Beberapa waktu lalu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman sempat menjadi perbincangan hangat lantaran meminta petani bekerja 24 jam demi mengejar target produksi pangan. Jelas jika tidak bisa dicerna dengan baik, hal tersebut seolah membawa petani kembali pada aturan kerja paksa yang terjadi di zaman kolonial.
Bukan kerja paksa seperti di zaman Belanda, Mentan meluruskan ucapannya itu dengan meminta agar petani memaksimalkan penggunaan alat-alat berat dan teknologi selama 24 jam penuh, dengan tujuan untuk memaksimalkan ekspor. Meski demikian, ada baiknya jika kita melihat lagi sistem tanam paksa yang dulu sempat menjadi penderitaan petani Indonesia.
Sistem tanam paksa atau culture stelsel, merupakan ide dari Johannes van den Bosch yang dijalankan selama 40 tahun lamanya (1830-1870). Tujuan dari diberlakukannya aturan tersebut adalah tak lain merupakan ambisi dari pemerintahan kolonial Belanda, untuk mengejar target angka ekspor dari Jawa sebesar 20 juta gulden (kira-kira tiga milyar dolar Amerika dalam uang sekarang).
Meski hanya terlihat seperti perintah untuk menanam tanaman, tanam paksa sejatinya merupakan sistem pajak yang dipungut melalui hasil tanah dan tenaga kerja. Saat itu, petani diorganisir agar menyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas yang dapat dijual di pasar Eropa, seperti kopi, teh, tebu, nila, tembakau, lada, dan kayu manis. Ironis memang karena tak banyak yang menyadari maksud terselubung tersebut.
Karena berorientasi ekspor, sudah jelas keuntungan berupa materi menjadi hal utama yang menjadi perhatian. Petani pemilik lahan atau tuan tanah, kaum elit, dan para Bupati pada praktiknya menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam sistem ini. Dalam bukunya Madiun Dalam Kemelut Sejarah (2018: hlm. 161) Ong Hok Ham yang dikutip dari Tirto menuliskan, pekerjaan ini sangat memberatkan petani penggarap lantaran hutang sewa tanah bisa mencapai 600 ribu gulden per tiga tahun. Jelas, nasib mereka masih jauh dari kata makmur.
Masih menurut Ong Hok Ham, kegiatan tanam paksa dipecah kepada beberapa anggota keluarga agar tidak terlampau berat. Mulai dari istri, anak laki-laki sampai anak perempuan harus menanggung beban kerja kepala keluarga. Berangkat dari hal tersebut, ungkapan “banyak anak banyak rezeki” pun menjadi sangat relevan. Bukan apa-apa, banyaknya anggota keluarga dinilai bisa menjadi semacam ‘tenaga’ agar tanam paksa tetap langgeng.
Perkara eksploitasi waktu dan tenaga pada sistem tanam paksa, para pejabat dan priyayi lokal ironisnya ikut bermain. Seperti yang dikutip dari Historia, Bupati dan pejabat desa sebagai penguasa lokal kerap mengeksploitasi petani untuk keuntungan mereka sendiri. Dalam buku Max Havelaar yang ditulis oleh Multatuli, hal merupakan bentuk penindasan dan ketidakberdayaan petani penggarap lahan terhadap kekuasaan para pejabat lokal.
BACA JUGA: 5 Fakta Tragis Tanam Paksa Era Belanda ini Bukti Penderitaan Indonesia
Bisa dibilang, kondisi Indonesia pada saat itu memang dijajah secara total. Perkebunan yang seharusnya bisa memakmurkan masyarakat lokal, harus berganti dinikmati oleh bangsa asing seperti yan dilakukan kolonial Belanda di atas. Jelas, sistem semacam ini tak boleh terulang kembali di masa depan.
Doktif alias ‘Dokter Detektif,’ adalah sosok yang viral di media sosial karena ulasannya yang kritis…
Baru-baru ini, Tol Cipularang kembali menjadi sorotan setelah kecelakaan beruntun yang melibatkan sejumlah kendaraan. Insiden…
Netflix terus menghadirkan deretan serial live action yang menarik perhatian penonton dari berbagai kalangan. Dari…
Selalu ada yang baru di TikTok. Salah satu yang kini sedang nge-trend adalah menari rame-rame…
Siapa bilang memulai bisnis harus dengan modal yang besar? Ternyata, sebuah bisnis bisa dimulai dengan…
Viral sebuah kisah yang membuat hati netizen teriris, ialah seorang perempuan yang rela merawat suaminya…