Fenomena perselingkuhan yang disering dikaitkan dengan kasus pelakor di Indonesia, merupakan momok yang menakutkan bagi pasangan suami istri. Tak hanya menghancurkan bahtera rumah tangga, kasus tersebut juga meninggalkan dampak psikologis dan trauma yang berkepanjangan bagi korban. Yang parah, kini kasus tersebut seakan-akan menjadi hal yang lumrah terjadi pada saat ini.
Bicara soal pelakor, tragedi rumah tangga ini juga dialami oleh sorang ibu paruh baya yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung sampah. Hidup berkutat dengan mengais sampah, tak disangka sosok wanita yang bernama Emi ini juga sempat merasakan kegetiran dalam bahtera rumah tangganya. Dirinya yang kini berjuang mencari nafkah di jalanan, merupakan satu dari orang kesekian yang menjadi korban pelakor. Bagaimana kehidupan ibu Emi di masa lalu hingga saat ini? simak ulasan berikut.
Kehangatan keluarga yang tinggal kenangan
Sebelum kejadian tersebut menimpa dirinya, Ibu Emi tinggal bersama keluarganya, dimana kasih sayang dan pelukan orang-orang terdekatnya, senantiasa ia rasakan setiap saat. Manisya tinggal di rumah dengan segala pernak-pernik kehidupan rumah tangga, sempat ia cicipi bersama sang suami.

Ujian demi ujian yang menguatkan kesabarannya
Hidup sebatang kara tanpa didampingi oleh orang-orang terkasih, bukan perkara mudah yang bisa dilalui oleh sosok ibu Emi. Kerasnya hidup di jalanan, ditambah dirinya yang hanyalah seorang wanita biasa, memberikan banyak pelajaran yang menguatkan batas kesabarannya.

Sosok terkasih yang tega menghancurkan dirinya
Siapapun yang telah terikat dengan pernikahan, pasti tidak menginginkan adanya pihak ketiga yang mencampuri urusan rumah tangganya. Agaknya, hal ini yang dialami oleh ibu Emi. Dirinya harus merelakan rumah tangganya berantakan karena kehadiran wanita lain yang merenggut sang suami dari sisinya.

Kata-kata bijak yang memotivasi dirinya agar lebih tegar
Setelah melalui kejadian kelam tersebut, ibu Emi merasakan dunia seolah-oleh telah menelan dirinya bulat-bulat tanpa ampun. Ia pun sempat meraskan bahwa hidup ini terasa tidak adil bagi dirinya. Ditinggal selingkuh sang suami, rumah tangga berantakan, hidup terlunta-lunta seorang diri, membuat ibu Emi terpaksa menelan pil pahit dalam kehidupan berulang kali.

“Ikhlas itu ibarat merawat sebuah kepompong hingga menjadi kupu-kupu. Setelah itu, kupu-kupu terbang, pergi meninggalkan kita. Meski begitu, kita harus tetap merawatnya dengan baik. Karena tugas kita hanya melayani, bukan memiliki”. -Ibu Emi-
Berkaca dari kisah ibu Emi di atas, kita akan memahami, betapa pentingnya arti sebuah kesetiaan yang menjadi pondasi kokoh dalam ikatan pernikahan. Seberat dan sesilau apapun cobaan yang datang, kebersamaan yang saling menguatkan dalam sebuah keluarga, akan menjadi sebuah batu karang yang sanggup menghancurkan godaan sesaat tersebut. Mudah-mudahan, ibu emi senantiasa diberi kekuatan dan kisah yang dialaminya, bisa menjadi cerminan bagi kita yang akan memulai bahtera rumah tangga.