Meski dikenal sebagai salah satu negara dengan kemajuan teknologi yang pesat, namun negeri Matahari Terbit ini tidak pernah melupakan budaya warisan leluhur. Dari masa ke masa, Jepang selalu rutin melakukan beragam festival. Dan uniknya, festival-festival di sana kadang juga sukses mengundang banyak orang asing untuk datang.
Tentang festival di Jepang, salah satu yang paling banyak dibicarakan adalah Kanamara Matsuri. Acara satu ini unik lantaran sejauh mata memandang kita bakal disuguhi sesuatu yang sebenarnya agak tabu. Ya, alat kelamin pria. Kesan awalnya mungkin vulgar, namun festival ini memiliki nilai-nilai kebaikan. Seperti apa? Simak ulasannya berikut.
Diadakan oleh para pemeluk agama Shinto
Tujuan dari festival ini secara khusus adalah sebagai pemujaan terhadap para dewa. Festival ini dilakukan oleh para pemeluk Shinto di sana. Meskipun kemasannya mungkin agak tabu, tapi ada maksud lain di balik Kanamara Matsuri, yakni untuk menggalang dana serta sebagai pengingat akan bahayanya HIV/AIDS. Acara ini juga bertujuan untuk meminta kesuburan bagi para wanita.
Seperti di ketahui, Jepang memang salah satu negara yang menganggap bahwa seks bebas adalah hal yang lumrah. Tak heran jika penyebaran penyakit kelamin juga makin merajalela. Dari adanya festival Kanamara Matsuri, diharapkan masyarakat akan lebih sadar bahaya penyakit yang ditularkan oleh hubungan seksual yang sembarangan.
Diadakan setiap tahun
Bukan hanya festival kembang api dan tahun baru saja yang rutin dilakukan oleh Negeri Sakura, Kanamara Matsuri juga merupakan salah satu festival yang diadakan tiap tahunnya. Budaya merayakan kesuburuan ini sudah dilakukan sejak tahun 1977.
Selain menggalang dana, budaya ini juga bertujuan untuk menyadarkan betapa pentingnya alat vital seorang pria. Acara puncak dari Kanamara Matsuri adalah parade patung alat vital pria yang dianggap suci oleh beberapa kuil di Kanayama. Tradisi ini juga selalu terselenggaran dengan meriah, terlebih selalu dihadiri oleh ribuan orang.
Asal-usul tradisi Kanamara Matsuri
Tradisi ini dipercaya bermula dari cerita rakyat Jepang pada abad ke-17. Dikisahkan tentang adanya seorang iblis yang jatuh cinta pada sesosok wanita cantik. Namun, ternyata perempuan tersebut sudah memiliki pasangan. Sang iblis pun merasa cemburu dan berusaha merampas alat kelamin kekasih perempuan tersebut.
Namun, ternyata si pria mengetahui niat buruk dari sang iblis. Pria tersebut pun meminta untuk dibuatkan replika penis pada seorang pandai besi. Tiba saat sang iblis ingin mencuri alat vitalnya, iblis tersebut menggunakan giginya untuk menggigit bagian penis si lelaki. Namun ternyata yang digigit adalah besi keras. Menyadari itu, sang iblis pun buru-buru kabur.
Makanan dan Pernak pernik bentuk penis di mana-mana
Yang paling unik dari festival ini tentu saja tiap pengunjung yang datang akan mendapati beragam pernak-pernik dengan bentuk penis selama tradisi dilangsungkan. Bahkan, ada lonceng kuil yang memiliki wujud seperti organ vital.
Makanan dan es lilin juga sengaja dibentuk serupa untuk memeriahkan budaya Kanamara Matsuri. Bisa dibayangkan jika kita orang Indonesia hadir dalam kemeriahan tradisi tersebut, tentu bakal ternganga dan merasa heran. Terlebih bagi para pria yang bentuk alat pribadinya terlihat ada di mana-mana.
Mitos tentang Kanamara Matsuri
Menurut kepercayaan Shinto, tradisi Kanamara Matsuri juga bermanfaat untuk mendatangkan kehamilan bagi peserta wanita. Bagi yang masih gadis, festival ini juga dipercaya dapat membuat mereka enteng jodoh. Selama proses tradisi, beberapa peserta wanita beruntung akan ditunjuk untuk mencuci patung kayu berbentuk penis dengan panjang 1,4 meter dengan berat sekitar 150 kilogram.
Seorang wanita yang lebih beruntung juga berkesempatan untuk menunggangi patung tersebut. Dilansir oleh media setempat, perempuan yang tahun lalu berhasil menunggangi patung penis saat ini tengah hamil. Masyarakat pun makin percaya jika tradisi Kanamara Matsuri bisa memberikan berkah tersendiri.
Itulah lima hal tentang budaya Kanamara Matsuri. Setelah ditelusuri, rupanya tidak semesum yang terlihat. Terlebih, budaya tersebut bukan sebatas mengangung-agungkan alat kelamin, melainkan memiliki latar belakang dan juga tujuan yang baik.