamator pun tak ia jalankan sesuai perintah.
Soeharto tampil menjadi pahlawan penumpas G30S/PKI
Karena Mayjen Pranoto tak mematuhi perintah Presiden Soekarno, secara otomatis Soeharto pun diangkat menjadi Kepala Staff Angkatan Darat. Ialah yang akhirnya tampil dalam operasi pembasmian gerakan G30S/PKI. Sejak peristiwa berdarah itu terjadi, masyarakat Indonesia hingga kini meyakini sejarah bahwa Soeharto-lah yang menjadi pahlawan sesungguhnya. Seiring berjalannya waktu, pamor Soeharto pun kian mengkilat. Mayjen Pranoto akhirnya hanya menjadi onggokan manipulasi sejarah yang tak dianggap.
Perwira militer yang akhirnya harus tersingkir karena permainan politik
Yang miris, Mayjen Pranoto harus kehilangan jabatannya dan menjadi perwira non job alias militer pengangguran. Tak cukup sampai disitu, ia bahkan dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh menjadi dalang G30S/PKI. Meski ia menyangkal atas keterlibatannya, toh ia terlanjur dikenai cap sebagai gembongnya komunis. Alhasil, karirnya sebagai perwira militer pun dibabat habis. Semua haknya sebagai Jenderal dicabut sejak ia masuk tahanan. Mayjen Pranoto pun harus mendekam selama 15 tahun di balik terali besi tanpa diadili terlebih dahulu.
Bernasib sama seperti Presiden Soekarno
Pada tahun 1975, Jenderal Pranoto tak lagi menerima uang sepeser pun dari pemerintah. Statusnya sebagai tahanan politik yang menyebabkan itu semua. Menjelang kebebasannya pada tanggal 16 Februari 1981, Mayjen Pranoto pun harus rela berjalan kaki ke rumah anak-anaknya di Kramatjati, Jakarta Timur. Ia akhirnya meninggal pada 9 Juni 1992 dengan cap tahanan politik yang masih melekat. Nasib yang dialaminya, serupa dengan Presiden Soekarno. Meninggal dengan status tahanan rumah oleh kepicikan rezim orde baru.
Nama Mayjen Pranoto memang tak banyak disebutkan dalam buku sejarah sekolah manapun. Praktis namanya pun tak dikenal selain sosok Soeharto yang begitu nyaring dan dominan pada masa Orba. Memang, sejarah pasti dikendalikan oleh mereka yang menang. Dan yang kalah, akan diburamkan keberadaanya meski menyimpan kebenaran.