Mungkin tidak banyak orang yang mendengar nama Burundi, sebuah negara kecil yang terletak di Afrika. Mungkin karena terletak di Afrika, atau mungkin juga karena beritanya memang tidak terlalu meluas. Jadi tidak banyak yang tahu tentang apa yang terjadi di negara tersebut.
Burundi telah menjadi negara yang bagaikan ‘neraka’ bagi para penduduknya. Sudah banyak warga yang memilih hengkang karena bahkan mereka tak sanggup membayangkan masa depan mereka di tanah airnya sendiri.
Inilah beberapa fakta ngeri kehidupan Burundi yang konon, dunia pun sudah ‘menutup telinga’ dari jeritan pilu mereka.
1. Terjadi Genosida Atau Pembunuhan Massal di Burundi
Pembunuhan massal sedang terjadi saat ini di Burundi. Warga disiksa, diserang, diculik, dibunuh, bahkan diperkosa di rumah mereka sendiri. Laporan soal pelanggaran hak asasi manusia termasuk pembunuhan, penyiksaan dan larangan berekspresi terus bergulir. Namun kelihatannya kengerian tersebut belum akan berakhir dalam waktu dekat ini.
Para pengungsi mengungkapkan bahwa setiap hari telah terjadi pembunuhan dan lebih dari 100 orang setiap harinya berusaha melarikan diri. Setidaknya 250 ribu lebih warga Burundi telah mengungsi ke Tanzania, Rwanda, Uganda, dan Kongo pada akhir tahun 2015 lalu. Ironisnya, pemicu semua kekacauan ini tidak lain adalah presidennya sendiri.
2. Bermula Ketika Presiden Ingin Mencalonkan Untuk yang Ke-3 Kalinya
Krisis Burundi bermula pada April 2015 ketika Presiden Pierre Nkurunziza mencoba untuk mencalonkan lagi sebagai presiden untuk yang ketiga kalinya. Langkah ini jelas melanggar konstitusi Burundi yang mengatakan bahwa presiden hanya bisa menjabat 2 kali 5 tahun. Namun protes penolakan ini ditanggapi dengan pembunuhan berdarah dingin. Upaya kudeta muncul, tapi gagal. Maka selanjutnya yang terjadi adalah kekerasan politik pemerintah yang mengarah kepada pembunuhan etnis.
Pemerintah menyebarkan propaganda etnis yang membuat konflik politik ini menjadi meluas ke arah etnis. Kebanyakan korban dari pembunuhan ini adalah orang-orang muda dari etnis Tutsi. Ini karena presiden menyampaikan pesan pada komunitas internasional bahwa ia adalah presiden yang populer dan orang-orang yang ingin ia turun dari jabatan adalah etnis Tutsi. Etnis minoritas yang dulu pernah memegang kekuasaan.
3. Darah Berceceran dan Peristiwa Mengerikan Akibat Konflik
Meski Nkurunziza akhirnya diangkat menjadi presiden lagi, ternyata hal tersebut tidak menghentikan konflik berdarah yang terjadi. Sebaliknya, pemerintah malah terus melanjutkan kekerasan dengan menangkap siapa saja yang terlibat pemberontakan, membunuh dan menyiksa siapa saja yang berani bicara di publik.
Seorang anak telah melihat ayahnya sendiri memohon agar tidak dibunuh, namun tetap dihabisi nyawanya. Sementara seorang lainnya melihat adiknya sendiri diperkosa beramai-ramai dan akhirnya harus mengungsi dalam keadaan hamil. Kekeaman seperti inilah yang harus dihadapi warga Burundi. PBB telah mencatat adanya beberapa kasus pemerkosaan massal dan penguburan massal dalam konflik berdarah ini.
Semua media berita telah ditutup, bahkan Bob Rigurika yang merupakan seorang wartawan harus melarikan diri karena membongkar kejahatan pemerintah. Ia adalah salah satu dari 200 ribu warga yang kabur dari Burundi pada Oktober 2015 lalu. Angka ini hanya perkiraan terendahnya, karena banyak warga yang tidak melaporkan sebagai warga Burundi yang telah mengungsi.
4. Pengungsi Kekurangan Bantuan
Melarikan diri dari negara konflik memang berarti para pengungsi selamat dari kekerasan yang terjadi. Tapi bukan berarti mereka sudah benar-benar aman dan bisa hidup tenang. Kenyataannya, kehidupan mereka sebagai pengungsi juga masih sangat miris dan membutuhkan bantuan.
Perkemahan penuh sesak dengan jumlah pengungsi yang bertambah. Mereka kekurangan makanan, namun bantuan yang datang ternyata sangat terbatas. Masalah lain kini menghantui mereka seperti penyakit mematikan yang mengancam nyawa mereka di pengungsian. Kelompok bantuan kemanusian mengatakan tidak bisa memberikan bantuan dana, sumbangan pangan, atau tempat tinggal bagi korban.
Genevieve Kanyage, seorang pembelot dan tokoh senior yang mengungsi mengatakan, “Negara kami sedang berada di ambang perang, dan kami merasa dilupakan,”
5. Reaksi Dunia Akan Kekejaman di Burundi
Saat ini, masih sedikit negara yang bereaksi dengan kekejaman di Burundi. Namun PBB dan African Union sebenarnya telah melakukan negosiasi dengan presiden Burundi. African Union bahkan telah mengumumkan rencana mengirimkan pasukan untuk menjaga kedamaian di negara tersebut. Tapi presiden menolak keras hal ini yang menganggap rencana African Union tersebut sebagai tindakan invasi. Sejak saat itu belum ada tindakan lagi yang diambil oleh organisasi tersebut.
21 Januari 2016 lalu, perwakilan dari PBB mengunjungi presiden untuk kedua kalinya dalam setahun. Tujuannya adalah untuk meminta presiden melakukan dialog dengan para pemberontak dan menerima pasukan perdamaian dari African Union. Sayang kunjungan tersebut tidak berhasil seperti yang diharapkan.
Burundi mengalami konflik dengan segala elemen kritisnya. Mulai dari populasi yang miskin dan kelaparan, beberapa kali mengalami perpecahan etnis, presiden yang ngotot ingin berkuasa meski mendapat tekanan dari luar dan dalam, serta komunitas internasional yang belum siap melakukan intervensi. Sudah saatnya komunitas internasional bertindak dan melakukan misi perdamaian karena ada ribuan nyawa yang terancam dan perlu dilindungi.