Sumatra itu punya banyak ladang tambang, dari minyak, batubara, hingga emas, semua bisa di dapat di tanah terluas Indonesia ini. Tak hanya itu saja, hutannya masih lebat dan kehidupan desa yang jauh dari modern masih sangat terasa. Tapi, siapa sangka jika nasib kami tak jauh bedanya dengan mereka yang tinggal di Papua. Mengapa? Persoalannya sama kok, fasilitas yang kurang memadai, entah itu dari jalan yang rusak, listrik, air yang merupakan sumber kehidupan, serta sinyal yang kadang muncul kadang tidak.
Saya, sebagai orang yang tinggal di daerah paling ujung Sumatra Selatan merasa tak ada perbedaan yang berarti di tempat tinggal kami, berpuluh tahun sejak saya menamatkan pendidikan SD dan merantau ke kota, pemerintah tak kunjung membangun desa menjadi lebih baik. Hasilnya, setiap kali saya pulang, saya masih harus turun dari sepeda motor ketika hujan baru saja selesai menyerbu jalan. Mungkin beginilah dilemma yang dialami kami yang hidup di tempat terpencil Sumatra.
Jalan yang hanya dibangun setiap menjelang pemilihan kepala daerah
Sama seperti jalanan di sebagian Pulau Kalimantan, beberapa daerah di Sumatra pun masih berupa jalanan licak (tanah merah becek). Contohnya saja di sepanjang jalan menuju Desa Pengaturan, Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Setiap hujan tanah jalan tersebut akan berubah menjadi licin dan sulit dilalui. Hanya mereka yang punya skill mengendarai setingkat dewa-lah mampu selamat tanpa terjatuh dan mandi lumpur. Apakah jalan tersebut tidak pernah diperbaiki? Jawabannya tentu saja diperbaiki, tapi setiap kali menjelang pemilihan kepala daerah.
Telkomsel tetap menjadi jaringan paling ramah
Dari beberapa jenis jaringan yang bisa terdeteksi oleh ponsel pintar, hanya telkomsellah yang paling ramah di daerah kami. Melalui sinyal telkomsel yang juga kadang putus-putus, orangtua bisa menghubungi anak-anak mereka yang jauh antah-berantah. Jangan pikir bisa melihat instastory selebriti, atau menyaksikan video YouTube, semua hanya ada dalam angan.
Listrik dan air yang berfungsi seenaknya
Saya tinggal di desa paling ujung Sumatra Selatan. Listrik baru menyentuh daerah pedesaan tahun 2007, itupun belum merata. Di desa tetangga sebelah, penerangan utama mereka masih bersumber dari mesin genset, yang menyala jam 6 sore dan berakhir jam 6 pagi. Jika kebetulan musim penghujan, maka listrik bisa 2-3 hari tak menyala. Itulah mengapa setiap warung kelontong di desa menyediakan lilin, untuk dipakai ketika mati lampu berkepanjangan. Sebuah keajaiban jika sumber penerangan tersebut bisa bertahan seharian.
Pendidikan? PR terbesar yang harus dibenahi
Jika kalian mengetahui program ‘Indonesia Mengajar’ yang digagas oleh Gubernur Anies Baswedan, maka daerah pelosok Sumatra adalah satu dari tempat yang pendidikannya masih sangat tertinggal. Sehingga butuh anak muda yang mau mendedikasikan dirinya menjadi pengajar tanpa bayaran. Di kecamatan di mana saya tinggal, setiap desa hanya ada satu SD, itupun dulunya dengan model yang sedikit lebih bagus dari sekolah Laskar pelangi. Tak ada SMP atau SMA. Anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah harus pergi ke Kota Kecamatan dulu, yang jarak tempuhnya 40 menit menggunakan sepeda motor.
Entah itu Papua, Kalimantan, Sumatra, hidup di pelosok manapun nyatanya tetap saja menjadi dilemma. Pola kehidupan masyarakat pelosok itu sama saja, tertinggal dan belum maju. Kita memang tak bisa menyalahkan pemerintah sepenuhnya, karena tugas membangun desa tentu menjadi kewajiban bersama. Namun tetap saja, masalah-masalah daerah pelosok ini adalah PR yang belum bisa tuntas terselesaikan meskipun pemimpin terus berganti.