Mengajar PAUD, SD, hingga SMP | copyright okezone.com
Begitu banyak perjuangan seorang guru demi kemajuan bangsa. Dengan penuh kesabaran, mereka mengajar untuk mencerdaskan calon penerus bangsa. Dan, tak sedikit dari mereka yang berjuang dengan mengabdikan diri mereka untuk mendidik anak bangsa tanpa mengharap imbalan.
Salah satunya adalah Suraidah, warga Desa Sei Limau Kecamatan Sebatik Tengah Kabupaten Nunukan. Suraidah ini hanyalah salah satu contoh di antara sejumlah warga perbatasan Indonesia-Malaysia yang mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar tanpa mengharapkan pamrih dari pemerintah. Berikut kisah selengkapnya, dilansir dari Antara.
Tinggal di daerah pedalaman membuat beberapa anak tidak bisa mengenyam pendidikan. Begitu pula dengan anak-anak yang tinggal di Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan perbatasan Indonesia Malaysia ini. Kondisi tersebut telah mengetuk hati sejumlah warga yang memiliki kepedulian yang besar terhadap dunia pendidikan Indonesia, termasuk Suraidah.
Dia memutuskan untuk menjadi seorang pengajar karena rasa prihatin terhadap sejumlah anak-anak buruh di perusahaan perkebunan Malaysia yang tidak mengenyam pendidikan. Suraidah bersama ketiga temannya mengabdikan diri dengan tulus ikhlas tanpa mengharap pujian dan imbalan.
Suraidah memutuskan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan Ar-Rasyid Cabang perbatasan yang terletak di Jalan Asnur Gaeng Pasau RT 12 Desa Sei Limau Kecamatan Sebatik Tengah. Sekolah swasta yang bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Cabang Kaltim ini sudah membina 60 siswa yang terdiri dari tingkat bawah yakni Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Begitu banyak suka duka menjadi pengajar di perbatasan. Salah satunya adalah keterbatasan fasilitas sehingga kolong rumah warga pun kerap kali digunakan sebagai ruang kelas untuk mengajar. “Fasilitas sekolah sangat terbatas. Bahkan kamu terpaksa menggunakan kolong rumah warga sebagai ruang belajar,” ungkap Suraidah, dilansir dari News Okezone.
Selain itu, Suraidah juga harus pandai membagi waktu. Apalagi dia mengajar anak dengan jenjang yang berbeda. Dia mengajar sejumlah 20 anak PAUD di pagi hari. Sedangkan siang dan sore hari dia mengajar anak SD dan SMP. Tanpa lelah, Suraidah dan ketiga temannya terus berjuang untuk bisa memberikan pendidikan terhadap anak-anak di wilayahnya.
Perjuangan Suraidah dan ketiga temannya ini memang pantas untuk diacungi jempol. Selama mengabdikan diri, Suraidah mengaku belum pernah mendapatkan imbalan atas tenaga dan waktunya. Dia juga mengaku mengajar dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan dari pemerintah.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Nunukan, Hj. Nursan berharap agar pemerintah memperhatikan pendidikan yang berada di perbatasan. Dia mengaku miris melihat kondisi kolong rumah yang dijadikan tempat belajar dan perjuangan tenaga pengajar yang tidak mendapatkan kesejahteraan.
Apalagi, saat kampanye di Papua Presiden Jokowi juga berjanji akan memberikan kesejahteraan guru di perbatasan. Begitu pula dengan warga Nunukan yang juga berharap agar pemerintah juga memberikan kesejahteraan guru di perbatasan Indonesia Malaysia.
Namun, hingga saat ini, masih banyak sekolah-sekolah dengan kondisi yang memprihatinkan. Termasuk anak-anak yang belajar di kolong rumah dan guru yang tanpa dibayar ini.
Fenomena viral Arra, bocah lima tahun yang dikenal karena kepandaiannya berbicara dengan gaya dewasa, kembali…
Nama Fedi Nuril akhir-akhir ini kembali dikenal publik. Bukan karena kembali membintangi film dengan tokoh…
Kamis (20/3/2025) pukul 03.00 WIB, saat asyik scrolling media sosial X sambil sahur, mata tertambat…
Dunia aviasi Indonesia bakal semakin berwarna dengan kehadiran burung-burung besi baru. Indonesia Airlines, sebuah perusahaan…
Lagi-lagi rakyat Indonesia dibikin geleng-geleng kepala oleh ulah aparat penegak hukum. Kali ini kasusnya sedang…
Baru-baru ini, dunia hiburan Korea Selatan diguncang oleh skandal yang melibatkan aktor papan atas, Kim…